x

Poster Miracle In Cell No 7. Wikipedia

Iklan

Fatimatuz Zahra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Oktober 2020

Rabu, 21 September 2022 08:55 WIB

Miracle in Cell No. 7: Ketika Si Lemah Berhadapan dengan Hukum

Film ini datang di momentum yang tepat, saat kepercayaan publik terhadap hukum tergerus justru oleh reputasi buruk institusi penegak hukum. Dalam hukum kerap kali si lemah harus takluk pada kuasa yang mampu membeli sistem agar berjalan sesuai kehendaknya. Wajah hukum semacam itu kini muskil untuk terus disembunyikan. Ini adalah sebuah perenungan sederhana seorang penonton fil Miracle in Cell No.7

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Film Miracle in Cell No.7 asal Korea Selatan ramai-ramai dibuat versi remake oleh sejumlah negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, film ini resmi rilis di bioskop pada tanggal 8 September 2022. Dan sejak dirilis hingga hari ini, animo masyarakat terhadap film tersebut nampak masih terus meroket ditandai dengan penambahan jumlah layar pada sejumlah bioskop di Indonesia untuk menayangkan film dengan kategori penonton semua umur ini. 

 

Saya termasuk salah satu dari sekian juta orang yang akhirnya memutuskan untuk menonton film tersebut. Juga, barangkali salah satu dari sedikit penonton yang hanya menikmati versi remake ini tanpa terlebih dahulu menonton versi aslinya. 

 

Pesan utama yang saya dapat dari film ini adalah gambaran nyaris utuh atas posisi lemahnya seseorang yang minim privilege di hadapan hukum. Dalam hal ini, orang tersebut adalah Dodo Rozak, sang tokoh utama dalam film, yang merupakan seorang pria miskin dengan disabilitas mental. 

 

Dalam istilah hukum terdapat azas equality before the law atau biasa disebut oleh tokoh publik dengan kalimat "semua sama di mata hukum." Azas ini kemudian dimentahkan dalam film Miracle in Cell No.7, yang mana sebenarnya adalah kondisi nyata di lapangan, yang jauh dari das sollen atau kondisi ideal yang diharapkan dengan adanya azas tersebut di atas. 

 

Diceritakan dalam film, Dodo Rozak terpaksa dipenjara setelah tak sengaja mendapat "lawan hukum" seorang politisi yang memiliki harta, relasi dan kekuasaan. Di kehidupan kita sehari-hari, di berbagai pemberitaan media, kita sudah amat akrab dengan cerita sejenis. Cerita di mana seorang lemah, seorang yang nobody tiba-tiba kalah dan ditersangkakan hanya karena apes mendapat lawan hukum yang bisa membeli vonis-vonis hakim.

 

Pada bagian itu, film ini akan menarik kita, masyarakat Indonesia, menjadi penonton yang lekat dengan jalannya cerita akibat kedekatan alur dengan kondisi realita yang kita temui sehari-hari. 

 

Selain alurnya yang dekat, aspek lain yang membuat film ini menarik adalah pendekatan ketokohan yang lekat dalam cerita film. Bagaimana karakter Dodo sang difabel dibangun melalui cerita masa lalu, sekarang hingga harapan masa depan yang ingin ia capai menjadikannya sosok yang utuh, bukan sekedar tempelan yang dipaksakan layaknya kebanyakan film yang mengambil tokoh difabel dalam ceritanya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Meskipun demikian, aspek kelemahan mental Dodo tetap memegang peranan penting dalam cerita. Kita bisa melihat jelas, betapa sulitnya seorang difabel yang jangankan berargumen atau melakukan pembelaan diri, bahkan mengartikulasikan isi kepalanya saja kesulitan jika tak dibantu orang lain. 

 

Selain gambaran si lemah vs si kuat dalam hukum, film ini juga mengajak kita untuk membuka mata bahwa warga binaan lapas adalah manusia. Sama seperti warga lainnya, bedanya dia melakukan pelanggaran sehingga ruang geraknya dibatasi dengan maksud untuk membuatnya berpikir ulang, jera, dan tak lagi mengulangi pelanggaran itu. Di luar itu, mereka sama dengan manusia pada umumnya. Punya relasi, punya empati, punya keingininan, rasa takut, dan lain-lain. 

 

Para napi dalam film ini, khususnya penghuni sel nomor 7 yang juga dihuni oleh Dodo, digambarkan sangat kompleks. Sekalipun tak pernah diceritakan hal apa yang menjadi alasan mereka masuk penjara, tetapi dalam pengembangkan karakternya dituangkan cukup detail perasaan-perasaan manusiawi seperti marah, takut, bahagia, sedih, haru. Layaknya manusia, bukan penggambaran napi seperti kebanyakan, yang hanya menghighligt bahwa mereka adalah penjahat. 

 

Hal tersebut di atas juga yang menambah kesan dramatis dalam film. Saat para napi berpisah dengan Dodo, maupun bertemu kembali dengan Kartika (anak Dodo), sentimen haru dan sedihnya terbawa kepada penonton. Tak lain adalah karena penggambaran dari awal yang cukup masuk akal dan tak berjarak dari penonton. 

 

Terakhir, yang tak kalah menarik dari film ini adalah jawaban tak langsung atas pertanyaan di kepala saya, tentang adanya lembaga-lembaga bantuan hukum otonom yang didirikan dan dihidupi oleh swadaya. Tadinya, saya berpikir bahwa mereka barangkali adalah sekumpulan orang kaya yang baik hati, sehingga bersedia memberikan pendampingan hukum secara cuma-cuma. Tapi, setelah menonton ini, saya punya alternatif jawaban lain. Barangkali mereka yang gigih memperjuangkan nasib masyarakat terpinggirkan adalah Kartika-Kartika lain, yang ingin mengabdikan dirinya pada apa yang amat ia cintai dalam hidupnya. 

 

Film ini datang di momentum yang tepat, saat kepercayaan publik mulai digerus oleh reputasi sejumlah institusi penegak hukum. Datangnya film ini, kiranya dapat memperlihatkan apa yang kerap kali terjadi pada si lemah yang harus takluk pada kuasa yang mampu membeli sistem agar berjalan sesuai kehendaknya. Barangkali, yang kita lihat dari institusi penegak hukum hari ini bukanlah oknum, bukan corengan, tapi wajah kenyataan yang mulai muskil untuk terus disembunyikan. 

 

Hanya ada 2 poin yang menjadi kekurangan film ini, tentu saja hanya berdasar pada kacamata saya yang tidak menonton versi aslinya. Pertama, adalah lompatan scene yang cukup membingungkan saat adegan di persidangan. Buat yang sudah menonton, mungkin familiar scene mana yang saya maksud. Bagi yang belum, silakan tonton dan amati bagian persidangan permohonan banding. 

 

Lalu poin kedua, bagi saya film ini kurang niat menghilight sisi hukumnya. Padahal, jika diperjelas pengenaan pasalnya, BAPnya, konstruksi perkaranya, lalu kejanggalan-kejanggalannya, akan lebih seru dan menarik disimak alur eksekusi hukumannya. 

 

Tapi, apapun rupa kekurangan dari film ini tak akan mengubah pendirian saya bahwa film ini adalah satu dari sedikit film yang menggambarkan kompleksitas hidup manusia dengan segala paparan realitanya. Film ini adalah film yang selalu layak dijadikan pilihan tontonan, apapun alasannya.

Ikuti tulisan menarik Fatimatuz Zahra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler