x

image: ProofHub

Iklan

Mohammad Imam Farisi

Dosen FKIP Universitas Terbuka
Bergabung Sejak: 17 Februari 2022

Senin, 22 Agustus 2022 11:13 WIB

The Man Behind the Tool dalam Penelitian dan Publikasi

Sistem/aplikasi yang digunakan dalam kegiatan penelitian atau publikasi ilmiah hanyalah alat bantu psikologis (psychological tools). Ia dapat menjadi “booster” agar adrenalin fungsi-fungsi psikologisnya lebih terpacu untuk lebih memahami masalah yang dikaji. Melalui psychological tools ini, seseorang bisa menembus batas kemampuan operasi-operasi skemata internal kognitifnya yang berada di zona domestik untuk memasuki zona ekspansif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Salah satu bentuk lompatan kuantum (quantum leap) dalam bidang penelitian dan publikasi ilmiah adalah penggunaan aplikasi atau program komputer (software tools). Aplikasi-aplikasi tersebut diantaranya adalah aplikasi untuk pengolah data (kuantitatif, kualitatif); pengolah informasi data (spasial, keuangan); data mining/big data; pengecekan bahasa (kosa kata, tata bahasa, dll.); penerjemahan; penyusunan sitasi dan daftar pustaka; pembuatan indeks; pengecekan plagiasi; pelacakan jejaring bibliometrik; uji instrument penelitian; dan lain-lain. Aplikasi-aplikasi tersebut ada yang tersedia bebas (free) maupun berbayar.

Berbagai forum diskusi, webinar, workshop, dll. pun digelar untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan/atau praktik baik dalam penggunaannya. Begitu intensif dan ekstensifnya “hilirisasi” dan “komersialisasi” (juga non-komersialisasi) penggunaan aplikasi-aplikasi tersebut, kemudian muncul anggapan bahwa akurasi dan kualitas proses dan produk penelitian dan publikasi ilmiah dipastikan menjadi lebih baik dan tinggi.

Tak bisa disangkal, bahwa kehadiran beragam aplikasi tersebut sangat membantu peneliti, pengolah dan penganalisis data, atau penulis dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik, dan tentu saja lebih cepat. Namun, perlu diingat bahwa apapun aplikasi/sistem tersebut, ia tidak lebih hanyalah sebuah alat bantu (tool) yang mempermudah dan mempercepat penyelesaian tugas mereka. Namun, tidak semua proses dalam kegiatan penelitian dan publikasi ilmiah dapat diselesaikan sepenuhnya oleh aplikasi/sistem, betapapun modern dan canggihnya. Ada bagian-bagian tertentu dan vital, krusial atau strategis yang hanya, dan hanya bisa dilakukan oleh si peneliti atau penulis. Keputusan akhir tetaplah berada di tangan mereka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita tentu ingat adagium “the man behind the gun”, yang secara bebas bisa dimaknai bahwa betapapun canggihnya sistem, aplikasi atau apapun namanya, tetap yang paling utama adalah manusia yang mengoperasikannya. Sistem atau aplikasi yang modern dan canggih jika dioperasikan oleh mereka yang kurang kompeten dan tidak berintegritas, maka produk yang dihasilkannya pun tidak akan baik dan berkualitas.

Untuk menemukan kebaruan/keaselian (novelty/originality) misalnya, peneliti tidak bisa sepenuhnya tergantung dan mengandalkan semata-mata pada aplikasi analisis jejaring bibliometrik (seperti VOSviewer atau Publish or Perish). Peneliti tetap yang harus memutuskan untuk memilih dan menetapkan apa masalah yang akan diteliti dan diyakini memiliki potensi kebaruan/keaselian dari sisi keilmuan atau teoretik atas dasar dua posisi epistemologis.

Pertama, kebaruan/keaselian atas dasar sense of problem, sense of anomali, & sense of crisis yang ditemukan oleh peneliti dan/atau komunitas keilmuan atas tubuh keilmuan (model epistemologi sosial Kuhnian); atau Kedua, kebaruan/keaselian atas dasar state of the art dalam bidang keilmuan peneliti (model epistemologi genetik - Piagetian).

Kedua model epistemologi tersebut tentu tak dimiliki oleh sistem atau aplikasi manapun untuk bisa menentukan secara saintifik: apa kebaruan/keaselian yang dibutuhkan untuk mengisi rumpang-rumpang di dalam tubuh keilmuan; memecahkan teka-teki dan masalah keilmuan; menuntun ilmu dan komuitasnya keluar dari situasi anomali atau krisis; dan/atau meningkatkan daya akurasi solusi dan prediksi ilmiah. Hal yang demikian, hanya bisa dilakukan oleh peneliti melalui expertise judgements and networks yang dimiliki.

Meminjam konsep Lev Vygotsky, sistem/aplikasi tersebut tidak lain merupakan alat bantu psikologis (psychological tools), yaitu artifak-artifak budaya simbolik seperti tanda, simbol, teks, formula/rumus, perangkat grafis, dan terutama bahasa, yang dapat menjadi “booster” bagi seseorang agar adrenalin fungsi-fungsi psikologisnya (ingatan, persepsi, dan perhatian) lebih terpicu & terpacu untuk lebih memahami masalah yang dipelajari/dikaji.

Melalui psychological tools ini, seseorang bisa menembus batas kemampuan dari operasi-operasi skemata internal kognitifnya yang berada di “zona domestik”, untuk kemudian memasuki “zona ekspansif”. Zona ini oleh Vygotsky disebut "Zone of Proximal Development" (Kozulin, et al., 2003; Podolskij, 2012) atau “Zone of reflective capacity” (Tinsley, 2009). Sebuah zona “celah/jarak” (gap, distance) yang berada diantara “zona perkembangan aktual” (bisa berkembang sendiri tanpa bantuan apapun) dan “zona perkembangan potensial” (hanya bisa berkembang dengan bantuan tools atau orang lain).

Dalam kajian dan praktik psikologi maupun sains pada umumnya, sangat beragam psychological tools yang digunakan untuk “mem-booster” fungsi-fungsi psikologis (kognitif) seseorang hingga mampu menembus batas yang tidak terprediksi sebelumnya. Diantaranya adalah observasi ilmiah, uji-coba (eksperimen), dan model-model rekayasa kognitif atau perilaku seperti: four-term contingency, cognitive restructuring, functional analysis, NET (Narrative Exposure Therapy), mindfulness, case formulation, dan Behavioral Activation Treatment for Depression (BATD) (Pennock, 2021).

https://twitter.com/tesolworld/status/1115567538425991168?lang=gl

 

Dalam konteks pengertian seperti ini, bisa dipahami klaim bahwa penggunaan sistem/aplikasi memungkinkan peneliti/penulis berpotensi untuk menghasilkan produk penelitian atau publikasi yang lebih baik dan lebih berkualitas. Dengan catatan, sejauh mereka benar-benar memahami fungsi dan karakteristik dari sistem/aplikasi, serta mampu menggunakannya sebagai tool dengan cara yang benar; sejauh sistem/aplikasi menyediakan “pengait konseptual” (scaffolding) masalah yang menjadi pemikiran peneliti/penulis; dan sejauh didukung oleh expertise judgements and networks yang mereka miliki di dalam melakukan operasi-operasi kognitif maupun operasi-operasi meta-kognitif di dalam skemata internal.

Jika kondisi-kondisi tersebut tidak terpenuhi, maka sistem/aplikasi tersebut tidak banyak bermakna bagi peneliti/penulis untuk menghasilkan produk penelitian atau publikasi yang lebih baik dan lebih berkualitas. Karena keberfungsian sistem/aplikasi sebagai psychological tool tidak mengikuti model satu arah dan pasif "Stimulasi-Respon (S-R Model)", melainkan model interaktif "Subjek-Tindakan-Objek".

Tangsel, 19 Agustus 2022

Ikuti tulisan menarik Mohammad Imam Farisi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler