x

Iklan

Fitriani Fattah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 November 2021

Rabu, 6 Juli 2022 17:59 WIB

Pola Asuh Bijak demi Kesehatan Mental Anak

Para orang tua memiliki pola asuh yang berbeda dalam mendidik anaknya.Pengalaman,pola pikir,pendidikan,keadaan ekonomi adalah beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan gaya pola asuh tersebut.Beberapa orang tua tanpa sadar mungkin menjadikan anak sebagai sebuah pelampiasan.Ketika mengalami hari yang buruk anak-anak seringkali menjadi sasaran amarah orang tuanya.Semakin dewasa mereka mulai memahami alasan dibalik perilaku tertentu pada berbagai situasi sosial.Meskipun memahami konsep dari Toxic Parenting,kita sebagai orang tua mungkin akan terluka ketika label itu disematkan kepada kita.Para orang tua memilih gaya didik tertentu dalam mendisiplinkan anak mereka.Usia remaja yang identik dengan kenakalan membuat para orang tua itu cemas.Agresivitas dimasa itu harusnya bisa ditekan dengan menerapkan pola asuh terbaik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagaimana kita mendefinisikan ‘orang tua’ ? Siapakah mereka dan bagiamana memperoleh predikat tersebut? Pertanyaan “udah siap belum menjadi orang tua” seolah wajib ditujukan kepada calon ayah ibu yang sebetulnya mengundang pertanyaan lain yang tidak kalah intimidate-nya.

Yah, kalau tidak siap menjadi orang tua mengapa menikah? Tentu saja komitmen menikah dan membangun rumah tangga tidak melulu dimotivasi keinginan untuk memiliki seorang anak. Menjadi orang tua bukanlah perkara yang mudah. Ayah ibu bukan hanya sekedar peralihan status dari suami dan istri karena hadirnya seorang anak. Orang tua adalah sebuah jabatan yang menuntut tanggung jawab yang besar. Pengetahuan yang memadai tentang bagiamana menjadi orang tua ideal mutlak dibutuhkan agar menghasilkan generasi yang kuat secara fisik,intelektual,emosional,sosial dan spiritual.

Kenakalan remaja seringkali dikaitkan dengan pola asuh yang buruk. Pola asuh adalah sebuah siklus yang sifatnya turun temurun. Konon katanya pola asuh yang sama akan bertahan selama tiga generasi. Beruntunglah kita jika pola asuh yang diterapkan oleh kakek nenek kepada ayah ibu adalah pola yang paling ideal.Bagiamana jika kita adalah generasi ketiga dari korban pola asuh yang buruk? Jika saya dibesarkan dalam toxic family pastikah saya akan menunjukkan perilaku toxic parent? Jika seorang anak mengalami trauma masa kecil persis seperti yang dialami kedua orang tuanya (jika dilihat dari pemilihan gaya pengasuhan) bukankah potensi mereka menjadi toxic parent dikemudian hari cukup jelas?Inikah yang kita inginkan? Siklus toxic yang terus berulang dan menghasilkan generasi toxic yang merusak? Adakah yang bisa kita lakukan sebagai orang tua?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pola Asuh Anak

Baurmind (Pressley & McCormick, 2007) mengidentifikasi setidaknya ada empat gaya pola asuh yaitu Authoritative parenting, Authoritarian parenting, Permissive parenting,& Uninvolved parenting.

Authoritative parenting adalah yang paling bijak dan idealnya diterapkan oleh semua orang tua.Anak memiliki kebebasan dalam mengeksplorasi dirinya. Mempertanyakan banyak hal guna memahami sebab akibat dari suatu keadaan atau peristiwa. Komunikasi dialogis dipraktikkan oleh orang tua agar anak memahami dan tidak kehilangan otonomi dirinya.

Keterlibatan anak dalam membuat keputusan membuatnya merasa dihormati dan dihargai.Anak memiliki kebebasan dalam mengekspresikan dirinya dibawah nilai-nilai yang dianut orang tua namun tidak bersifat mengikat dan membatasi. Orang tua tetap membuat aturan sesuai dengan gaya mereka namun sangat terbuka dengan pendapat anak. Orang tua tidak kehilangan wewenang dan anak tidak merasa di atur-atur karena orang tua mampu membuat peraturan yang bisa dipahami oleh gaya berfikir seorang anak

.Pola asuh semacam ini sangat seimbang. Alih-alih mendikte,orang tua justru mendampingi anak untuk menyadari kewajibannya. Menurut Santrock,anak dengan pola asuh Authoritative sering nampak ceria,memiliki pengendalian diri yang baik dan mandiri,berorientasi pada pencapaian,cenderung menjaga hubungan persahabatan dengan teman sebaya,dapat bekerja sama dengan orang dewasa, dan mengatasi stres dengan baik.Pola asuh seperti ini akan menghasilkan anak yang penuh percaya diri dan bertanggung jawab ketika dewasa.

Authoritarian parenting. Pola asuh yang sepertinya banyak diterapkan oleh mayoritas orang tua dalam mendidik anaknya.Tipe orang tua militan yang penuh kuasa. Bagi mereka kelembutan dan kehangatan tidak cukup mendisiplinkan anak,sebaliknya aturan yang bersifat mengikat,baku,dan kaku akan lebih efektif. Ekspektasi mereka kepada sang anak begitu tinggi namun tidak diikuti dengan responsivitas yang cukup. Komunikasi dijalankan satu arah. Orang tua membuat aturan dan anak tidak perlu banyak bertanya.”Ikuti atau kami hukum”. Kekuasan mutlak berada ditangan orang tua. Mereka mengabaikan hak anak dan senantiasa menunjukkan otoritasnya sebagai orang tua.

Mereka mungkin saja menggunakan kata ‘durhaka’ dalam konteks yang tidak tepat untuk menakuti anak demi memaksakan kehendaknya.Anak yang tumbuh dalam pola asuh semacam ini menjadi kurang kreativitas ketika dewasa.Aturan-aturan yang ketat masih bercokol dalam benak mereka sehingga ada ketakutan atau kekhawatiran yang menghalangi mereka untuk berinovasi.Memodifikasi ‘pedoman’ adalah sebuah pelanggaran. Dan pelanggaran apapun akan mendatangkan hukuman.Rasa tidak nyaman ketika mendapat hukuman membuat mereka menghindar.Mereka mungkin akan mulai berbohong hanya sekedar untuk menghindari hukuman.

Meskpiun tedengar santai dan flexible pola asuh Permissive juga kurang baik bagi anak-anak. Orang tua terlalu membebaskan anak untuk melakukan apapun yang mereka inginkan.Pola asuh semacam ini membuat anak menjadi seenaknya ,melanggar aturan dan egois.Permissive parenting menghasilkan anak yang kurang mandiri karena ketergantungannya pada orang tua.Aturan yang samar membuat mereka kurang mengenali hal yang baik dan buruk sehingga mudah terjerumus kedalam gaya hidup bebas. Orang tua terlalu memanjakan anak dan bersifat tidak tegaan apalagi jika semua kebutuhan anak yang bersifat materil bisa terpenuhi.Akibatnya mereka menjadi sosok yang kurang independent.Tingkat ketahanan mereka terhadap stress mungkin lemah karena kurangnya stimulus yang didapatkan.Apapun yang mereka inginkan dengan mudah didapatkan alhasil mereka tumbuh menjadi sosok dengan jiwa pejuang yang lemah.

Uninvolved parenting dimana orang tua tidak peduli dengan tumbuh kembang anaknya.Pola asuh semacam ini sangat merugikan kehidupan si anak.Orang tua tidak memberikan kehangatan,perhatian,dan kasih sayang yang semestinya. Anak akan merasa terabaikan dan tidak berharga.Mereka akan tumbuh menjadi anak yang mempunyai kepercayaan diri yang rendah. Hidup mereka tidak terarah karena orang tua tidak memberikan instruksi yang jelas. Kadar oksitosin yang rendah akibat kurangnya romantisme antara ibu dan anak membuat mereka tumbuh menjadi sosok yang kurang empati. Oksitosin sendiri merupakan hormon yang dihasilkan bagian hipotalamus pada otak, yang mengontrol banyak fungsi tubuh termasuk nafsu makan, rasa haus, tidur, perasaan hati, serta libido.Penelitian telah menunjukkan bahwa polimorfisme tertentu dari gen reseptor oksitosin (OXTR) dikaitkan dengan kecenderungan yang meningkat untuk bereaksi dengan amarah seseorang terhadap situasi.Tidak heran anak yang tumbuh dengan pola asuh ‘acuh tak acuh’ ini akan menunjukkan manajemen kemarahan yang buruk.

Orang Tua Yang Bijak

Para orang tua mungkin mendapati diri mereka sebagai pendidik yang buruk ketika menyadari bahwa mereka baru saja memaki dan berteriak kepada anak karena sebuah kesalahan ‘sepele’. Kesadaran  bahwa mereka hanya melampiaskan kekesalan adalah sinyal yang baik.Keinginan untuk bersikap lebih baik,hangat,dan lembut dikemudian hari menjadi indikasi orang tua bahwa pada dasarnya mereka menyadari anak bukanlah ruang untuk melampiaskan amarah akibat hari buruk yang mereka lalui. Sebagai orang tua kita mungkin berharap anak bisa memahami alasan dibalik sikap keras tersebut. Sayangnya mereka belum mencapai tahap kebijaksanaan semacam itu.Beban mental ini milik orang dewasa suka atau tidak suka.Bersikap lemah lembut akan menggetarkan hati sebaliknya sikap keras dan kasar akan menjauhkan hati dari sifat menyanyangi dan mencintai.

Menjadi orang tua adalah belajar. Dan belajar membutuhkan kesabaran karena memahami ilmu butuh tenaga fisik,pikiran,dan emosional. Tidak ada rujukan yang mutlak pasti akan mengantarkan orang tua menjadi sosok yang ideal.Setiap orang tua memiliki gaya pengasuhannya masing-masing. Secara teori, kita memiliki daftar yang jelas tentang bagaimana sosok ideal itu.Pada tahap aktualisasi kebanyakan orang tua gagal karena beberapa kondisi.Ali bin Abi Thalib mengatakan

Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian”.

Buku-buku tentang parenting telah banyak tersedia.Jika buku menuntut pembacanya untuk terlalu fokus dan mengabaikan kegiatan lain ,maka para orang orang tua bisa mendengarkan podcast seputar parenting sambil mengurus hal lain. Para orang tua saling berbagi di media sosial tentang pengalaman mereka mengurus dan mendidik anaknya. Di era membludaknya informasi saat ini membuat para orang tua memiliki kemudahan dalam mengakses berbagai pelajaran tentang bagaimana menjadi orang tua yang ideal bagi anak-anak mereka.

“Behind every practice is a rationable…Good practice is based on good theory whether we are aware of the theory or not.If we can formulate “good” theory,the we will have “good” practices if the theory is followed “ Kam (1990)

Teori harus terus mengalami pembaharuan untuk mendapatkan praktik yang tepat.Apa yang diajarkan orang tua kita sebelumnya mungkin sudah tidak relevan dengan kondisi anak-anak kita saat ini. Bagaiamana kakek nenek mempraktikkan kedisplinan mungkin efektif bagi ayah ibu dan kita sendiri,namun tidak bagi anak-anak.Kegagalan orang tua pada tataran praktis tidak selalu disebabkan karena kurangnya penguasaan materi parenting. Sebelum memutuskan menjadi orang tua alangkah baiknya mengenali kondisi mental diri. Pola asuh yang dipilih bisa jadi cerminan masa kecil kita. Berdamai dengan masa lalu,tidak menyalahkan orang tua atas pola didik yang mereka terapkan,tekad yang teguh untuk menjadi orang tua yang bijak,dan keinginan agar anak tumbuh dilingkungan keluarga yang harmonis mungkin bisa menjadi bimbingan kita untuk mencapai kondisi emosional yang matang dimana pada akhirnya memberikan kenyamanan psikis pada anak.T erpenuhinya kebutuhan emosional dalam keluarga akan melahirkan anak yang sehat secara mental.

Memiliki anak adalah sebuah kemewahan.Kehadiran mereka semestinya membawa ketentraman hati,kedamaian jiwa,dan ketenangan batin. Namun,jangan lupa bahwa anak juga merupakan ujian. Itulah sebabnya kadangkala kita sebagai orang tua merasa kewalahan dibuatnya.Bahkan terkadang orang tua mengalami lepas kontrol sampai menyakiti anaknya secara fisik. Jangan sampai kehangatan dan kebahagiaan itu memudar lalu sirna karena kita sebagai orang tua tidak belajar menjadi sosok yang sabar dan penuh toleransi. Orang tua harus selalu hadir sebagai pendidik,pembimbing,dan pendamping kehidupan agar anak tumbuh dengan baik dan bisa bermanfaat bagi lingkungannya.

Ikuti tulisan menarik Fitriani Fattah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler