Menunggu Titik Terang Pengungkapan Tragedi Kanjuruhan

Kamis, 6 Oktober 2022 06:52 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oktober sudah tercatat sebagai bulan duka bagi warga Indonesia. Baru pertama kali, Indonesia mencatatkan namanya dalam sejarah buruk dunia sepak bola. Siapa yang tidak kenal dengan klub sepak bola bernama Arema FC dan Persebaya Surabaya? Tragedi malam itu berlangsung pada Sabtu, 1 Oktober 2022.

Oktober sudah tercatat sebagai bulan duka bagi warga Indonesia. Baru pertama kali, Indonesia mencatatkan namanya dalam sejarah buruk dunia sepak bola. Siapa yang tidak kenal dengan klub sepak bola bernama Arema FC dan Persebaya Surabaya? Tragedi malam itu berlangsung pada Sabtu, 1 Oktober 2022. Pertandingan kelam tersebut dimenangkan oleh Persebaya dengan nilai 2-3 dari Arema, namun malayangnya berakhir melibatkan nyawa ratusan korban jiwa di Stadion Kanjuruhan, Malang. Sungguh di luar nalar, tercatat sebanyak 131 penonton Arema vs Persebaya yang tewas.

Adapun salah satu penyebab dalam tragedi tersebut adalah asap dari gas air mata. Pengakuan tersebut semakin jelas oleh Mahfud MD (Menko Polhukam), memaparkan bahwa pihak panitia mengabaikan jumlah tiket yang semestinya sesuai daya tampung stadion yaitu 38.000 tiket, akan tetapi ludes terjual 42.000 tiket. Siapa yang tidak terheran-heran melihat kondisi janggal tersebut? Tentunya hal tersebut berada di luar kesepakatan permainan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rupanya panitia penyelenggara terlalu antusias menyambut pertandingan itu. Siapa yang tidak semangat bila menonton pertandingan sepak bola? Hal itu menjadi pemicu supporter dalam mengutarakan emosi secara spontan. Akibat kemenangan Persebaya membuat suporter Arema FC tidak terima hingga turun ke lapangan. Aparat keamanan berusaha mengendalikan situasi genting itu, malah menembakan gas air mata yang sebenarnya dilarang oleh FIFA.

Tembakan gas air mata mengakibatkan cedera dan sesak napas oleh para penonton. Secara umum, banyak korban yang gugur akibat terinjak, berdesak-desakan, hingga kekurangan oksigen karena berkerumun. Hal ini menunjukan bahwa perlunya pengamanan yang ketat oleh satgas selama pertandingan berlangsung. Akan tetapi, sikap sportivitas penonton juga perlu dipertanyakan kembali. Situasi ini tidak lebih buruk daripada pertandingan berdarah di Stadion Nacional Peru dengan korban sebanyak 328 jiwa pada 24 Mei 1964.

Oleh karena itu, sebagus apapun sistem peraturan yang berlaku dan jumlah penonton harus sesuai dengan kursi di stadion. Kejadian tersebut sangat disayangkan, karena sebaiknya pihak federasi harus bertindak tegas akan kasus kerusuhan dan bila perlu diberi sanksi berat. Elok nian pula, bila ada rekomendasi penyesuaian peraturan dari FIFA dan perundang-undangan Indonesia.

Pemerintah sebenarnya tidak menyinggung perkara lain selain tembakan gas air mata, tetapi penetapan waktu pelaksanaan pertandingan yang semestinya sore hari, namun berubah malam hari. Dengan demikian, harapan dari kasus kerusuhan tersebut segera mendapat titik terang secepatnya yang akan ditelusuri oleh Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF).

Bagikan Artikel Ini
img-content
Alivia Nur Azizah

Mahasiswa Pendidikan Profesi Guru Prajabatan Gelombang 1 2024 di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler