Jangan Memaksakan Agenda Elitis Dua Pasang Capres
Jumat, 23 September 2022 13:16 WIBElite politik dan partai tidak punya perhatian khusus memperkuat demokrasi. Mereka lebih mementingkan berkuasa dan berbagi kekuasaan. Wacana cukup dua pasangan capres dalam pilpres 2024 pun digulirkan. Mereka ingin status quo. Adanya pasangan capres ketiga dianggap sebagai rintangan. Jika Pilpres hanya dengan dua pasangan capres, hak rakyat memilih pemimpin terbaik telah dikebiri elite politik.
Apa menariknya pemilihan presiden kita bila hanya ada dua pasang calon? Apa lagi jika dua pasang calon inipun berasal dari partai-partai yang saat ini berkuasa. Jika hal ini yang bakal terjadi, bukan tidak mungkin peristiwa pasca pilpres 2019 berulang kembali: dua pasangan capres berkompetisi, tapi kemudian keduanya bergabung dalam pemerintahan. Partai-partai pengusung pasangan capres yang kalah dalam kompetisi enggan untuk menjadi oposisi padahal oposisi diperlukan untuk memperkuat demokrasi.
Dalih bahwa bergabungnya pihak yang kalah dengan yang menang merupakan upaya penyatuan kembali kekuatan politik yang sempat bersaing tidaklah cukup kuat. Menjadi oposisi lebih dibutuhkan dalam mengontrol jalannya pemerintahan, tapi bagi partai politik umumnya bergabung dalam pemerintahan justru lebih menggiurkan.
Elite politik dan partai tidak punya perhatian khusus untuk memperkuat demokrasi, yang lebih penting adalah berkuasa dan berbagi kekuasaan. Kepentingan elite partai sangat pragmatis, karena itu mereka berusaha agar tidak ada gangguan atas kestabilan relasi di antara mereka. Adanya pasangan capres ketiga dianggap sebagai rintangan yang berpotensi merusak apa yang sudah mereka nikmati saat ini. Dua pasang capres saja merupakan jalan mempertahankan status quo.
Tidak mengherankan bila kemudian wacana cukup dua pasangan capres untuk pilpres 2024 mulai digulirkan. Bila wacana ini menguat, dua pasangan capres dan partai pengusungnya bisa saja bermain mata dan melakukan tawar-menawar mengenai pembagian kekuasaan pemerintahan seusai pilpres dan pileg. Konsekuensinya, kompetisi pilpres akan jadi sekedar seolah-olah berkompetisi, menjadi guyonan yang memakan anggaran negara sangat besar dan memakan biaya sosial yang jauh dari kecil.
Sebagai kegiatan demokrasi, pilpres yang diatur dengan hanya dua pasang capres-cawapres sangat bertentangan dengan hak rakyat untuk memilih pemimpin yang tepat menurut rakyat. Capres-cawapres memang hanya bisa diusung oleh partai politik agar bisa ikut dalam kompetisi, tapi membatasi pilihan capres sungguh tindakan yang membatasi hak rakyat untuk mendapat pemimpin yang terbaik. Rakyat hanya disuruh memilih satu di antara dua pilihan, yang keduanya merupakan hasil saringan oleh elite kekuasaan.
Lantas bagaimana jika kedua pasangan capres-cawapres yang disodorkan oleh elite kekuasaan itu dianggap tidak layak dan tidak menarik? Mengapa pasangan calon ketiga tidak disukai oleh elite kekuasaan? Apakah karena kehadiran calon ketiga akan mengacau keseimbangan kekuasaan di antara elite tertentu?
Dalih bahwa kehadiran tiga pasangan capres akan membuka kemungkinan pemilihan babak kedua di antara dua pasangan capres yang unggul, sungguh mengada-ada. Bahkan, seandainya harus diadakan pemilihan putaran kedua, skenario ini masih lebih baik dibandingkan pilpres dengan dua pasang capres yang diselesaikan dalam satu putaran. Dengan pasangan capres lebih dari dua, hak rakyat untuk memilih pemimpin terbaik versi rakyat tetap terjaga dan dapat diwujudkan, setidaknya elite politik tidak akan seenaknya menentukan siapa saja yang boleh berkompetisi. Janganlah elite memaksakan kehendak dan merekayasa agar hanya dua pasang capres-cawapres yang bisa berkompetisi. >>
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pemimpin Ghosting, Jadi Teringat Lagunya Dewa
Rabu, 4 September 2024 11:28 WIBAda Konflik Kepentingan di Klab Para Presiden
Kamis, 9 Mei 2024 12:38 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler