x

cover buku Aku dalan pusaran sejarah negeriku

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 20 Oktober 2022 08:48 WIB

Aku Dalam Pusaran Sejarah Negeriku

Analisis terhadap diskrimimasi orang tionghoa dan orang kiri di Indonesia di era Kemerdekaan sampai dengan paska G30S oleh H.H. Ong.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Aku Dalam Pusaran Sejarah Negeriku

Editor: H.H. Ong

Tahun Terbit: 2015

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Ultimus

Tebal: viii + 290

ISBN: 978-602-8331-57-9

 

Saat membeli buku ini saya menyangka bahwa H.H. Ong adalah Ong Hok Ham atau Onghokham. Namun setelah membaca buku ini, saya yakin bahwa penulis buku ini adalah orang yang berbeda. Ternyata memang H.H. Ong adalah orang yang berbeda dari Ong Hok Ham, Sang Sejarawan.

Buku “Aku Dalam Pusaran Sejarah Negeriku” ditulis sebagai memoar. Namun sesungguhnya buku ini lebih tepat sebagai buku politik. Sebab buku ini lebih banyak mengungkap analisis sang penulis terhadap sejarah Indonesia. Hanya sedikit saja informasi tentang sang penulis yang muncul dalam buku ini. Selebihnya adalah tentang sejarah periode masa perjuangan kemerdekaan sampai dengan masa G30S. Jadi rasanya kurang tepat buku ini dikategorikan sebagai sebuah buku memoar. Sungguh sangat berbeda dengan buku karya Mia Bustam dan karya Hasan Raid.

Dalam buku ini H.H. Ong menggugat masalah diskriminasi. Di bagian pengantar, yang dijudulinya dengan “Bhinneka Tunggal Ika,” secara jelas ia mempermasalahkan diskriminasi yang terjadi di negeri ini. Ia bahkan mengungkapkan ketakutannya bahwa Indonesia bisa menjadi seperti Yugoslavia jika para pemimpin mengabaikan kebhinnekaan.

Ada dua topik diskriminasi yang diungkap dalam buku ini. Pertama adalah diskriminasi terhadap peran orang-orang kiri yang ikut berjuang dalam merebut kemerdekaan dan berkontribusi di awal kemerdekaan. Peran orang-orang kiri ini dihilangkan di masa Orde Baru. Kedua adalah diskriminasi terhadap orang-orang tionghoa. Orang-orang tionghoa selalu dijadikan kambing hitam atas kegagalan politik dan ekonomi bangsa. Kedua masalah diskriminasi ini berkelindan.

Melalui buku ini H.H. Ong ingin menggugat diskriminasi kepada orang-orang kiri dan orang-orang tionghoa. Ong menjelaskan bagaimana perlakuan Pemerintah dari sejak Orde Lama sampai era Suharto selalu mendiskriminasi orang Tionghoa. Pengalaman pribadinya menunjukkan bahwa pejabat setingkat menteri - seperti Priyono, saja melakukan diskriminasi terbuka. Disamping pengalaman pribadi, H.H. Ong juga menjelaskan berbagai kebijakan Pemerintah yang mengekang orang tionghoa.

Tentang diskriminasi terhadap orang kiri, Ong menggunakan data-data yang informasi yang sebenarnya sudah sering dipakai oleh pihak lain. Informasi tentang persaingan antar faksi menjelang kemerdekaan, persaingan PKI dengan Angkatan Darat dan keterlibatan pihak asing, terutama Amerika adalah informasi yang sudah sering dipakai untuk menjelaskan perjalanan sejarah dari sejak Indonesia merdeka sampai dengan meletusnya G30S. Meski menggunakan data dan informasi yang sudah banyak dipakai, Ong tetap bisa membangun argumen tentang bagaimana negeri ini mendiskriminasi orang-orang kiri.

Ia menguraikan bahwa orang-orang kiri telah berperan dalam mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka dari sejak awal tahun 1920-an. Orang-orang kirilah yang menginginkan Indonesia merdeka 100% tanpa ada negosiasi dengan penjajah, baik Belanda maupun Jepang. Orang-orang kiri kemudian disingkirkan dengan sadis oleh Orde Baru.

 

Siapakah H.H. Ong?

Seperti telah saya singgung di atas, informasi tentang siapa H.H. Ong dalam buku ini sangatlah sedikit. Pada awal buku, Ong mengungkapkan bagaimana ia bisa sampai ke Negeri Belanda. Ia menyampaikan bahwa ia berangkat ke Belanda pada tanggal 5 Desember 1945 dengan Kapal Johan de Wit bersama dengan para keluarga Belanda yang pulang. Melanjutkan penjelasan tentang peristiwa ini, H.H. Ong menggambarkan suasana mencekam karena orang Indonesia bersiap dengan senjata bambu runcing, menantikan kedatangan tentara Belanda. Selanjutnya ia menggambarkan bagaimana suasana di kapal yang penuh dengan birahi dan pesta-pesta (hal. 3) karena para penumpang kapal merasa telah terbebas dari kondisi yang menyesakkan di era Jepang.

Kepergian H.H. Ong ke Belanda adalah untuk belajar teologi. Sepertinya Ong adalah seorang penginjil muda. Ia belajar di Leiden. Ia sempat satu pemondokan dengan Yap Thiam Hien di Leiden.

Kisah hidup H.H. Ong baru muncul lagi di bab yang dijudulinya “Kembali ke Tanah Air” (hal. 159). Pada bagian ini ia mengisahkan kepulangannya ke Indonesia dari Belanda pada tanggal 2 Februari 1956. Sepulang dari Belanda ia mengajar di STT Jakarta. Namun karena ada dosen Belanda yang datang, ia diberhentikan begitu saja (hal. 162). Setelah diberhentikan dari STT Jakarta, ia bekerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (yang dalam buku ini disebutnya sebagai Kementerian PPK). Ia menjadi Kepala Perpustakaan. Selanjutnya ia pindah ke Universitas Hasanuddin di Makassar, Jakarta, ke Manado, kembali ke Jakarta dan kemudian ditugaskan di Surabaya untuk membantu Universitas Baperki, sebelum akhirnya diparkir di Kementerian PPK. Pengalaman kerjanya di Indonesia diwarnai dengan diskriminasi karena ia seorang keturunan tionghoa. Ia juga menyoroti perilaku para pejabat di Kementerian PPK yang tidak profesional. Ia merasa bahwa pengetahuannya tidak termanfaatkan dengan baik di tempat ia mengabdi. Potensinya sebagai seorang intelektual seakan terabaikan dan tersia-siakan.

Di bagian penutup buku, H.H. Ong menambahkan kisah hidupnya saat akhirnya memilih untuk pindah negara ke Belanda. Ia diberitakan melarikan diri dan tidak memenuhi panggilan Kementerian PTIP (tidak jelas ini kementerian apa).

H.H. Ong menggambarkan dirinya sebagai seorang yang ingin membenahi Indonesia. Ia sangat percaya bahwa Indonesia bisa menjadi negara besar karena memiliki sumber alam melimpah, warganya beragam serta memiliki Pancasila dan UUD 1945. Namun kepicikan para pemimpinnya yang mudah iri hati dan malas membuat cita-cita Indonesia menjadi negara besar belum bisa dicapai. Energi lebih banyak dihabiskan untuk berkonflik daripada untuk mencapai kemajuan. Ong merasa tidak berhasil, sehingga akhirnya pindah ke Belanda daripada mati konyol.

Alangkah baiknya jika identitas H.H. Ong bisa dicantumkan dalam bagian akhir buku, sehingga kita sebagai pembaca bisa tahu siapa dia yang sesungguhnya. 709

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler