Oleh: Bambang Udoyono, penulis buku
Dulu saya pernah KKN di sebuah desa di Kabupaten Purworejo, Jateng. Saat itu belum ada listrik di sana sehingga di malam hari suasana gelap gulita. Sehabis Isya suasana desa sudah sangat sepi. Semua orang tinggal di rumah dan tidur awal. Sebulan sekali tatkala bulan purnama menghiasi langit malam suasana désa jadi meriah. Ternyata malam purnama di desa membuat suasana malam menjadi sangat indah. Tidak ada keindahan seperti itu di kota karena sudah tenggelam dalam gemerlap listrik.
Di malam purnama dan beberapa malam di sekitarnya, banyak sekali anak kecil dan anak tanggung datang ke halaman depan rumah pak Lurah untuk bermain. Meréka berkumpul membuat lingkaran yang disebut sebagai kalangan. Mereka lantas menyanyikan tembang tembang Jawa klasik, salah satunya adalah tembang karya Sunan Kalijogo yang disebut Ilir ilir. Sampai sekarang tembang ini masih sangat populer di kalangan orang Jawa. Semoga permainan anak di malam purnama tidak tergusur oleh permainan modern karena ada juga manfaatnya.
Berikut ini syairnya.
Lir ilir, lir ilir, tanduré wis sumilir
Tanamannya sudah tumbuh subur
Tak ijo royo royo, tak sengguh pengantèn anyar
Hijau segar seperti pengantin baru
Cah angon, cah angon , pènèkno blimbing kui
Anak gembala, panjatlah bimbing itu
Lunyu lunyu pènèkno, kanggo mbasuh dodotiro
Meskipun licin panjatlah untuk membasuh kain batikmu
Dodotiro, dodotiro, kumitir bedah ing pinggir
Dodotmu (kain batikmu) rusak di pinggir sekeliling
Domono, jlumatono, kanggo séba mengko soré
Jahitlah , untuk menghadap nanti soré
Mumpung gedé rembulané, mumpung jembar kalangané
Mumpung bulannya gedé, mumpung luas kalangannya
Yo surako, surak hiyo
Soraklah hiyo.
Saya kira tembang ini mengandung metafora. Banyak orang memiliki tafsir atas tembang itu. Saya juga memiliki tafsir sendiri. Saya yakin bahwa kanjeng Sunan Kalijogo memberitahukan kepada masyarakat bahwa ajaran Islam sudah datang untuk membawa kebahagiaan. Saya kira demikian karena ada frasa Ijo royo royo yang artinya hijau segar. Warna hijau adalah metafora untuk Islam. Warna ini juga akrab dengan dengan masyarakat Jawa masa silam tatkala sumber kehidupan kebanyakan orang adalah pertanian.
Tembang ini berisi perintah atau anjuran untuk ‘bangun’, tidak hanya raganya tapi juga jiwanya. Zoetmulder, seorang pakar sastra Jawa, menulis bahwa kata ilir ilir sinonim dari kata nglilir yang artinya bangun tidur. Jadi kanjeng Sunan menganjurkan masyarakat agar ‘bangun tidur’. Karena ‘tanamannya sudah segar’, artinya Islam sudah datang di tanah Jawa.
Kemudian beliau meminta ‘cah angon’ atau anak gembala yag merupakan simbol rakyat kebanyakan untuk ‘memanjat blimbing’ yang maksudnya untuk naik kelas bukan hanya secara sosial eknomi tapi juga spiritual. Lalu ‘meskipun licin panjatlah’, maksudnya meskipun ada banyak kendala. Dalam Islam ibadah yang terasa berat seperti puasa, solat malam dsb. Tapi setelah dijalani tidak akan terasa berat malah terasa nikmat. Kenikmatan yang berasal dari cinta kasih Allah swt.
Itu semua ‘untuk menghadap nanti sore’, maksudnya untuk menghadap Allah swt ketika sudah saatnya tiba.
Tapi pakaianmu masih belum sempurna, masih ada kerusakan. Jadi perbaiki dulu. Ini maksudnya perbaiki dulu amal ibadahnya.
Mumpung gede bulannya. Ini metafora untuk memanfaatkan lima sebelum yang lima.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seseorang:
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: (1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,(2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, (3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, (4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,(5) Hidupmu sebelum datang matimu.”
Itu semua adalah persiapan yang tujuannnya adalah untuk menghadap Allah swt ketika saatnya tiba. Kalau persiapannya sudah matang, maka pada saat tiba saatnya ‘Séba’ atau menghadap kita sudah bersih dari segala dosa dan kesalahan dan membawa banyak amalan sehingga layak masuk ke dalam sorgaNya.
Konon Carrol McLaughlin, profesor harpa dari Arizona University kagum dengan tembang ini dan sering memainkannya.
Itulah tafsir saya atas tembang Ilir ilir. Mari kita ‘bangun’, lalu ‘merapikan pakaian’. Dan ‘memanfaatkan rembulan gedé’. Kemudian ketika sudah tiba saatnya kita ‘menghadap’ dalam keadaan bersih dan membawa banyak amal.
Ikuti tulisan menarik Bambang Udoyono lainnya di sini.