x

Bahasa politik

Iklan

Mohammad Imam Farisi

Dosen FKIP Universitas Terbuka
Bergabung Sejak: 17 Februari 2022

Kamis, 25 Agustus 2022 20:09 WIB

Gerakan Hijrah ke Politik Identitas Nasional

Presiden dan sejumlah pakar sudah menmgingatkan kemungkinan munculnya politik identitas primordial dan oligarki politik di masa Pemilu 2024. Untuk mencegah hal itu harus ada hijrah politik. Hijarah dari politik identitas primordial ke politik identitas nasional. Partai politik bisa menjadi garda terdepan dalam menginisiasi dan memotori gerakan hijrah politik tersebut. Tapi mungkinkah mereka mau melakukan itu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam pidato pembukaan sidang tahunan bersama MPR, DPR dan DPD RI (16/8/2022), Presiden Jokowi mengingatkan dan mengajak kontestan Pemilu 2024 agar tidak menggunakan politik identitas, politisasi agama hingga polarisasi sosial untuk kepentingan pribadi atau golongan, karena hal ini akan memecah belah bangsa.

Ajakan Presiden tersebut bisa dipahami, mengingat hingga saat ini, dunia perpolitikan nasional masih kuat beraroma politik identitas. Hal ini terlihat saat Pilpres 2014, 2019, dan Pilkada yang berlangsung beberapa waktu lalu, dimana masyarakat terpecah-belah menjadi dua kelompok yang saling menyalahkan, dan syarat dengan isu-isu identitas tertentu (ras, suku, agama, golongan, budaya, dll.).

Luka akibat polarisasi para pendukung dalam Pilpres dan Pilkada tersebut masih terasa dan terus bergaung hingga saat ini. Hal ini dapat ditemukan pada pendikotomian sebutan kepada masing-masing pendukung yang bersifat degradatif. Seperti istilah cebong sebagai sebutan bagi pendukung Jokowi, dan kampret (dari plesetan KMP-Koalisi Merah Putih) atau kadrun (kadal gurun) sebagai sebutan bagi pendukung Prabowo.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di satu sisi, politik identitas memang dapat meningkatkan partisipasi publik karena mereka memiliki ikatan yang kuat untuk memperjuangkan identitas masing-masing. Di sisi lain, politik identitas tak bisa disangkal telah menimbulkan benturan antarpendukung identitas dalam skala yang sangat massif, fatal, brutal, serta mengakibatkan konflik dan keterbelahan persatuan dan kesatuan bangsa yang sulit dan memakan waktu lama untuk memulihkannya.

Politik identitas yang dimaksudkan Presiden tidak lain adalah politik identitas “primordial”, yang didasarkan atau bersumber pada ikatan ras, suku, agama, golongan, budaya, dan atribut-atribut primordialisme lainnya. Ikatan-ikatan primordial seperti itu mungkin bisa dibenarkan dan penting ketika kita masih hidup dalam kelompok-kelompok. Kala itu, politik identitas sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu kelompok, golongan, dan komunitas dalam masyarakat supaya ikatan antaranggotanya semakin kuat, serta dalam perjuangan melawan penjajah

Bagi bangsa Indonesia yang merupakan negara yang kaya akan keberagaman suku, agama, ras, dan budaya, kemunculan kembali politik identitas primordialisme mungkin bisa dipahami, namun tidak bisa dibenarkan. Ada tiga tonggak sejarah perjuangan yang tidak membenarkan adanya paham, ideologi, dan politik identitas primordialisme.

Pertama, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang mengikrarkan pengakuan “satu bangsa, bangsa Indonesia”. Kedua, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang menegaskan bahwa kita adalah sebuah “bangsa”, sebuah “negara-bangsa” (nation state), yaitu bangsa Indonesia. Ketiga, Konstitusi 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945 yang menegaskan bentuk Negara Kesatuan (NKRI), dan di dalamnya terdapat rumusan “Persatuan Indonesia” dari Pancasila sebagai dasar negara.

Ketiga tonggak sejarah perjuangan bangsa tersebut, seharusnya menjadi titik tolak bagi setiap komponen bangsa untuk melakukan "hijrah politik". Yaitu hijarah dari politik identitas primordial ke politik identitas nasional. Sebuah politik yang didasarkan pada ikatan nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang telah disepakati, dijunjung tinggi, dan dipraktikkan bersama oleh seluruh suku, agama, ras, dan budaya yang hidup di Indonesia, serta menjadi paradigma bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kesadaran atas identitas nasional ini bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah keniscayaan. Ketika kita sudah berikrar melalui sumpah pemuda, dan menyatakan kemerdekaan dalam wadah NKRI. Memutar kembali sejarah dengan menggaungkan kembali politik identitas primordial sama artinya dengan mengingkari dan mengkhianati sejarah dan perjuangan bangsa Indonesia, sekalipun dengan alasan demokrasi.

Kebebasan untuk menyatakan pikiran, sikap, dan mengeluarkan pendapat sebagai ekspresi dari hak-hak asasi manusia memang diakui dan dilidungi oleh Konstitusi, sejauh tidak membahayakan eksistensi NKRI dan berdasarkan hukum.

Hijrah politik dari politik identitas primordial ke politik identitas nasional tidak berarti menghapus atau menghilangkan identitas-identitas yang melekat pada suku, agama, kepercayaan, ras, dan budaya yang telah menjadi daya hidup mereka. Pasal  18B UUD 1945 tegas menyatakan bahwa NKRI “mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa (ayat 1), dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang sesuai dengan prinsip NKRI (ayat 2).

Paradigma kesatuan dengan tetap mengakui dan menghormati keberagaman inilah yang menjadi esensi dari “Bhinneka Tunggal Ika”. “Berbeda-beda Itu, Satu Itu”. “Diantara pusparagam adalah kesatuan”. Sebuah semboyan yang mengekpresikan kehidupan masyarakat berdasarkan nilai-nilai toleransi yang sudah ada sejak abad ke-14. Semboyan ini kemudian dikukuhkan di dalam UUD 194 pasal 36A.

Partai politik sebagai salah satu pilar dalam kehidupan demokrasi Indonesia, dan sarana partisipasi politik masyarakat harus menjadi garda terdepan dalam menginisiasi dan memotori Gerakan Hijrah Politik ini. Karena melalui parpol inilah seluruh eleman masyarakat dan bangsa Indonesia dengan segala keragaman suku, agama, ras, dan budaya menyalurkan hak sipil dan hak politiknya, baik untuk memilih wakil-wakil mereka yang akan duduk di lembaga legislasi (MPR, DPR, DPD) maupun yang akan menjadi Presiden.

Politik identitas nasional seharusnya menjadi komitmen politik parpol dalam rangka mengembangkan kehidupan demokrasi, dengan tetap menjaga dan memelihara keutuhan NKRI. Komitmen ini dapat ditunjukkan oleh setiap parpol peserta Pemilu 2024 melalui sikap dan perilaku inklusif (bukan eksklusif), pluralistik (bukan monolitik), mengedepankan kepentingan nasional (bukan personal/kelompok/primordial), musyawarah-mufakat (bukan mencari menangnya sendiri atau egoisme), toleran pada perbedaan (bukan diskriminatif).

Jika ada parpol saat kampanye bermain dengan politik identitas primordial sebagaimana diatur di dalam Peraturan KPU, bisa saja KPU dan Bawaslu memberikan sanksi, bahkan hingga tindakan mendiskualifikasi mereka sebagai peserta Pemilu. Seperti jika saat kampanye tidak menghormati dan menyerang perbedaan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat; tidak menjaga keluhuran nilai-nilai agama dengan memainkan isu-isu keagamaan; dan provokatif, dan hal-hal lain yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

KPU dan Bawaslu harus berani bertindak tegas terhadap setiap kontestan (parpol, pelaksana dan/atau tim kampanye) yang menggaungkan politik identitas primordial, agar luka keterbelahan yang sebagian masih menganga tidak menjadi lebih parah, dan menciderai keadaban demokrasi Indonesia. Karena keruntuhan demokrasi, salah satunya juga disebabkan oleh politik identitas primordial yang menciptakan pemisahan partai politik dan para pendukungnya (rakyat) berdasarkan identitas ras, agama, dan geografi (Levirsky, & Ziblatt, 2018).

Presiden dan sejumlah pakar sudah mengingatkan dan memprediksi bahwa kemungkinan munculnya politik identitas primordial dan oligarki politik masih cukup potensial dan rentan terjadi di masa Pemilu 2024 mendatang. Karenanya, hal ini tetap harus menjadi kewaspadaan bersama.

 

Tangsel, 24 Agustus 2022

Ikuti tulisan menarik Mohammad Imam Farisi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler