Semua akan NU Pada Waktu Pilpres Tiba

Rabu, 27 September 2023 06:17 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Proses rebutan suara warga NU sudah mulai dilakukan secara terang-terang oleh para kandidat bacapres. Ada yang sowan kiai, ada juga yang dengan gagah berani menarik so called kader NU jadi bacawapresnya. 

Proses rebutan suara warga NU sudah mulai dilakukan secara terang-terang oleh para kandidat bacapres. Ada yang sowan kiai, ada juga yang dengan gagah berani menarik so called kader NU jadi bacawapresnya. 
 
Nggak tanggung-tanggung, bahkan sekarang mars NU pun jadi alat diplomasi politik praktis. Jumat lalu, lagu berjudul Ya Lal Wathon itu diputar dalam rangkaian musyawarah Majelis Syura PKS, yang digelar untuk memutuskan apakah PKS akan mendukung pasangan Anies-Muhaimin atau ikut hengkang seperti Demokrat. 
 
Ketika keputusan Majelis Syura PKS melahirkan kesepakatan untuk mendukung pasangan Anies-Muhaimin, muncul lah diksi diplomasi Ya Lal Wathon tersebut. Seolah menggambarkan bahwa PKS telah legowo bekerja sama dengan PKB yang selama ini mem-branding diri sebagai partai NU. 
 
Hal ini kemudian terdengar hingga ke telinga Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya. Saat tahu, Gus Yahya merespons santai dan berkelakar. "Ya biar imbang, nanti semua partai sekalian saja putar Ya Lal Wathon.
 
Sebenarnya, tradisi rebutan suara jamaah NU di Pilpres ini sudah bukan barang baru. Kita tahu sendiri, dengan cara demikian pula pilpres terakhir dimenangkan. Di sejumlah daerah di Jawa juga demikian, seolah-olah "Lu dapet suara NU, lu dapet kuasa." 
 
Tapi di Pilpres 2024 ini sepertinya akan semakin terang-terangan. Sejumlah tokoh yang masuk bursa cawapres, sudah mulai berlomba-lomba untuk jadi si paling NU. Erick Thohir jauh-jauh hari sudah ikut siapkan acara 100 tahun NU, Sandiaga juga sudah mulai rajin sowan kiai NU. Khas gimik jelang pemilu pada umumnya. 
 
Sebagai warga NU, jujur fenomena ini bikin hati saya rasanya campur aduk. Di satu sisi saya kesel, karena mau diakui atau tidak, ini membuktikan bahwa suara jamaah nahdliyin itu masih amat mudah dibeli. Dekati kiainya, dapatkan jamaahnya. Simpel. 
 
Hal itu menurut saya menandakan bahwa budaya patron klan masih kental, dan jamaah NU belum terbiasa untuk berpikir kritis khususnya dalam menentukan sikap politik. Budaya "manut kiai" yang seharusnya hanya dilakukan dalam hal keilmuan, nyatanya juga dilakukan dalam seluruh aspek kehidupan. Termasuk milih capres. 
 
Kalau sudah begini, saya rasa mau Ketua PBNU nya sampai berbusa bilang bahwa, "NU tidak berpolitik" juga nggak akan berdampak banyak. Wong mentalitas jamaahnya masih terus membebek. 
 
Tapi, di sisi lain saya juga senang. Bagaimana tidak, kalau akhirnya NU melalui mars Ya Lal Wathon nya beneran bakal dinyanyikan di musyawarah partai-partai, artinya akan lebih banyak orang hafal lagu itu. Ya meskipun tujuannya cuma buat menggalang suara, nggak apa-apa. 
 
Siapa tahu kan, karena sudah banyak yang hafal, liriknya yang sarat akan nilai-nilai kebangsaan itu jadi banyak dianalisis akademisi. Bahkan bukan tidak mungkin kalau 20-30 tahun kedepan, mars Ya Lal Wathon jadi lagu wajib nasional. 
 
Membayangkannya saja sudah bikin saya bangga. Bayangin, nanti di rapat paripurna DPR, setelah Indonesia Raya, diputer lagu Ya Lal Wathon yang menggebu-gebu itu. Di perkantoran hingga kegiatan-kegiatan kenegaraan, lagu Ya Lal Wathon diputar juga untuk mengawali aktivitas. 
 
Bukan hal mustahil pula kalau nantinya bangsa kita punya jargon penyemangat yang baru, selain "Indonesia..." yang dijawab "merdeka." Tapi ada "hubbul wathon.." yang akan dijawab "minal iman" dengan lantang dan semangat. 
 
Hal ini tentu akan menjadi capaian baik untuk NU dalam memperkenalkan islam wasathiyah, lengkap dengan nilai-nilai toleransi, tasamuh dan ta'awun nya.  
 
Tapi jangan lupa juga, saat hal itu sudah terjadi, bukan tidak mungkin NU nya sendiri sebagai organisasi sudah bubar. Bukan karena tugasnya sudah selesai, tapi karena kiai dan jamaahnya sudah nggak ada yang mau ngurusin NU, karena lebih sibuk membebek parpol demi mendulang suara di "pesta rakyat lima tahunan." 
 
Pada saat itu, barangkali NU sudah menjelma jadi buzzer agency, yang siap jadi timses pasangan capres-cawapres manapun yang deal-deal an nya cocok. Di masa itu, Almarhum Kiai Sahal, yang mencetuskan siyasah aliyah samiyah supaya NU tidak terjebak politik praktis sudah dilupakan. Jangankan gagasannya, namanya saja tidak lagi didengar. Tertutup oleh lantangnya teriakan "fatwa NU dukung capres A."
 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Fatimatuz Zahra

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler