x

https://pin.it/1cAwSTB\xd foto dari pintrees

Iklan

Bambang Udoyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Maret 2022

Jumat, 5 Agustus 2022 07:38 WIB

Dunia Ibarat Buku

Dunia ini ibarat buku.Bagaimana cara membacanya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Bambang Udoyono,  penulis buku

 

The world is a book, and those who do not travel read only one page. (St Augustine)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kalimat itu adalah quote terkenal dari Saint Augustine.  Dia mengibaratkan dunia ini sebuah buku.  Mereka yang tidak bepergian membaca satu halaman saja. 

 

Tepat sekali gambaran Pak Augustine ini.  Selain banyak kemiripan dan keajegan dunia ini juga penuh dengan perbedaan.  Bahkan sebuah negara sudah memiliki banyak perbedaan. Ambil contoh Indonesia,  dari sisi flora dan fauna serta budaya ada banyak sekali perbedaan.  Selain itu kebudayaan.  Ada banyak sekali budaya Indonesia.  Belum lagi manca negara.  Jadi kalau tidak bepergian kita seperti orang yang hanya membaca satu halaman buku.  Kita tidak tahu isi halaman selanjutnya.  Dalam bahasa Indonesia ada peribahasa yang tepat yaitu seperti katak dalam tempurung.  Dia hanya tahu seisi tempurung.

 

Lantas bagaimana ihwal bepergian bagi muslim? Saking pentingnya melakukan perjalanan ini di dalam Al Qu’ran ada delapan ayat yang memerintahkan orang beriman untuk bepergian.  Di sana dijelaskan agar orang mengambil pelajaran dari umat terdahulu yang sudah dibinasakan karena berdosa, dan karena menentang ayat ayat Allah swt.  Memang Allah swt bersifat kasih sayang, dan maha pengampun tapi juga sangat tegas.  Mereka yang berdosa akan diampuni kalau memohon ampunan. Kalau mereka ndableg dan tetap membangkang setelah mendapat peringatan maka akan dihukum.  Contohnya sudah banyak.  Dan manusia diperintahkan melihat cotoh itu. 

 

Tidak ada perintah ke sebuah destinasi spesifik. Jadi muslim boleh pergi ke mana saja asal tujuan tercapai.  Apa tujuannya?  Pastilah untuk meningkatkan keimanan.  Kenapa harus pergi?  Pasti ada alasan kenapa Allah memerintahkan muslim untuk melihat nasib mereka.  Dugaan saya agar kita belajar dari sumber pertama, dengan melihat sendiri tempat tinggal mereka. Melihat sendiri memang memberikan kesan yang sangat kuat, jauh lebih kuat daripada melihat foto atau video.    

 

Kesan kuat ini akan menjadi modal besar untuk melakukan perenungan. Pikiran kita akan terfokus pada sesuatu hal yang mengesankan tersebut.  Disertai kegiatan banyak membaca, berdiskusi, mencari maka diharapkan kita akan tercerahkan.  Mata nalar dan mata hati akan terbuka lebih luas.  Dengan kata lain kesan akan membuat kita termotivasi mencari pencerahan.  Jadi pencerahan itulah oleh oleh kita yang paling berharga. Inilah intangible everlasting souvenir alias oleh oleh tak benda yang awet.  Ini jauh lebih berharga daripada sekedar oleh oleh benda. 

 

Melihat kesudahan nasib mereka yang menentang ayat Allah bisa dilakukan di beberapa tempat seperti Mesir, Saudi Arabia (Madain Saleh,  negri nabi Saleh), Jordania, Irak, Israel dll.  Selain itu melihat kehidupan orang yang lupa kepada Allah bisa dilihat di banyak tempat, terutama di negara maju.  Mereka diberi kenikmatan dalam kehidupan duniawi.  Ekonomi dan teknologinya sangat maju sehingga bisa kita akan merasa takjub ketika melihat kemegahan negri mereka.   Kemegahan itu sangat memikat banyak orang sehingga ratusan juta orang setiap tahun berkelana ke sana.  Prancis misalnya, yang berpenduduk sekitar enampuluh juta, memiliki wisman yang jauh melebihi angka itu.  Demikian juga negeri Eropa lain.

 

Sebagai orang beriman kita tentu memakai ketakjuban itu sebagai bahan renungan juga, seperti kita melihat kehancuran ummat terdahulu. Ada kemiripan dalam sikap mereka terhadap ayat Allah.  Apalagi setelah peristiwa 9/11 sikap sebagian besar dari mereka semakin berjarak dengan Islam.  Contoh terkini kasus di New Zealand.  

 

Dalam pandangan saya pribadi banyak di antara mereka yang hatinya sakit, dalam arti tertutup oleh kebencian dan kecurigaan.  Dalam percakapan pribadi saya sering menangkap ada rasa itu di kalangan mereka. Untunglah selama ini saya tidak pernah mendapat perlakuan buruk dari mereka.  Meskipun demikian saya mendapat kesan bahwa orang Eropa dan Amerika lebih mudah diberi pengertian daripada orang Asia.   Kita hanya perlu momong perasaannya agar tidak tersinggung.  Kalau mereka sudah merasa nyaman maka mereka akan bersikap bersahabat.  Dan sebaliknya.

 

Kembali tentang intangible souvenir tadi.  Sebenarnya souvenir itu bisa diberikan dua arah. Maksudnya bukan saja kita membawa souvenir dari luar negri untuk masyarakat kita di sini.  Tapi bisa juga kita membawa souvenir dari Indonesia untuk diberikan kepada masyarakat manca negara.  Intangible souvenir ini bisa berupa apa saja, pokoknya  pelajaran yang mencerahkan.  Bisa saja persahabatan yang bisa mengarah ke pencerahan tentang Islam buat mereka.  Ketika banyak muslim Indonesia berwisata ke manca negara maka ikut terbawa juga kesan.  Dan kesan ini bisa memicu tindakan.  Apabila kesannya baik maka bisa menimbulkan simpati.  Jika sudah ada simpati maka akan ada hubungan baik.  Ini akan memudahkan terjadinya saling pengertian dan siapa tahu sebagian dari mereka akan tercerahkan. 

 

Jadi sekali lagi point pentingnya adalah mengambil pelajaran untuk dibawa sebagai oleh oleh tak benda.  Lihat pengalaman KH Ahmad Dahlan yang tidak banyak mengunjungi manca negara, mungkin hanya beberapa negara saja tapi sudah mampu memberi oleh oleh tak benda yang sangat besar dan terus membesar.  It’s not about how many countries you have visited but how much intangible everlasting souvenir you have given to your nation.

Selamat berwisata dan mencari intangible everlasting souvenir.

 

 

Ikuti tulisan menarik Bambang Udoyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler