x

Beberapa riset menunjukkan pekerja tetap produktif dari rumah

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 29 Juli 2022 11:00 WIB

Awas, Lembaga Survei Dadakan Muncul di Tikungan

Semakin dekat penyelenggaraan pemilu, semakin gencar publikasi hasil survei. Nama-nama baru lembaga survei bermunculan. Ada lembaga survei baru yang terkesan condong pada figur politikus tertentu menanamkan kesan negatif terhadap figur politikus lain. Statistik akhirnya diperkuka untuk ambisi politik. Menyedihkan dan memalukan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Politikus dan partai politik rupanya semakin melek perihal pentingnya survei dalam kompetisi politik. Publikasi hasil survei dapat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap suatu isu ataupun terhadap figur politikus tertentu. Publikasi survei juga ditengarai mampu memengaruhi sikap pemilih menjelang pemungutan suara. Publikasi survei juga bisa mendorong pesaing untuk mengubah ataupun memperbaiki strategi politiknya, khususnya ketika hari pemilihan hampir tiba.

Semakin dekat penyelenggaraan pemilu, semakin gencar publikasi hasil survei. Menariknya, nama-nama baru lembaga survei bermunculan belakangan ini. Di antara lembaga survei baru ini ada yang terkesan condong pada figur politikus tertentu, dan bahkan cenderung bersikap negatif terhadap figur politikus lain yang juga berminat untuk maju ke gelanggang pilpres mendatang.

Sebagian nama lembaga survei yang diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum memang sudah dikenal akrab oleh masyarakat. Mereka mempublikasikan secara teratur hasil survei mereka,  walaupun pemilu dan pilpres masih jauh. Bila lembaga survei jujur, temuan mereka mendatangkan manfaat, sebab rakyat dapat memperoleh wawasan mengenai perkembangan politik dari waktu ke waktu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lembaga survei yang muncul dadakan biasanya akan menghilang dari peredaran manakala pemilu dan pilpres sudah usai. Menghilang entah kemana. Ini menimbulkan kesan bahwa ada lembaga yang melakukan kegiatan survei bukan murni untuk mengetahui pendapat masyarakat, tetapi untuk mendukung kepentingan figur politikus tertentu.

Hal itu mungkin saja terjadi, terlebih jika lembaga survei merangkap jadi konsultan politik bagi partai maupun politikus pribadi. Lembaga survei tahu momen tertentu yang tepat bagi kliennya untuk dilakukan survei dan kapan waktu yang tepat untuk mempublikasikan hasilnya. Pilihan waktu ini berkaitan dengan upaya memengaruhi persepsi masyarakat terhadap suatu isu.

Masalah survei adalah perkara kepercayaan. Masyarakat akan memercayai lembaga survei yang bekerja dengan benar, dari segi metode survei maupun pemilihan waktunya, lalu desain pertanyaannya, dan sebagainya. Bila kepercayaan ini dirusak oleh kebiasaan buruk lembaga survei dadakan yang bekerja menjelang pemilu dan pilpres, maka ini akan merugikan kita semua.

Sayangnya, sebagian masyarakat juga kurang literasi berkaitan dengan seluk-beluk survei, misalnya metodenya, bagaimana survei dilakukan, berapa banyak responden, bagaimana sebarannya, dan seterusnya. Rakyat umumnya juga kurang memahami bahwa hasil survei itu bersifat sementara. Dampaknya kemudian, mereka tidak bersikap cukup kritis terhadap semua itu, termasuk terhadap hasil survei yang terkadang menggelikan.

Masyarakat tidak cukup punya kemampuan untuk menguji apakah metode dan pendekatan yang digunakan lembaga survei itu dapat diandalkan atau tidak. Terlebih lagi masyarakat mudah dan cepat terpikat oleh publikasi hasil riset. Ketika hasil riset cenderung memihak figur politikus tertentu, mungkin saja rakyat bersikap apresiatif. Namun, di sinilah kemudian muncul persoalan. Lembaga survei cenderung tidak mampu bersikap mandiri manakala merangkap pekerjaan sebagai konsultan politik partai maupun individu politikus. Karena itulah muncul usulan agar lembaga survei diaudit agar masyarakat tidak disesatkan oleh hasil jajak pendapat yang mereka buat.

Ada lembaga survei yang kemudian menonjolkan figur tertentu sambil menjelekkan figur lain. Caranya dengan membalik pertanyaan yang biasanya bersifat positif, misalnya siapa yang akan kalian pilih jika pilpres dilakukan saat ini, menjadi pertanyaan yang bersifat negatif, misalnya siapa capres yang paling tidak anda sukai saat ini. Semakin banyak dipilih, semakin besar nilai negatifnya. Ketika dipublikasi, muncullah narasi si-X memperoleh persepsi negatif paling besar dari masyarakat. Masyarakat tidak menyadari bahwa ini adalah bagian dari permainan kata dan narasi untuk menciptakan persepsi negatif, sehingga nanti yang melekat di benak masyarakat ialah bahwa si-X tidak layak untuk dipilih. Waspadalah! >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler