x

Interaksi Sosial selalu mensyaratkan adanya kontak dan komunikasi, namun selain kontak dan komunikasi dalam interaksi sosial juga diperlukan adanya sentuhan emosional agar interaksi sosial tidak kering serta mampu menjaga hakikat manusia sebagai makhluk sosial

Iklan

MOH ZULHAM ALSYAHDIAN

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 November 2021

Senin, 4 Juli 2022 18:49 WIB

Pembelajaran Sosial dan Emosional

Artikel ini tentang betapa pentingnya pembelajaran sosial emosional dalam pembelajaran di sekolah, untuk melahirkan peserta didik yang tidak hanya cerdas IQ nya, akan tetapi juga memiliki kecerdasan EQ, dalam rangka mewujudkan peserta didik yang berkarakter sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengutip cerita yang ditulis oleh Taufik Pasiak (2002) tentang seorang anak yang sangat genius, bernama Theodore John Kaczynski. Ia yang biasa dipanggil Ted, sudah tamat SMU pada usia 15 tahun, usia 16 tahun memperoleh beasiswa di Harvard, usia 20 tahun memperoleh gelar sarjana, dan pada usia 21 tahun memperoleh gelar doktor matematika. Ia yang merupakan seorang lulusan Harvard University dan Michigan Univeristy ini dijuluki Unibom. Dengan bom yang diciptakannya sendiri, dia membunuh 3 orang, melukai 23 orang, dan merancang teror bom selama 17 tahun. Maut yang ditebarkannya selama puluhan tahun tidak sebanding dengan kegeniusannya.

Pada kasus Ted di atas menurut Daniel Goleman, yang memperkenalkan konsep Emotional Intelligences (EI), Ted tidak tidak cukup cerdas emosinya. Intelligences Quotients (kecerdasan intelektual) -nya bagus, tetap Emotional Quotients (Kecerdasan Emosi)-nya jelek. Akibatnya, Ted kehilangan daya empati dan daya sosialisasi diri. Jadilah sosok Ted menjadi “orang pintar yang jahat”.

Cerita di atas merupakan gambaran, betapa untuk menghadapi realitas dan kompleksitas kehidupan ini, IQ bukanlah satu-satunya modal yang bisa dijadikan alat untuk memecahkan problematika kehidupan yang sangat tidak terduga. Untuk itu perlu piranti lain yang dimiliki seseorang, agar bisa survive dalam kehidupan di zaman milineal ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Oleh karenanya, dalam rangka mempersiapkan peserta didik, sebagai generasi milineal yang akan menjadi penerus bangsa ini, perlu kiranya memberikan “modal” sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan ini. Modal itu adalah kecerdasan sosial emosional, yang pada manusia modern hari ini, sebagaimana disinyalir oleh Daniel Goleman, justru sudah kehilangan emosi.

 

Urgensi Pembelajaran Sosial Emosional

Pembelajaran Sosial dan Emosional (selanjutnya PSE) adalah sebuah teori pembelajaran yang mengacu kepada teori yang dikembangkan oleh Daniel Goleman, yaitu Emotional Intelligence (EI) atau Kecerdasan Emosional dan dan Social Intelligence (SI) atau Kecerdasan Sosial. Dua teori pada waktu yang berbeda, akan tetapi memiliki filosofi yang sama, di mana akar dari teori di atas adalah, bahwa untuk menghadapi kompleksitas persoalan di dunia modern hari ini, tidak cukup dengan bermodalkan kecerdasan intelektual saja (Intelligence Quotient), tapi juga dibutuhkan kecerdasan lain, yang dalam istilah Goleman disebut Kecerdasan Emosional (1983) dan Kecerdasan Sosial (2006).

Kecerdasan Emosional dan Sosial merupakan kritik terhadap kecerdasan intelektual (IQ), yang dikembangkan oleh William Stern selama hampir seratus tahun yang lalu. Apa yang dikemukakan Goleman adalah salah satu saja dari kritik terhadap IQ. Di luar itu, ada juga Kecerdasan Jamak atau Berganda (Multiple Intelligence) yang dikembangkan Howard Gardner, Kecerdasan Spiritual (Spiritual Intelligence) oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, Adversity Quotient oleh Paul Stolz, Succesfull Intelligence-nya Robert J. Stenberg, dan lain-lain.

PSE adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional. PSE bertujuan untuk : memberikan pemahaman, penghayatan dan kemampuan untuk mengelola emosi, menetapkan dan mencapai tujuan positif, merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain, membangun dan mempertahankan hubungan yang positif serta, membuat keputusan yang bertanggung jawab.  PSE adalah hal yang sangat penting. Pembelajaran ini berisi keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan anak  untuk dapat bertahan dalam masalah, sekaligus memiliki kemampuan memecahkannya, juga untuk mengajarkan mereka menjadi orang yang baik.

Implementasi Pembelajaran Sosial dan Emosional

PSE mencoba untuk memberikan keseimbangan pada individu dan mengembangkan kompetensi personal yang dibutuhkan untuk dapat  menjadi sukses. Bagaimana kita sebagai pendidik dapat menggabungkan itu  semua dalam pembelajaran sehingga anak-anak dapat belajar menempatkan diri secara efektif dalam konteks lingkungan dan dunia. PSE adalah mengenai bagaimana kita menjalankan sekolah. Pembelajaran sosial-emosional adalah tentang pengalaman apa yang akan dialami siswa, apa yang dipelajari siswa dan bagaimana guru mengajar.

Kita dapat merancang bagaimana sekolah dan ruangan kelasnya, bagaimana waktu belajar, ruang-ruangan yang ada di sekolah, hubungan dengan komunitas sekolah dan keluarga dan yang lainnya sebagai tempat pertukaran pengetahuan, pengetahuan tentang dunia; pengetahuan tentang diri sendiri dan pengetahuan tentang orang lain yang berinteraksi dengan kita. Pengalaman-pengalaman tersebut membantu membentuk bagaimana siswa memahami diri mereka sendiri dan orang lain. Dengan demikian kita berbicara tentang anak secara utuh.

Apakah anak kita memiliki kesadaran diri, apakah mereka memiliki pemahaman kesadaran sosial, apakah mereka mampu mengambil keputusan yang baik dan bertanggung jawab. Baru setelah itu, kita membahas mengenai konteks akademis dan semua keterampilan- keterampilan penting yang kita butuhkan untuk dapat berhasil dalam hidup. Anak belajar saat hati mereka terbuka, terhubung dengan lingkungan sekitar serta adanya tujuan. Belajar adalah keajaiban. Melalui pembelajaran sosial-emosional, kita menciptakan kondisi yang mengizinkan semua anak mengakses keajaiban tersebut.

Pada saat menghadapi kondisi menantang, misalnya pada saat seorang guru berhadapan dengan perilaku murid yang dinilai tidak disiplin, mekanisme kerja otak akan mengarahkan diri untuk berhenti, menarik napas panjang, memberikan waktu untuk memahami apa yang dirasakan diri sendiri,  memunculkan empati, memahami  situasi yang terjadi, mencari tahu apa yang dirasakan oleh  murid dan mau mendengarkan dengan penuh perhatian. Respon guru yang berkesadaran penuh akan dapat membangun koneksi dan rasa percaya murid pada guru. Ada pepatah yang mengatakan, “Seberapa banyak gelar yang dimiliki seorang guru, kalau murid tidak paham bahwa gurunya peduli dengan mereka, maka mereka tidak akan pernah dapat belajar dari gurunya.” Koneksi, rasa aman dan rasa percaya di antara guru dan murid akan menciptakan lingkungan dan suasana belajar yang kondusif bagi pembelajaran.  

Perasaan aman dan rasa percaya dalam diri murid akan membantu  murid dalam proses pembelajaran dan relasi dengan guru  di sekolah. Murid dapat menumbuhkan kesadaran diri tentang perasaan, kekuatan, kelemahan, nilai-nilai yang dimiliki  dengan lebih baik dan kesadaran sosial yang lebih baik yang didasarkan pada  perhatian yang bertujuan akan membantu murid dalam memproses informasi secara lebih baik dalam  proses pembelajaran.  Jika murid dapat mengikuti  proses pembelajaran secara lebih baik, maka secara perlahan tumbuh optimisme atau rasa percaya  dalam dirinya. Ada banyak sekali penelitian yang menyatakan tentang pentingnya optimisme dalam mendorong keberhasilan pembelajaran.  Seligman (dalam Hoy, Tarter & Hoy, 2006) menjelaskan tentang optimisme sebagai faktor pendukung kesuksesan dalam akademik.

Bahkan dalam penelitian yang dilakukan Eka Putri Handayani dan Arif Rohman (2020) disimpulkan, bahwa peserta didik hanya bisa belajar dengan baik bilamana dalam suasana hati, iklim belajar dan dukungan lingkungan yang membahagiakan. Dengan belajar dalam situasi bahagia maka akan berdampak pada kecerdasan peserta didik, baik kecerdasan kognitif, afektif maupun psikomotoriknya. Paradigma Bahagia Itu Mencerdaskan bertalian erat dengan program Merdeka Belajar yang akhir-akhir ini secara massif digencarkan pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Ikuti tulisan menarik MOH ZULHAM ALSYAHDIAN lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler