x

Nurcolis Madjid. Wikipedia

Iklan

Suryana Ependi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 September 2022

Senin, 5 September 2022 14:03 WIB

Moral dalam Pemikiran Nurcholis Madjid

Modernisasi menjadikan manusia mengalami krisis sangat fundamental, yakni keterasingan terhadap dirinya sendiri. Aalienasi ini mengakibatkan manusia mengalami disorientasi. Islam mengajarkan kepada manusia hal-hal eksoterik dan non esoterik. Bagaimanakah ajaran Nurcolis Madjid agar manusia tak mengalami kehampaan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di dalam suatu kehidupan perubahan merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindarkan, karena perubahan akan selalu berjalan bersamaan dengan dinamika sosial yang terus berkembang. Manusia selalu mengalami evolusi dan revolusi dalam kehidupannya. Kehidupan modern yang didorong dengan sebuah kecanggihan dalam teknologi yang ikut membantu mempermudah dalam segala aktivitas sehari-hari manusia.

Ketergantungan pada teknologi itu bisa kita lihat ketika manusia dihadapakan pada virus Covid-19, segala aktivitas kehidupan manusia itu mampu teratasi dengan teknologi. Karena Covid-19 menjadikan kehidupan manusia penuh dengan keterbatasan, keterbatasan di sini yaitu banyak aktivitas itu tidak diperkenankan secara langsung dalam dunia nyata tapi harus dilakukan dengan dunia maya.  Wabah Covid-19 tidak mengijinkan aktivitas yang mengakibatkan kerumunan orang. Hal seperti itu bisa kita lihat misalnya dalam aktivitas pada dunia pendidikan harus dijalankan dengan metode online. Teknologi bukan lagi menjadi bagian dari eksternal manusia, tapi teknologi menjadikan bagian internal kehidupan manusia yang tidak terpisahkan.

Manusia yang merupakan makhluk yang diamanahkan oleh Tuhan untuk menjadi seorang khalifah di bumi “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi...” (Al-baqarah: 30) dan manusia satu-satunya makhluk yang mampu memikul beban tanggung jawab yang tidak bisa dipikul oleh langit, bumi beserta gunung-gunung “Sesungguhnya kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakan (berat), lalu dipikullah amanah itu oleh manusia..”(Al-Ahzab: 72).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Manusia juga merupakan makhluk yang sempurna dibandingkan dengan makhluk nya yang lain, karena Tuhan menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya “Sungguh, aku telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya” (At-tin: 4). Manusia yang merupakan makhluk yang sebaik-baiknya yang telah diciptakan oleh Allah S.W.T. yang terus mengalami kemajuan dalam kehidupannya serta pada diri manusia bukan hanya ada hal-hal yang bersifat eksoterik (lahir) saja tapi memiliki kebutuhan pada hal-hal yang bersifat esoterik (batin) karena tugas manusia yaitu untuk beribadah kepada Allah “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-ku” (Az-zariyat: 56). Hal-hal yang esoterik juga sangat penting dalam kehidupan manusia karena dengan seperti itu manusia tidak merasa terasingkan dengan dirinya sendiri sehingga tidak mengalami disorientasi dalam kehidupannya.

Modernisasi yang telah menjadikan manusia mengalami krisis yang sangat fundamental. Manusia modern mengalami keterasingan terhadap dirinya sendiri (alienasi) sehingga mengakibatkan manusia menjadi disorientasi. Islam yang merupakan sebuah ajaran yang sempurna, mengajarkan kepada manusia bukan hanya hal-hal yang eksoterik saja melainkan juga pada hal-hal yang sifatnya esoterik. Kehampaan manusia diakibatkan pada hal-hal yang terlalu mengagungkan rasionalisme dan hal-hal yang eksoterik terlanjur melupakan pada hal-hal yang sifatnya esoterik sehingga dalam hal ini membutuhkan sebuah formula untuk mengatasi kehampaan itu. 

Nurcholis Madjid atau yang sering disapa Cak Nur merupakan tokoh pembaharu era 1970 dan 1980-an. Ketika berbicara pembaharuan pemikiran keislama di Indonesia nama Nurcholis Madjid tidak pernah bisa dilepaskan. Karena Cak Nur turut serta menjadi tombak pembaruan pemahaman keislaman di Indonesia, sehinga gagasan gagasan cak nur yang mampu melihat bagaimana relasi antara keislaman, keindonesiaan dan kemodernan mampu berdiri berdampingan. Sehingga gagasan-gagasan itu masih terus hidup ikut mewarnai dunia pemikiran keislaman, keindonesiaan dan kemodernan.

Pemikiran Cak Nur yang ikut menghebohkan dunia pemikiran pada masa itu yang banyak menuai kontroversi dan bukan tidak sedikit orang atau teman seperjuangannya yang ikut mengutuk keras dari pemikiran cak nur itu. Terlepas dari segela kontroversi akan pemikiran cak nur. Sudah sewajarnya kita harus mampu melihat secara bijaksana atas dedikasi dengan segala pemikirannya yang ikut serta mendorong khususnya umat islam Indonesia ke sebuah pemahaman yang lebih plural dan egaliter dalam melihat persoalan tidak lain untuk tercapainya Islam yang rahmatan lil alamin. Melihat pada pembahasan ini bagaimana kita melihat serta merumuskan pemikiran Cak Nur tentang Moral dalam kehidupan yang plural. Pembahasan ini kita awali dengan melihat bagaimana Cak Nur melihat Iman dan Tata Nilai Rabbaniyah.

Dalam pembahasan tentang Iman setiap individu tidak bisa dipisahkan dari tentang trilogi ajaran Ilahi. Dalam perbendaharaan kata dalam agama Islam sebagai trilogi keimanannya ialah iman, islam dan ihsan. Iman itu melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Rabbaniyah), yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dar dan menuju Tuhan (Inna Li’-Lahi wa inna ilayh-i raji’un) “sesungguhnya kita berasal dari tuhan dan kita akan kembali kepada-Nya”, maka tuhan adalah asal dan tujuan hidup seluruh makhluk (Nurcholis Madjid, 2008:3). Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan ini dari semua ajaran yang benar, karena umat manusia telah mendapatkan petunjuk dari sang pembawa berita yaitu utusan tuhan (nabi) yang berita itu dari tuhan untuk disampaikan kepada umat manusia. Sehingga dalam praktiknya ritual dasar Islam telah disampaikan kepada para nabi, itu akan menemukan titik pertemuan (kalimah sawa) antara semua agama manusia, dan orang-orang muslim diperintahkan untuk mengembangkan titik pertemuan itu sebagai landasan hidup bersama (Nurcholis Madjid, 2008:3). Semua standarisai ritual tersebut biasanya disebut sebagai arkan, atau pilar-pilar, dari agama, karena dari atas fondasi itulah seluruh struktur ritual agama islam berpijak. Ritus-ritus tersebut terdiri dari shalat-shalat fardhu, berpuasa, berhaji, dan pembayaran dua setengah persen dari harta atau yang disebut dengan zakat (Seyyed Hossein Nasr, 2003:107). Berjalannya aspek kebertuhanan seorang muslim itu bergantung kepada tingkat keimanan dalam menjalankan ritual-ritualnya.

Dalam bagian yang lain Cak Nur melihat Tauhid sebagai landasan untuk pembebasan. Berbicara mengenai Tauhid merupakan suatu hal yang tidak asing bagi umat Islam. Kata tauhid merupakan kata benda kerja (verbal Noun) aktif yaitu memerlukan sebuah objek, yang secara tashrif dari kata-kata “wahid” yang artinya “esa”. Melihat dari kata di atas secara makna tauhid yaitu mneyatukan. Bahkan dalam makna generiknya digunakan untuk arti “mempersatukan” hal-hal yang terserak-serak, misalnya kita melihat dalam penggunaaan bahasa arab”Tauhid al-kalimah” yang kurang lebih berarti “mempersatukan paham”, dan dalam ungkapan “tauhid al-quwwah” yang berarti “mempersatukan kekuatan” (Nurcholis Madjid, 2008:72).

Dilihat dari pemikiran Cak Nnur yang pernah ditulis dalam makalah-makalah atau buku, dia menempatkan iman sebagai puncak tertinggi atas segala-galanya. Misalnya kita melihat dalam perjalanan intelektualnya Cak Nur pernah membuat sebuah tulisan tentang ringkasan buku yang dijadikan sebagai ideologi perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam yang sering dikenal dengan Nilai-nilai Dasar Perjuangan. Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi karya intelektual utama dan pertama yang dihasilkan oleh Cak Nur yang cukup utuh dan sistematis. Jika isi NDP itu disarikan akan diperoleh empat tema pokok, yaitu Ketuhanan (keimanan), Kemanusiaan dan Kemasyarakatan, Keadilan Sosial-Ekonomi dan pentingnya ilmu pengetahuan (Wahyuni Nafis, 2014:239).

Pemikiran Cak Nur secara fundamental tidak banyak mengalami perubahan yaitu memandang iman sebagai suatu hal yang terpenting dari hal yang lain, karena Iman merupakan sebuah fondasi bagi umat Islam dalam terciptanya sebuah perubahan dan sebagai efek bagi pembebasan dengan paradigma Islam yang rahmatan lil alamin. Di dalam merumuskan semangat tentang pembebasan tauhid Cak Nur menjelaskan dengan bermusyawarah dan berkomunikasi bersama lintas iman yaitu dengan tujuan melihat titik akan persamaan plurality dalam berkeyakinan sehingga bisa menghapus eksklusifitas. Musyawarah tersebut di jalankan dengan adanya asumsi kebebasan pada masing-masing perorangan manusia. Dalam rangka memberi kerangka kepada pelaksanaan kebebasan-kebebasan asasi itulah pengalaman positif barat tentang demokrasi prosedural dapat dijadikan sebuah pertimbangan (Nurcholis Madjid,1997:39).

Menggali pemikiran moral Nurcholis Madjid ialah kita mulai dengan melihat kerangka pemikiran Cak Nur yang bersifat Filosofis. Kerangka filosofis pemikiran Cak Nur ialah dengan membuka pandangannya terhadap kitab suci Al-Qur’an dari sisi inspirasi, sifat dan tujuannya. Hal itu melihat daripada kerangka yang dibangun oleh Cak Nur terhadap kitab suci Al-Qur’an dan sifat totalitas pemikirannyayang dibentuk dan diarahkan oleh kerangka filosofis tersebut. Cak Nur dalam membedah suatu persoalan real yang dihadapi oleh umat islam berdasar atas keyakinan yang kukuh bahwa Al-Qur’an adalah dokumen wahyu yang rasional yang dapat dipahami seacara rasional pula (Komarudin Hidayat, 1998:175).

Menurut Cak Nur, rasionalitas merupakan sesuatu yang sangat penting dalam melakukan sebuah ijtihad, dimana ijtihad adalah kunci bagi umat islam untuk menata diri dan berkembang lebih maju dalam menjawab persoalan dinamika zaman. Sehingga fokus ijtihad Cak Nur melahirkan suatu hal yang diarahkan dan diterapkan dalam pola pembaharuan pemikiran Islam (Nurcholis Madjid, 1995:172-179).

Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Maha Pencipta bagi kalbu manusia, dengan ke-Maha Esa-An-Nya menjadikan tuhan yang tak terjangkau oleh manusia. Karena tuhan suatu hal yang tak dapat terjangkau menjadikan. Sehingga kontak kedekatan tuhan itu terwujud hanya melalui kontak batin antara Manusia dan Tuhan. Sehingga manusia membutuhkan sebuah petunjuk untuk menjadikannya dekat kepada Tuhan-Nya. Hal-hal seperti itu merupakan hal yang supra empiris karena tidak bisa dijangkau oleh manusia, sehingga manusia membutuhkan jalan guna mengetahui “grand design” tuhan itu ialah dengan bersandar kepada “berita” yang dibawa oleh pembawa “berita” atau nabi dari Tuhan.

Pada saatnya ketika sampai pada berita yang dibawa oleh utusan tuhan (nabi) ialah agar manusia selalu berusaha menyempurnakan jati-diri (akhlak-nya). Karena kesempurnaan akhlak itu harus diperjuangkan secara terus menerus, maka manusia adalah makhluk akhlak moral being. Tuhan juga menampilkan diri, melalui “berita” yang dibawa nabi-nabi, dalam bentuk kualitas moral. Melalui persepsinya terhadap kualitas-kualitas ilahi seperti sifat Maha Kasih Sayang, Maha Pengampun, Maha Adil, dan seterusnya, manusia menghayati nilai-nilai luhur kejatidirian, keakhlakan dan moralitas (Nurcholis Madjid, 2008:36).

Puncak dari beriman ialah menjadikan manusia memiliki moral yang baik (akhlak) dan melahirkan sebuah amal perbuatan yang memiliki efek positif dalam hubungan antar manusia. Ibadah yang merupakan sebagai institusi iman hal itu harus melahirkan sebuah konsekuensi pada amal perbuatan. Dengan kata-kata lain, disamping bersifat serba transendental dan mahatinggi, menurut persepsi agama-agama samawi, tuhan juga bersifat etikal, dalam arti bahwa Dia menghendaki pada manusia tingkah laku yang akhlaki atau etis, bermoral (Nurcholis Madjid, 2008:61).

Walaupun Iman suatu hal yang abstrak tapi harus melahirkan suatu amat perbuatan yang konkret dan hal itu direfresentasikan kepada ibadah yang dilakukan oleh manusia. Selain daripada pengaplikasian pada ibadah sebuah institusi dari Iman hal itu juga terwujud dari hal standar etis dan moral nya terlihat, karena Tuhan juga bersifat yang menghendaki manusia untuk berkakhlak kepada manusia yang lain (Ar-Rahman dan Ar-Rahim).

Prinsip yang bersifat saling keterbukaan dan keadilan itu merupakan memiliki keterkaitan karena keduanya merupakan konsistensi iman dalam kemanusiaan. Dengan konsep seperti itu akan melahirkan nilai-nilai dalam demokrasi yang bisa diambil yaitu sebuah kehendak bersama. Dari berbagai konsekuensi logis paham ketuhanan Yang Maha Esa, salah satunya yang amat kuat mempunyai dampak pembebasan sosial yang besar ialah egalitarianisme (Nurcholis Madjid, 2008:87).

Masyarakat egaliter hal itu bisa terlaksana dengan musyawarah dan juga memutuskan urusan bersama dengan cara bermusyawarah. Sebagaimana dalam firman Allah dalam Al-Qur’an “dan dengan adanya rahmat Allah engkau (Muhammad) bersikap ramah kepada mereka. Seandainya engkau ini bengis dan rendah hati, pastilah mereka lari dari sekelilingmu. Karena itu bersikaplah lapang kepada mereka dan memohon ampun untuk mereka, serta bermusyawarah dengan mereka dalam segala perkara. Maka jika kau telah ambil keputusan, bertwakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal (Q.S. Al-Imran/3:159). Maka dari itu menurut Cak Nur, menjadi suatu keharusan dalam tatanan hidup manusia karena pada diri manusia terdapat kekuatan dan kelemahan sekaligus.

Iman merupakan suatu hal yang mendasar bagi umat muslim. Kesempurnaan iman terlihat ketika seimbang antara imana dan amal. Tidak iman tanpa amal, dan muspralah amal tanpa iman. Juga digunakan istilah-istilah lain untuk menunjukan eratnya hubungan antara dua aspek jalan hidup yang benar itu, seperti taqwa dan akhlak itu, serta tali hubungan dengan Allah dan tali hubungan dengan sesama manusia (Habl min Allah wa Habl min Al-Nas) (Nurcholis Madjid, 2008:127). Selain daripada Iman dan amal umat islam harus sadar akan penting nya sebuah ilmu, sehingga akan melahirkan sebuah segitiga pola hidup yang benar dan kukuh, yaitu Iman, Ilmu dan Amal.

Cak Nur merupakan Intelektual Islam modern selalu melihat dalam kehidupan manusia selalu mengalami akan pengalaman mistis. Cak Nur, dalam berbicara hal moral melihat pada seorang sufi, bagaimana seorang sufi karena kepuasannya akan pengetahuan tentang kebenaran, sehingga tidak banyak menuntut dalam hidup yaitu pasrah. Karena seorang sufi selalu merasa puas (qana’ah) sehingga tidak banyak berharap kepada makhluk. Hidup dengan sikap pasrah itu memang bisa mengesankan kepasifan dan eskapisme. Tapi sebagai dorongan hidup bermoral, pengalaman mistis kaum sufi sebetulnya merupakan suatu kedahsyatan. Karena itulah ajaran-ajaran tasawuf yang juga disebut ajaran akhlaq. Dan akhlak yang mereka wujudkan ialah yang merupakan “tiruan” Tuhan, sesuai dengan sabda nabi yang mereka pegang teguh, “berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Allah” (Nurcholis Madjid, 2008:261).

Ikuti tulisan menarik Suryana Ependi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB