x

Peta Kuno Maluku. Wikipedia

Iklan

Reza Ahmad Wildan

Pembelajar-Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 Agustus 2022

Senin, 5 September 2022 23:04 WIB

Masa Lampau Berawal dari Bahasa Melayu

Pigafetta yang mengikuti Magelhaen mengelilingi dunia, ketika berlabuh di Tidore 1521, menuliskan daftar kata-kata Melayu yang pertama. Ini membuktikan bahwa bahasa Melayu yang berasal dari bagian Indonesia barat, pada zaman itu telah tersebar sampai ke Indonesia yang sejauh-jauhnya di sebelah timur.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bahasa Indonesia merupakan salah satu varian histori. Dikatakan varian histori karena bahasa Indonesia merupakan kelanjutan dari bahasa Melayu, bukan dari bahasa lain di Asia Tenggara. Masa lampau bahasa Indonesia dapat dipahami dengan membicarakan kembali bahasa Melayu sebagai sumber bahasa Indonesia yang kita pergunakan sekarang. Tumbuh dan berkembangnya bahasa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari bahasa Melayu, yang sejak dahulusudah dipakai sebagai bahasa pengantar atau perantara (lingua franca), bukan saja di KepulauanNusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.

Masa Lampau Berawal dari Bahasa Melayu

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahasa Melayu mulai dipergunakan sebagai alat komunikasi pada abad ke-7 sampai abad ke-14, yaitu bahasa Melayu Kuno. Bahasa Melayu tertua yang masih dapat diselidiki sebagai peninggalan masa lampau ialah bahasa Melayu dari batu bersurat peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Bahasa Sriwijaya pada batu bersurat itu merupakan bahasa Melayu tertua, berabad-abad lebih tua daripada sisa-sisa bahasa Jawa Kuno, sebagai sisa yang tertua yang pernah ditemukan orang tentang bahasa-bahasa Austronesia. Periodisasi sejarah bahasa Melayu terbagi atas:

  1. bahasa Melayu Kuno, yang meliputi kurun abad ke-7 sampai abad ke-14;
  2. bahasa Melayu Tengahan, yang mencakup di dalamnya apa yang lazim disebut bahasa Melayu Klasik yang meliputi kurun abad ke-14 sampai ke-18;
  3. bahasa Melayu Peralihan, yang mencakup kurun abad ke-19; dan
  4. bahasa Melayu Baru, yang dipergunakan sejak awal abad ke-20.

 

Peninggalan masa lampau bahasa Melayu diperoleh dari batu bersurat yang tersebar di Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Sumatra Selatan, Jambi, Bangka, dan Sumatra Barat. Daftar batu bersurat (prasasti) yang ditemukan, yaitu:

  1. Prasasti Sojomerto (Pekalongan, Jawa Tengah)
  2. Prasasti Bukateja (Purbalingga, Banyumas, Jawa Tengah)
  3. Prasasti Dieng (Jawa Tengah)
  4. Prasasti Sang Hyang Wintang I (Gandasuli, Temanggung, Jawa Tengah)
  5. Prasasti Sang Hyang Wintang II (Gandasuli, Temanggung, Jawa Tengah)
  6. Prasasti Dang Pu Hawang Glis (Gandasuli, Temanggung, Jawa Tengah)
  7. Prasasti Mañjuçrigrha (Candi Sewu, Jawa Tengah)
  8. Prasasti Kebon Kopi (Bogor, Jawa Barat)
  9. Prasasti Kedukan Bukit (Palembang, Sumatra Selatan)
  10. Prasasti Talang Tuwo (Palembang, Sumatra Selatan)
  11. Prasasti Telaga Batu (Palembang, Sumatra Selatan)
  12. Fragmen Prasasti Palembang (Sumatra Selatan)
  13. Prasasti Kota Kapur (P. Bangka, Sumatra Selatan)
  14. Prasasti Karang Brahi (Jambi)
  15. Prasasti Palas Pasemah (Lampung)
  16. Prasasti Jebung (Lampung
  17. Prasasti Padang Roco (Sumatra Barat)
  18. Prasasti Bukit Gombak (Sumatra Barat)

 

Prasasti-prasasti itu berasal dari kurun antara awal abad ke-7, yaitu Prasasti Sojomerto, sampai abad ke-14, yaitu Prasasti Bukit Gombak. Sedangkan bahasa Melayu Tengahan diketahui dari surat- surat, naskah perjanjian, dan karya-karya klasik. Pada periodisasi bahasa Melayu Tengahan (abad ke-14 sampai abad ke-18), penyebaran bahasa Melayu ke pelosok-pelosok Asia Tenggara tidak dilakukan oleh orang Melayu melainkan oleh bangsa-bangsa yang sengaja menggunakannya untuk perhubungan antara suku-suku bangsa yang berlainan bahasanya atau dengan orang asing.

Pada awal abad ke-15 sampai abad ke-16 M, ketika bangsa Eropa pertama kali datang ke Indonesia, bahasa Melayu sudah mempunyai kedudukan yang luar biasa di tengah-tengah bahasa- bahasa daerah Indonesia yang banyak itu. Pigafetta yang mengikuti Magelhaen mengelilingi dunia yang pertama kali, ketika kapalnya berlabuh di Tidore tahun 1521, menuliskan daftar kata-kata Melayu yang pertama. Hal ini penting sekali artinya, oleh karena dengan jelas dibuktikannya bahwa bahasa Melayu itu berasal dari bagian Indonesia sebelah barat, pada zaman itu telah tersebar sampai kepada bagian Indonesia yang sejauh-jauhnya di sebelah timur.

Jan Huygen van Linschoten, pelaut Belanda yang 60 tahun kemudian berlayar ke Indonesia, menulis dalam karangannya, bahwa bahasa Melayu itu bukan saja sangat harum namanya, tetapi juga bahwa bahasa itu dianggap bahasa yang sehormat-hormatnya di antara bahasa-bahasa negeri timur dan bahwa orang yang tiada tahu bahasa itu di Indonesia dapatlah dibandingkan dengan orang yang tiada tahu bahasa Perancis di negeri Belanda zaman itu.

Pada awal abad ke-15 M, Sultan Ternate, tentunya penutur bahasa Ternate, tapi berkorespondensi dengan Raja Portugal dalam bahasa Melayu. Pada abad-abad kemudian, pendeta-pendeta Kristen, yang bukan penutur asli Melayu, bahkan semuanya orang asing, menggunakan bahasa Melayu untuk menyebarkan agama Kristen, sehingga bahasa itu dikenal di mana-mana di Asia Tenggara ini. Lebih jelasnya, bahwa agama Islam pun mengikuti jalan-jalan pelayaran dan perdagangan yang ada, memakai bahasa Melayu, demikian juga halnya dengan bangsa Portugis. Pada abad ke-16 bahasa Melayu-lah yang dipakai oleh raja-raja di daerah Maluku apabila mereka mengirim surat kepada Raja Portugis. Saint François Xavier, yang dalam abad ke- 16 menentang Islam di kepulauan Maluku, untuk dapat menarik penduduk asli masuk agama Kristen, menulis keterangan-keterangannya tentang kepercayaan Kristen dalam bahasa Melayu.

Bukan hanya itu, selama abad ke-16 dan ke-17 para pedagang Portugis dan pedagang Belanda mulai berdatangan di pulau-pulau Asia Tenggara, dan mereka mulai menyadari bahwa mereka dapat berkomunikasi dengan penduduk pesisir di semua pusat perdagangan besar semata- mata dengan menggunakan sebuah bahasa tunggal, yakni bahasa Melayu. Dengan kata lain, bahasa Melayu sudah merupakan lingua franca, bahasa perhubungan, dan bahasa perdagangan yang utama di Kepulauan Indonesia sebelum tahun 1600 M. Hal itu rupanya disebabkan karena bahasa Melayu itu mudah strukturnya sehingga mudah pula dipelajari, tidak dikenal tingkatan bahasa seperti dalam bahasa Jawa yang kata-katanya sering berbeda-beda bergantung kepada usia, pangkat, dan kedudukan dalam masyarakat dari orang yang dihadapi, atau tidak dikenal pembedaan pemakian bahasa kasar dan bahasa halus seperti dalam bahasa Sunda.

Setelah tahun 1600 M, pertama kalinya Badan Perniagaan/Perdagangan Belanda “Vereenigde Oostindische Compagnie” bekerja di Indonesia. Sejak awal ia seperti bangsa Portugis sebelumnya, berusaha menyebarkan agama Kristen di Indonesia. Untuk mencapai maksudnya itu antara lain didirikannya juga sekolah. Tetapi, sejak awal abad ke-17, ia menghadapi soal bahasa apakah yang akan dipakai dalam sekolah dan dalam gereja untuk penduduk asli. Usahanya untuk memasukkan bahasa Belanda banyak menghadapi kesulitan, karena bahasa-bahasa daerah di kepulauan Indonesia sangat banyak jumlahnya, sehingga ia terpaksa memakai bahasa Melayu yang dapat dipahamkan oleh sebagian besar dari penduduk kepulauan Indonesia.

Di sisi lain, dalam garis-garis besarnya, setelah pecahnya Perang Dunia II pada abad ke- 19, maka terjadi sejarah timbulnya bahasa-bahasa kebangsaan di Asia akibat dari keruntuhan kerajaan-kerajaan kolonial Eropa. Dalam sejarahnya, kekuasaan-kekuasaan penjajahan Eropa telah menimbulkan di daerah-daerah Asia yang luas itu berbagai kesatuan politik dan ekonomi yang terus berdiri setelah daerah-daerah itu melepaskan diri dari penguasa-penguasanya.

Demikianlah, sesudah Perang Dunia II tampil-lah India, Pakistan, Birma, Filipina, dan Indonesia sebagai negara-negara kebangsaan yang baru. Tiap-tiap negara ini telah menghadapi dan masih menghadapi bukan saja soal-soal politik dan ekonomi, tetapi tak kurang juga soal-soal bahasa. Soal-soal bahasa di India, di Pakistan, di Birma, dan di Filipina yang dahulu dikuasai oleh bahasa Inggris dan yang dalam abad yang terakhir ini telah menjadi bahasa perhubungan dunia, adalah lebih sulit dan lebih banyak seluk-beluknya daripada di Indonesia, yang mendapat kesempatan untuk memikirkan kembali soal-soal bahasanya dari semula, oleh karena bahasa penjajahnya, yaitu bahasa Belanda tidaklah begitu penting kedudukannya dalam perhubungan dunia.

Oleh karena itu, mungkin di Indonesia, agak mudah dibangunkan suatu bahasa kebangsaan yang baru, meskipun keadaan Indonesia amat sulit, apabila dilihat dari jurusan bahasa. Keadaan yang menyulitkan Indonesia, pertama, daerah Indonesia itu amat luas, jika dibandingkan dengan Eropa yang hanya membentang dari Irlandia sampai ke Laut Kaspia, atau jika dibandingkan dengan Amerika dari Los Angeles sampai ke Boston. Kedua, keadaan geografi maupun seluk-beluk soal-soal bahasa di Indonesia boleh dikatakan amat ruwet, karena Indonesia adalah suatu daerah yang terjadi dari beribu-ribu pulau, sedangkan pulau-pulau yang besar dibagi- bagi pula oleh pegunungan-pegunungan yang tinggi dalam berates-ratus bagian yang kecil-kecil dan terpencil, sehingga dalam beribu-ribu tahun yang telah lampau, di daerah yang luas ini telah timbul kira-kira 250 bahasa dan dialek.

Melihat keadaan Indonesia seperti itu, karena daerah Indonesia yang luas dan terpecah menjadi beratus-ratus kesatuan geografi dan kebudayaan yang masing-masing mempunyai bahasanya sendiri-sendiri, maka bukan saja yang berasal dari kepulauan Indonesia, tetapi juga bangsa asing yang senantiasa bergelombang-gelombang datang ke Indonesia, tertarik oleh kekayaan yang termashur itu.

Dan tentu saja, pada waktu kepulauan ini (dalam arti politik atau kebudayaan) dikuasai oleh kekuasaan-kekuasaan asing, senantiasa ada kecenderungan bahwa bahasa kebudayaan atau kekuasaan politik asing itu menjadi bahasa pergaulan, yaitu bahasa Sansekerta dalam zaman Hindu, bahasa Arab dalam zaman Islam, bahasa Belanda dalam zaman penjajahan, dan bahasa Jepang waktu pendudukan Jepang. Tetapi oleh karena struktur bahasa-bahasa Indonesia amat berbeda dari bahasa-bahasa asing itu, sedangkan bahasa-bahasa asing itu hanya dipahami oleh selapis yang kecil dari bangsa Indonesia, dengan sendirinya di bawah atau di sisi bahasa asing itu terdapat pula suatu bahasa pergaulan yang kurang asing sifatnya bagi orang-orang yang hidup di kepulauan ini, yang bahasa atau dialek ibunya berbeda-beda itu.

 

Bahkan mungkin sekali, dalam berabad-abad kuno Tionghoa telah terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang Tionghoa yang pada permulaan kurun Masehi datang ke Indonesia telah menemui sejenis lingua franca Indonesia di kepulauan ini yang dinamakan Kwenlun. Tetapi yang pasti ialah bahwa di Sriwijaya yang merupakan suatu kerajaan yang besar pada permulaan kurun Masehi, yang menguasai sebagian dari Asia Tenggara dan mempunyai pusatnya di daerah Indonesia yang berbahasa Melayu, besar sekali pengaruhnya menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franca di kepulauan ini. Selain dari itu, ada beberapa faktor yang amat penting, pertama, daerah yang berbahasa Melayu itu terletak pada kedua belah pihak Selat Malaka dan pada Laut Tiongkok Selatan, yaitu pada jalan-jalan penting untuk masuknya kapal laut ke Kepulauan Indonesia, yang merupakan perhubungan laut satu-satunya antara Timur dan Barat. Kedua, bahasa Melayu itu bersifat melaut, saudagar, dan perantau sehingga mereka amat banyak mengembara ke luar daerah tempat kediamannya ke mana-mana. Ketiga, kota Malaka lebih dari seratus tahun lamanya menjadi Bandar yang terpenting di Asia Selatan, tempat berkumpul saudagar-saudagar dari Indonesia dan negeri-negeri asing, dan bersama-sama dengan itu adalah salah satu pusat penyebaran agama Islam yang penting.

 

Sementara itu, bahwasanya kedudukan bahasa Belanda di Indonesia masih sangat penting. Bertambah kuat dan luas kedudukan bangsa Belanda di Indonesia, bertambah kuat dan luas pula bahasa mereka. Pada abad ke-19 dan ke-20, setelah Badan Perniagaan/Perdagangan “Vereenigde Oostindische Compagnie” diganti oleh pemerintah jajahan Belanda yang terpengaruh oleh politik liberal Eropa, maka bertambah lama bertambah banyak berusaha memberikan pengajaran kepada bangsa Indonesia. Dalam pada itu, kedudukan bahasa Melayu bertambah maju juga oleh karena bangsa Belanda pun memakainya dalam pemerintahan dan dalam korespondensi mereka dengan bangsa Indonesia.

 

Setelah mengelilingi Pulau Jawa dalam abad ke-19, tepatnya tahun 1850, Gubernur Jenderal Rochussen mengusulkan supaya bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar, sebab bahasa Melayu itu lingua franca seluruh kepulauan Hindia, yaitu bahasa yang dipakai oleh bangsa- bangsa berbeda-beda: Melayu, Jawa, Cina, Arab, Bugis, Makasar, Bali, atau Dayak, dalam perhubungan sesamanya. Sebaliknya, karena pengaruh Van Der Chijs maka pada pertengahan abad ke-19 penyebaran bahasa Belanda pun mendapat kemajuan. Baginya tidak cukup bangsa Indonesia didirikan sekolah-sekolah Eropa, dia mempertahankan pula supaya didirikan sekolah- sekolah istimewa untuk bangsa Indonesia, yaitu tempat untuk belajar bahasa Belanda. Selain itu, dianjurkan juga mendirikan sekolah lanjutan dan sekolah menengah.

 

Pada sekitar pergantian abad ke-19, muncul aliran Etik dalam politik jajahan, yang berusaha supaya bangsa Indonesia dapat menyertai kebudayaan Eropa dengan jalan memberikan kepadanya pengetahuan dan metode kebudayaan barat. Dan apabila Mr. J.H. Abendanon dalam tahun 1900 M menjadi Direktur Departemen Pengajaran, maka diusahakannyalah dengan segala tenaganya untuk menyebarkan bahasa Belanda di Indonesia. Sebab, dalam anggapannya dengan bahasa Belanda-lah bangsa Indonesia itu akan dapat mencapai kebudayaan barat dengan jalan yang sesingkat-singkatnya. Mr. J.H. Abendanon mendirikan kursus-kursus bahasa Belanda pada sekolah-sekolah rakyat yang 6 tahun, kemudian bahasa Belanda itu menjadi mata pelajaran yang tetap dari kelas 3 sampai kelas 6 sekolah rakyat dan berhubung dengan itu, bahasa Belanda dijadikan mata pelajaran yang penting pada sekolah guru.

 

Selanjutnya, pada tahun 1901 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. A. van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, dimuat dalam Kitab Logat Melayu yang oleh Gubernemen Belanda telah ditetapkan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah bumiputera. Sistem yang terkenal dengan nama Ejaan van Ophuijsen menjadi ejaan resmi bahasa Melayu di daerah jajahan Belanda.

 

Dalam abad ke-20 yaitu tahun 1908, Pemerintah Belanda mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah namanya menjadi Balai Pustaka. Balai Pustaka menerbitkan buku-buku novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, majalah-majalah, seperti Seri Pustaka, Panji Pustaka; dan buku-buku penuntun bercocok tanaman; penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas. Kehadiran kedua novel itu di masa kini di toko buku menjadi bukti bahwa bahasa Indonesia sudah ada dan sudah dipakai sebelum tahun 1928.

 

Sementara itu, pada tahun 1908 untuk pertama kalilah bangsa Indonesia mengucapkan tuntunan dengan bahasa Belanda, yaitu pada Kongres Budi Utomo di Jakarta, yang merupakan tempat bersatu yang pertama kaum terpelajar bangsa Indonesia yang sadar. Pada waktu itu dituntut supaya syarat untuk masuk ke sekolah Belanda dipermudah, tetapi di sisi itu, diminta pula agar anak-anak bangsa Indonesia yang hendak melanjutkan pelajarannya tentang bahasa Belanda didirikan sekolah-sekolah yang istimewa.

 

Pada tahun 1914, masih abad ke-20, Pemerintah Belanda mendirikan Hollandsch Inlandsch Scholen agar anak-anak yang telah tamat dapat melanjutkan pelajarannya sejauh- jauhnya. Demikianlah, kedudukan bahasa Belanda bertambah lama bertambah penting dalam masyarakat bangsa Indonesia, oleh sebab bahasa itu bukan saja menjadi syarat untuk melanjutkan pelajaran barat, tetapi juga untuk menduduki jabatan-jabatan yang besar gajinya. Selain itu, bahasa Belanda lambat laun menjadi ciri suatu lapisan atas baru dalam masyarakat bangsa Indonesia. Tak mengherankan tiap-tiap tahun beribu-ribu orang tua berusaha agar anaknya diterima pada Hollandsch Inlandsch Scholen, tetapi jumlah tempat yang disediakan jauh lebih kurang daripada permintaan, sehingga banyak sekali permintaan yang harus ditolak.

 

Selain itu, ada juga segolongan ahli-ahli pendidikan Belanda yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memajukan bahasa Belanda di Indonesia, di antaranya yang terpenting adalah Dr. G.J. Nieuwenhuis. Dialah yang dengan sadar memperjuangkan kedudukan bahasa Belanda oleh karena baginya bahasa Belanda itu adalah alat untuk menyebarkan kebudayaan dan alat untuk pengluasan ekonomi. Adalah tujuan Dr. G.J. Nieuwenhuis untuk menjadikan bahasa Belanda bahasa persatuan di Indonesia. Berhubungan dengan itulah, maka ia berkata: “Apabila kita hendak memajukan kesatuan Indonesia, maka hendaklah kita mulai dengan lapisan atas, dengan pemimpin-pemimpin, maka mestilah kita – seperti dilakukan orang Hindia Inggris dan Annam – menjadikan alat pergaulan bahasa yang mewakili kebudayaan internasional, di Indonesia bahasa itu adalah bahasa Belanda”.

 

Dengan demikian, dapat dikatakan, tentulah Dr. G.J. Nieuwenhuis mesti menolak bahasa Melayu. Pengaruhnya dalam penyebaran bahasa Belanda sampai tahun 1930 boleh dikatakan amat besar. Tetapi sebaliknya, pada waktu itu pula-lah bangkit reaksi serentak segolongan yang besar bangsa Belanda, yang salah satu di antaranya adalah Dr. J.W. Mever Ranneft yang sedih, dan takut melihat bahwa bertambah lama bertambah banyak bangsa Indonesia masuk sekolah menengah dan sekolah tinggi, dan menduduki jabatan-jabatan pemerintah yang penting-penting, sehingga ia menentang dan menolak bangsa Indonesia diberi pendidikan barat.

 

Akan tetapi setelah itu, pada tanggal 28 Agustus 1916 dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag Negeri Belanda, Raden Mas Soewardi Soejaningrat (yang kemudian bernama Ki Hajar Dewantara) membentangkan prasaran. Prasaran itu sendiri tidak secara khusus mengusulkan agar Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran kolonial di Indonesia (yang masih bernama Hindia), melainkan memberikan sejumlah pemikiran tentang tempat-tempat bahasa-bahasa di negeri ini dalam sistem pengajaran yang berbahasa Belanda. Yang menarik dalam prasaran itu ialah kalimat Ki Hajar Dewantara sebagai berikut.

 

Bahasa dan bangsa adalah satu. Adalah tidak wadjar untuk membunuh suatu bahasa setjara dibuat-buat guna memberi tempat kepada suatu bahasa asing jang baru. Dan oleh karena bahasa Djawa dipergunakan oleh 20 djuta orang Djawa, adalah terlalu gegabah untuk membitjarakan tentang matinja bahasa jang indah itu. Bila kita menghendaki adanja satu bahasa untuk bangsa Hindia seluruhnja, sejogjanja djanganlah memaksa kita untuk menerima bahasa asing, sebab kita mempunjai bahasa Melaju jang tidak sadja mudah dipeladjari, melainkan kini djuga telah mendjadi lingua franca di Nusantara. (Dewantara, 1967: 109-110)

 

Bahasa Melayu, jang untuk mempeladjarinja tidak diperlukan banjak dasar filologi dan jang sudah lama mendjadi bahasa pengantar diantara orang Eropa dan penduduk pribumi dari berbagai-bagai bagian dari Insulinde, dikemudian hari akan mendjadi bahasa jang tepat bagi seluruh Hindia. Kenjataannja, bahwa tiap orang Eropa paham bahasa itu, tetapi pada umumnja tjara pemakaiannja masih kurang baik, hanjalah merupakan suatu dorongan supaja disekolah-sekolah Eropa bahasa Melayu itu dimasukkan dalam rentjana peladjaran, sekalipun hanja sebagai matapeladjaran biasa. (Dewantara, 1967: 154)
 

Kalimat tersebut sangatlah jelas mewakili aspirasi dan kearifan yang hidup pada zaman itu dan diucapkan 10 tahun sebelum Kongres Pemuda yang diselenggarakan para pelopor kemerdekaan kita. Yang patut dicatat ialah bahwa kalimat tersebut diungkapkan oleh seorang “bangsa” Jawa yang sebenarnya mempunyai bahasa sendiri dengan penutur yang ketika itu pun sudah merupakan mayoritas di negeri ini dan yang mempunyai kebudayaan yang sangat tinggi, tetapi oleh yang bersangkutan tidak diusulkan agar bahasanya itu menjadi bahasa persatuan bagi bangsa yang kelak pasti akan membebaskan diri dari penjajah.

 

Sejalan dengan kongres tersebut, soal-soal bahasa itu bagi bangsa Indonesia lambat laun berubah. Kaum intelektual Indonesia yang sejak 1908 dengan segala jalan berusaha mendirikan organisasi-organisasi untuk memengaruhi rakyat agar mereka bangun dan maju, akhirnya sadar, bahwa mereka dengan perantaraan bahasa Belanda tak pernah akan dapat berhubungan dengan seluruh rakyat, oleh karena bahasa Belanda itu untuk selama-lamanya hanya akan dapat dipahamkan oleh sejumlah kecil dari bangsa Indonesia. Berdasarkan keyakinan, bahwa hanyalah persatuan bangsa Indonesia seluruhnya yang dapat menimbulkan suatu tenaga yang besar untuk menentang kekuasaan penjajahan, maka dengan sendirinya mereka mencari suatu bahasa yang dapat dipahamkan oleh bagian rakyat yang terbesar.

 

Demikianlah, oleh pertumbuhan politik, dengan sendirinya perhatian tertarik kepada bahasa Melayu yang seperti telah dikatakan, sejak berabad-abad sudah menjadi lingua franca di seluruh kepulauan Indonesia. Dan dengan bertambah berkembangnya kesadaran kebangsaan bangsa Indonesia dan dengan bertambah majunya pergerakan kesatuan bangsa Indonesia yang ditimbulkan oleh kesadaran itu, bertambah banyak pulalah orang memakai bahasa Melayu. Dan juga terutama sekali pergerakan pemuda-lah yang memberi keputusan yang terakhir tentang pertumbuhan bahasa Melayu itu.

 

Pada tanggal 25 Juni 1918 keluar Ketetapan Ratu Belanda yang memberikan kebebasan kepada anggota-anggota Dewan Rakyat (Volksraad ) untuk mempergunakan bahasa Melayu dalam perundingan-perundingan. Tentu saja ketetapan itu merupakan reaksi Kerajaan Belanda atas gagasan yang dicetuskan oleh anggota-anggota Dewan Rakyat bangsa Indonesia yang didorong oleh hasrat ingin memperjuangkan diakuinya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Sejalan dengan ini, akhirnya bahasa Melayu untuk pertama kalinya digunakan dalam sidang Volksraad tanggal 16 Juni 1927 melalui pidato Jahja Datoek Kajo Pada Kongres Pemuda Indonesia I 30 April-2 Mei 1926, Mohammad Yamin masih berbicara dalam bahasa Belanda tentang kemungkinan-kemungkinan bahasa dan kesusastraan Indonesia di masa yang akan datang. Tetapi 2 tahun sesudah itu, yaitu pada tanggal 27 Oktober-28 Oktober 1928 pada Kongres Pemuda II di Jakarta, pemuda-pemuda Indonesia telah bersumpah, bahwa mereka berbangsa satu, bangsa Indonesia, bertanah air satu, tanah air Indonesia, berbahasa satu, bahasa Indonesia. Pada kongres ini, untuk pertama kali-lah nama bahasa Melayu diganti dengan nama bahasa Indonesia, tetapi juga pasti-lah kedudukannya dalam masyarakat Indonesia. Persaingan antara bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia dapat kita katakan telah selesai. Dan keputusan itu tentu-lah berarti, bahwa kepada bangsa Indonesia terpikul-lah suatu beban yang berat, yaitu untuk menumbuhkan bahasa Indonesia, sehingga dapat- lah ia menggantikan fungsi bahasa Belanda sebagai alat untuk mencapai kebudayaan modern (Alisjahbana dalam Kridalaksana, 1991: 102-103).

 

Pada tahun 1933 resmi berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya Pujangga Baru dipimpin oleh St. Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Amir Hamzah. Alat komunikasi antara sastrawan-sastrawan ini dengan masyarakat ialah majalah sastra dan kebudayaan mereka dengan nama Pujangga Baru. Pujangga Baru itu adalah majalah untuk memajukan bahasa dan kesusastraan Indonesia. Di sekitarannya berkumpul pemimpin-pemimpin kebudayaan dan politik dari seluruh Indonesia sebagai pembantunya. Dari golongan ini juga-lah timbul inisiatif untuk mengadakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo (Surakarta) pada tahun 1938. Hasil keputusan kongres tersebut tidaklah berdampak dan tidak menjadi keputusan apa-apa, karena di belakang kongres itu tidak terdapat suatu organisasi yang dapat menjalankan keputusan-keputusan itu, sedangkan pemerintah Belanda tentu saja tiada merasa perlu untuk menyokong dan menjalankan keputusan-keputusan itu. Oleh karena itu, kemajuan bahasa Indonesia terwujud kemudian pada waktu pendudukan Jepang (Alisjahbana dalam Kridalaksana, 1991: 103). Demikianlah, bahwa baru selama zaman pendudukan Jepang, yang bagi bahasa Indonesia jadi suatu “rahmat di balik malapetaka”, kita dengan serempak mempelajari bahasa itu dengan sungguh-sungguh (Moeliono, 1989: 51).

 

Ketika bangsa Jepang pada permualaan 1942 mendarat di Indonesia dan dalam waktu yang pendek memegang pemerintahan, salah satu dari tindakan mereka yang pertama adalah menghapuskan bahasa Belanda, yang hingga waktu itu menjadi bahasa resmi, yang bagi kaum intelektual Indonesia merupakan alat untuk kebudayaan modern. Tindakan tentara Jepang yaitu dengan cara menyiarkan pengumuman yang diterbitkan lewat bulletin Kan Po yang diterbitkan oleh Gunseikanbu tanggal 25 boelan 8, syoowa 17 (26 02).

 

“Soerakarta Larangan menggoenakan bahasa Belanda.
Oleh Soerakarta syuu Keil Honsyo syotyoo telah dikeloearkan makloemat, bahwa moelai sekarang semoea pendoedoek bangsa Indonesia, Tionghoa, Arab dan Asia lainnya, dilarang memakai bahasa Belanda. Barang siapa melanggar perintah ini, polisi diwajibkan meraporkan kepada jang berwadjib. Bahasa pada papan reklame haroes diganti. Poen oleh Soerakarta syuu Keil Honsyo syotyoo joega diperintahkan, agar soepaja semoea papan reklame jang memakai bahasa negeri moesoeh (sekoetoe) lekas- lekas ditjaboet dan dikirimkan ke Keil Soerakarta. Orang jang berkepentingan diperintahkan soepaja mengganti papan reklame itu dengan bahasa Indonesia.”
(Kridalaksana, 2018: 31-32)

 

Ketika itu telah jelas bahwa maksud bangsa Jepang adalah untuk mengganti bahasa Belanda dengan bahasa Jepang. Tetapi meskipun dalam tiap-tiap kantor dan tiap-tiap sekolah bangsa Indonesia diajarkan bahasa Jepang, meskipun bagaimana sukanya bangsa Indonesia mempelajari bahasa Jepang, bangsa Jepang baru akan dapat mencapai maksudnya itu dalam bertahun-tahun. Tetapi karena terdesak oleh keadaan peperangan, bangsa Jepang tidaklah dapat menunggu pertumbuhan yang tenang serupa itu. Demikianlah mereka pun seperti bangsa-bangsa yang mendahului mereka datang ke Indonesia, terpaksa memakai bahasa Indonesia, oleh karena untuk waktu itu bahasa itulah yang paling praktis. Bahasa Indonesia menjadi bukan saja bahasa undang-undang tetapi juga bahasa pengumuman dan surat-surat resmi anatara kantor-kantor pemerintahan maupun antara pemerintah dengan rakyat. Demikian juga bahasa Indonesia dipakai dalam segala sekolah, dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi (Alisjahbana dalam Kridalaksana, 1991: 103-104). Jadi, selama zaman pendudukan Jepang (1942 – 1945) bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar di semua tingkat pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Sedangkan bahasa Jepang, satu-satunya bahasa asing yang diizinkan, mulai diajarkan pada kelas- kelas tertinggi sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi (kedokteran di Jakarta dan teknik di Bandung) (Moeliono, 1981: 58-59).

 

Oleh karena pada waktu itu banyak sekali yang harus diucapkan dan dituliskan dalam bahasa Indonesia, yang belum pernah diucapkan dan dituliskan dalam bahasa itu, maka tiba-tiba bahasa itu maju dengan amat cepat. Perkembangan bahasa Indonesia ketika itu boleh dikatakan sangat dipaksakan agar dalam waktu yang secepat-cepatnya bahasa itu dapat melakukan fungsi suatu bahasa modern yang sudah matang. Selain itu, bangsa Jepang yang telah bulat iktikadnya untuk memakai seluruh tenaga bangsa Indonesia untuk peperangan Asia Timur Raya, masuk sampai ke desa-desa yang jauh terpencil, senantiasa dengan memakai bahasa Indonesia. Demikianlah bahasa Indonesia meluas ke segala penjuru, sedangkan bangsa Indonesia mengalami suatu perasaan yang baru, yang selama ini tiada dikenalnya. Bertambah maju peperangan dan bertambah banyak bangsa Indonesia memakai bahasa Indonesia, maka bertambah kuat pulalah terasa perhubungan anatara sesamanya: bahasa Indonesia menjadi lambing kesatuan bangsa Indonesia. Demikian bagi bangsa Jepang jelasnya, bahwa mereka tak dapat lagi menahan pertumbuhan bahasa Indonesia itu. Mereka mau tak mau mesti memberi jalan kepada keinginan bangsa Indonesia untuk menyempurnakan bahasanya. Begitulah pada 20 Oktober 1942 didirikan Komisi Bahasa Indonesia. Tugas dari Komisi Bahasa Indonesia adalah menentukan kata-kata yang umum bagi bangsa Indonesia. Dan pada akhir pendudukan Jepang telah ditetapkan 7.000 istilah baru (Alisjahbana dalam Kridalaksana, 1991: 104).

 

Pada tahun 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 dan mulailah suatu masa yang mahapenting bagi bahasa Indonesia. Pada permulanaan revolusi Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang resmi. Bahasa Indonesia memperoleh kedudukan yang lebih pasti, menjadi bahasa nasional, bahasa kesatuan, bahasa resmi, dan bahasa negara di Negara Republik Indonesia. Hal itu sesungguhnya hanyalah suatu penetapan dalam teori tentang sesuatu yang telah lama terjadi dalam praktik.

Ikuti tulisan menarik Reza Ahmad Wildan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu