x

ilustr: distractify

Iklan

Bambang Udoyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Maret 2022

Senin, 18 Juli 2022 09:09 WIB

Akar Debat Kusir

Setiap hari medsos hiruk pikuk dengan pertengkaran. Apa akarnya? Bagaimana meredamnya? Sila baca terus.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akar Debat Kusir

Bambang Udoyono, penulis buku

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelumnya saya mohon maaf kepada orang orang yang berprofesi sebagai kusir. Saya tidak berniat melecehkan. Saya hanya memakai sebuah frasa dalam bahasa Indonesia yang melukiskan debat yang hanya eyel eyelan dan tidak bermanfaat.

Kita semua akhir akhir ini sudah kenyang dengan debat kusir.  Ya debat kusir, bukan diskusi yang beradab dan mencerahkan pikiran dan hati.  Ada sebuah karya sastra menarik dari Kahlil Gibran, sang penyair kondang asal Lebanon. Puisinya memberi gambaran yang pas sekali dengan situasi kita saat ini.  Mari kita cermati.

Puisi Kahlil Gibran

 

Mata

Kata si Mata suatu hari,”Aku  melihat di luar lembah ini sebuah gunung berkerunding kabut biru. Indah sekali bukan?”

Si Telinga mendengarkan dan setelah mendengarkan dengan  seksama sebentar berkata.” Tetapi di mana ada gunung? Aku tidak mendengarnya”

Lalu si Tangan bicara dan berkata,”Aku sia sia berusaha merasakan atau menyentuhnya, dan aku tidak bisa menemukan gunung”

Dan si Hidung berkata,”Tidak ada gunung, aku tidak bisa menciumnya”

Dan si Mata menoleh ke tempat lain, dan mereka semua mulai bercakap cakap bersama tentang khayalan aneh si Mata. Dan mereka berkata “Tentu ada sesuatu yang tidak beres dengan si Mata”

Belenggu subyektivitas

 

Saya punya dugaan bahwa Khalil Gibran ingin mengatakan sebuah metafora.  Sebuah perumpamaan tentang ulah manusia. Perumpamaan itu saya merasa pas sekali dengan situasi kita sekarang ini.

 

Kebanyakan dari kita bukan berdiskusi tapi berdebat kusir. Debat kusir ini hanya memanaskan hati dan menumpulkan nalar. Jadi banyak mudaratnya dan tidak ada manfaatnya. Tidak heran kalau seorang muslim dianjurkan meninggalkan debat kusir.

Debat seperti itu berakar dari subyektivitas.  Orang memandang dari sudutnya sendiri. Sejatinya apa yang dia lihat hanyalah sebagian dari realitas. Tapi dia merasa sudah melihat segenap kenyataan.  Apa yang dia lihat hanyalah puncak gunung es. Itupun sudah bias.  Jadi yang ada di pikirannya lebih tepat disebut asumsi atas sebagian realitas.

Persis seperti mata yang melihat gunung tapi hidung tidak merasakan baunya gunung. Maka si hidung merasa si mata kurang beres.

Maka sejatinya eyel eyelan itu konyol.    

Upaya melepasnya

 

Bagaimana cara melepaskan diri dari belenggu subyektivitas itu?  Adakah jalan untuk ihtiar itu?  Saya yakin jalannya ada tapi jalan itu jauh dari mudah untuk dilalui.  Upaya pertama adalah belajar dan belajar. Untuk mereka yang sudah lulus kuliah tetap bisa belajar dari banyak sumber. Salah satu sumber ilmu terpercaya adalah buku yang bermutu. Jadi banyaklah membaca.

 

Meskipun demikian fakta menunjukkan bahwa ada juga cendekiawan yang belum bisa membebaskan diri dari belenggu subyektivitas.  Ada juga cedekiawan yang alih alih menunjukkan keunggulan intelektualnya, justru memamerkan keterbatasannya.  Ya memang rasanya ihtiar itu tidak bisa tuntas. Kita tidak bisa seratus persen lepas dari subyektivitas.  Yang penting upaya itu terus menerus dilakukan.

 

Apakah belajar ilmu akal saja sudah cukup?  Saya rasa belum. Idealnya selain nalar, hati juga perlu diasah agar bersih dan sehat. Hanya hati yang bersih dan sehat sajalah yang mampu mendapatkan petunjukNya. Maka perlu upaya untuk mebersihkan hati.

Kalau hati dan jiwa sudah bersih dan sehat barulah mata hati akan awas. Hati akan mampu menangkap petunjukNya. Petunjuk lewat akal dikombinasikan dengan petunjuk lewat qalbu. Itulah idealnya.  Hanya saja manusia yang mampu mencapai tingkatan itu tidak banyak.

Ringkasan

Kebanyakan orang tidak menyadari kalau mereka sejatinya terbelenggu oleh subyektivitasnya.  Perlu upaya ekstra untuk mengembangkan kemampuan nalar dan hati agar kita mendapatkan petunjuk lewat akal dan lewat hatinya.  Kalau sudah sampai tingkatan itu kita akan mampu melakukan diskusi tukar pikiran yang mencerahkan pikir dan hati. Bukan yang memanaskan hati dan menumpulkan nalar.

 

Ikuti tulisan menarik Bambang Udoyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler