x

Komedian Alfiansyah alias Komeng di kantor KPU Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, Sabtu, 13 Mei 2023. ANTARA FOTO/Novrian Arbi

Iklan

Fatimatuz Zahra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Oktober 2020

Rabu, 13 Maret 2024 05:48 WIB

Tingginya Suara Komeng di Pemilihan DPD dan Sebab Kemenangan Prabowo 

Menikmati kocaknya kemenangan Komeng di Pemilu 2024 sembari mengilhami cara masyarakat memilih pemimpin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kemenangan komedian Alfiansyah Komeng dalam pemilihan DPD RI belakangan ini menghiasi lini masa sejumlah media sosial. Tak hanya menang, jika dilihat dari hasil hitung cepat, jumlah suaranya berkali-kali lipat dibanding rivalnya di kontestasi tersebut. Per Jumat(17/02) jumlah suara Komeng disebut telah mencapai 1 juta suara versi rekapan real count sementara KPU. Untuk pembanding, perolehan suara terbanyak kedua setelah Komeng di Jawa Barat adalah Aanya Rina dengan perolehan suara sebanyak 450.000. 

Tentu sebagai masyarakat yang memantau linimasa, saya juga ikut menikmati lucunya alasan warga Jabar memilih Komeng sebagai wakil dari daerahnya, salah satunya karena pose foto yang nyentrik dibanding dengan calon DPD lainnya. Hal ini maklum, karena selain tak melanggar aturan pemilu, juga sudah jadi rahasia umum bahwa kebanyakan masyarakat tidak terlalu paham apa fungsi DPD dan apa pengaruhnya bagi kehidupan mereka. Jadi, memilih yang eye catching di surat suara adalah jalan yang umum ditempuh. 

Ada pula sejumlah opini yang mengatakan bahwa memastikan Komeng dapat melenggang menuju Senayan adalah sebentuk upaya untuk membuat rapat anggota dewan menjadi lebih spontan (ya, sebuah acara TV yang dulu dibawakan Komeng dan sekarang menjadi sebuah jargon yang melekat kepadanya). Tentu saya juga ikut menikmati kelakar ini. 

Ketika Citra Mengalahkan Visi : Gagalnya Pendidikan Politik

Di sisi lain, ada kegetiran yang juga saya rasakan dari fenomena tersebut. Menangnya Komeng melalui foto ikonik itu nyatanya mengalahkan juga salah satu calon DPD Jabar Djumono yang lantang menyuarakan hak masyarakat disabilitas. Visinya adalah menjadikan Jabar sebagai daerah yang inklusif dan setara bagi semua warganya. Tapi suara tersebut nyatanya tak lebih diingat warga dibanding popularitas dan pose foto ikonik Komeng. 

Hal ini juga secara tidak langsung memberikan  gambaran alasan yang cukup jelas mengapa Paslon Prabowo-Gibran yang sejak awal mencalonkan diri sudah melanggar aturan. Mereka bahkan menang telak di hampir seluruh Provinsi di Indonesia versi real count sementara KPU. Jargon dan joget gemoy, program makan siang gratis, serta gencarnya praktik politik gentong babi melalui serangan bansos jelang pemilu, nyatanya mengalahkan 2 paslon lain yang punya platform diskusi bersama masyarakat. 

Hal ini menyadarkan kita bahwa partai-partai politik yang kerap kita jumpai logonya di jalan-jalan jelang pemilu, sebenarnya tidak berfungsi. Amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan bahwa fungsi partai politik adalah  untuk menjadi platform pendidikan politik untuk masyarakat (https://peraturan.bpk.go.id/Details/38859/uu-no-2-tahun-2008).

Alih-alih menjalankan amanat Undang-Undang, partai politik yang kita lihat saat ini hanya sibuk menjadi mesin pengeruk suara dan alat kamuflase untuk tarik menarik kepentingan. Bahkan tak jarang mereka memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat demi kursi-kursi parlemen yang diperebutkan.

Disfungsi partai politik ini pada gilirannya berakibat pada abainya masyarakat kita terhadap gagasan dengan gagasan Paslon Capres Cawapres maupun calon eksekutif lainnya. Mayoritas kemudian melandaskan pilihannya kepada citra yang dibangun oleh para calon pejabat, karena hanya itu yang mudah diakses oleh masyarakat.

Sumbangsih Kemiskinan Struktural dan Buruknya Kualitas Pendidikan

Apakah hal ini terjadi begitu saja dalam sekejap? Tentu tidak, hal ini sudah dipupuk dan ditumbuh suburkan di bangku-bangku sekolah dengan metode belajar yang sama sekali tidak mempraktikkan cara berpikir kritis. Tenaga pengajar sekolah digaji dengan serendah-rendahnya, dan diberikan beban administratif sebanyak-banyaknya, sehingga mereka tidak lagi punya waktu untuk benar-benar mendidik muridnya. 

Matinya nalar kritis tersebut juga dibangun di atas suburnya kemiskinan struktural yang membuat banyak orang hanya punya waktu untuk memperpanjang umur sehari demi sehari. Tak punya banyak waktu untuk menggali gagasan capres maupun calon anggota dewan yang akan dipilihnya. 

Psikolog Abraham Maslow menjelaskan hal ini dalam teori piramida kebutuhan. Yang paling dasar adalah kebutuhan fisiologis seperti makan dan minum, disusul dengan kebutuhan akan rasa aman, cinta, penghargaan dan terakhir di piramida paling atas adalah aktualisasi diri. Seseorang atau kelompok masyarakat yang setiap hari masih harus memastikan kebutuhan fisiologisnya, belum akan memikirkan penghargaan ataupun aktualisasi diri. (https://canadacollege.edu/dreamers/docs/Maslows-Hierarchy-of-Needs.pdf).

Dengan kata lain, masyarakat yang masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar, tidak akan memikirkan diskusi gagasan maupun pelanggaran etis yang dilakukan oleh politisi yang dipilihnya. Selama menurut mereka politisi ini dapat mengamankan kebutuhan dasarnya, hal itu dinilai sebagai alasan yang cukup untuk memilihnya. 

Kita sering dengar bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa melimpah. Lantas, dengan keberlimpahan berkat tersebut, lalu masyarakat dibiarkan tetap miskin dan tidak mendapat pendidikan yang baik. Saya jadi curiga, jangan-jangan semua borok ini sengaja dibiarkan menganga, semata supaya proses pengerukan suara melalui citra tetap mudah dilakukan.

Ikuti tulisan menarik Fatimatuz Zahra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 jam lalu

Terpopuler