x

Ilustrasi Kematian. Ilustrasi oleh Tumisu dari Pixabay.com

Iklan

Ricko Blues

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 Maret 2022

Senin, 11 Juli 2022 11:46 WIB

Kematian; Tentang Kenangan dan Sikap Rendah Hati

Seperti kebersalahan, perjuangan dan penderitaan, kematian ialah suatu kondisi yang oleh Karl Jaspers disebut sebagai ‘situasi batas’. Situasi saat manusia tak punya wewenang intervensi sedetikpun. Saat rasionalitas mencapai batas pengetahuan. Situasi batas ini tak bisa dihindari. Dan karena keterlemparan manusia ke dunia, situasi batas mengarahkan kita pada transendensi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa hari sebelum merayakan pesta Paskah tahun ini, saya mendapat kabar duka, seorang sahabat perempuan di Kota Maumere telah meninggal dunia. Usianya masih muda. Sekitar 32-33 tahun. Kata teman-teman, dia meninggal dunia setelah dirawat di sebuah rumah sakit swasta karena penyakit jantung.

Seperti teman-teman lainnya, ini berita yang mengejutkan. Dia yang sudah pergi itu, sejauh yang saya kenal, termasuk orang yang periang, selalu tersenyum, seolah tak ada rasa sakit sedikitpun di dalam tubuhnya. Dia berpulang terlalu cepat, bahkan hanya beberapa minggu setelah pertunangannya. Saya bisa membayangkan kesedihan yang mendalam dari tunangan dan keluarga dekatnya.

Dari seberang pulau, beriringan dengan kesedihan dan perasaan kehilangan, saya melambungkan doa, memohon keselamatan jiwa sahabat saya itu dan sekaligus kekuatan bagi keluarga yang ditinggalkan. Kehilangan selama-lamanya orang tercinta adalah pengalaman yang teramat aneh, meski di seumur hidup, kita sudah sering berhadapan dengan rupa-rupa kehilangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kematian adalah hukum alam yang paling absolut. Walaupun, ada banyak penghiburan untuk menghapus kesedihan, seperti misalnya yang ditawarkan oleh agama, tetapi masih ada setitik kesedihan yang tak bisa dihapuskan sama sekali, yakni kenangan.

Ketika kita bersedih karena orang-orang tercinta pergi meninggalkan dunia, maka itu adalah kesedihan yang timbul akibat kenangan-kenangan yang pernah ada bersama orang sudah meninggal dunia. Kita meratap di hadapan jasad kaku seseorang hanya karena ‘semuanya tinggal kenangan’ di dalam sejarah hidup kita bersama.

Jika kematian adalah hukum alam paling absolut dan kesedihan orang-orang karena kematian ialah akibat dari kenangan-kenangan, maka pertanyaan terlintas di dalam benak saya seketika; apa yang bisa kita tinggalkan setelah kita mati? Atau, apa kenangan yang bisa kita tinggalkan setelah kita mati?

Pertanyaan seperti ini semakin mendesak dari hari ke hari karena kematian datang tanpa permisi terlebih dahulu. Dia datang tiba-tiba, sepintas lewat saja, dan sialnya kita tak punya kuasa secuilpun untuk mengubah kapan dan bagaimana kita mati. Sehebat apapun manusia hidup di dunia, dia akan tunduk tak berkutik di hadapan kematian yang datang tanpa ampun.

“Selagi saya masih bernapas di pagi hari, dan mendapati matahari terbit di timur dan tenggelam di barat, apa yang mau saya tinggalkan di dunia ini,” kira-kira begitulah pertanyaan yang seringkali mengganggu.

Selama hidup, orang mungkin punya prinsip, supaya tak membuat susah orang lain, dan tak membuat orang lain bersedih, sebaliknya membahagiakan orang-orang yang ada di sekitar. Artinya, selalu memberi energi positif kepada orang lain. Tapi, ketika pikiran akan kematian itu datang lagi, prinsip-prinsip itu terasa belum memadai sama sekali. Masih ada yang kurang.

Sembari pertanyaan-pertanyaan itu membawa rasa penasaran, saya mulai sadar kalau orang-orang di sekitar mulai pergi meninggalkan dunia ini. Kita seperti sedang berada di antrean, menunggu nama kita dipanggil ke loket namun tanpa berharap nama kita benar-benar disebut.

Kawan-kawan saya telah pergi selamanya. Kepergian mereka adalah cermin dari kepergian saya juga.

“Seperti melihat kematian kita masing-masing,” pesan teman saya.

“Apa yang bisa kita tinggalkan setelah kita mati?”

Pada akhir bulan Juni, saya juga mendapat kabar duka dari seorang sahabat, Alfred. Bapaknya meninggal dunia karena menderita sakit. Selama sebulan dia berbaring tak berdaya di rumah sakit. Saya mengirim ungkapan duka cita mendalam kepada Alfred; “secara pribadi, saya punya kesan yang sangat baik tentang bapak.”

Saya memang sudah bertemu dengan mendiang beberapa kali, saat diajak berlibur oleh Alfred di rumahnya. Jadi, begitu mendengar kabar duka itu, saya dan tiga orang teman langsung pergi ke rumah duka. Di sana, seperti yang bisa dibayangkan, air mata kesedihan dari orang-orang yang mengenal almarhum sungguh tak terbendung.

Sebelum jenazah dimakamkan, keluarga dan kerabat berkumpul di sekeliling jenazah memberikan penghormatan terakhir dengan penuh kesedihan. Istri dan tiga orang anaknya menangis sejadi-jadinya, masih tak rela melepas kepergian sang ayah, penopang dan nahkoda hidup mereka.

Bagi seorang anak yatim, itulah duka paling mendalam di sepanjang hayat hidup mereka. Kehilangan seorang ayah seakan meninggalkan lubang besar yang menganga di dalam relung jiwa.

Kesuksesan apa saja yang diraih seorang anak di masa mendatang, tanpa sosok seorang ayah, hanyalah serentetan penyesalan yang sama sekali tidak bisa ditolak. Dan, kegagalan apa saja yang terjadi, tanpa kehadiran sang ayah, hanya menambah rasa rindu yang tak tertahankan.

Di hadapan jasad kaku orang yang dicintai, kita bahkan hanya bisa meratap sampai air mata benar-benar kering. Tidak ada sedikitpun daya upaya yang bisa membuat dia hidup kembali, walaupun sudah pasti itu keinginan satu-satunya yang paling diharapkan.

Pada saat seperti itu, ketidakberdayaan, penyesalan, keputusasaan manusia mendapat definisinya yang paling sahih. Karena, jasad yang kita tangisi itu tinggal seonggok makhluk fana yang secara natural tahu darimana dia berasal. Debu tanah.

Seperti kebersalahan, perjuangan dan penderitaan, kematian ialah suatu kondisi yang oleh Karl Jaspers, seorang pemikir eksistensialis, sebut sebagai ‘situasi batas’. Suatu situasi di mana kita tak punya wewenang intervensi sedetikpun. Situasi di mana rasionalitas mencapai batas pengetahuan untuk menjelaskan kondisi tersebut. Situasi batas adalah bagian dari hidup manusia. Dia tak bisa dihindari. Dan karena faktisitas (keterlemparan manusia ke dunia), situasi batas mengarahkan kita pada Transendensi.

Dari sudut pandang eksistensialisme, situasi batas-kematian-yang membuat hidup berarti, bahwa ada sesuatu yang melampaui diri kita dan mau tidak mau kita harus tunduk. Situasi ini membawa kita pada sikap kerendahan hati. Dia menegaskan dengan lebih keras makna sesungguhnya dari sikap paling purba yang pernah dimiliki manusia; orang yang rendah hati adalah orang yang tahu darimana dia berasal. Debu tanah.

Akhir Juni 2022, di sebuah kampung yang asri, tempat pohon-pohon kelapa menjulang tinggi berselimut awan, saya memandang ratusan orang bersedih di bawah tenda duka. Sejenak saya berpaling ke wajah sahabat saya bersama ibu dan adik-adiknya yang tak kuasa menahan tangis.

Lalu, saya berbisik ke arah orang banyak.

“Kapan saja, kita harus siap, orang-orang yang kita cintai pergi untuk selamanya.”

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Ricko Blues lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

6 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB