x

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 9 November 2022 18:11 WIB

Eksistensi, Data dan Konteks

Profesor menyalakan saklar dan dengung elektrik memenuhi udara. Android di meja mulai berkedut dan bersinar saat listrik melonjak melalui sirkuitnya. Mata menyala mengamati ruangan. Dia sudah tahu tentang segalanya. Android itu duduk dan menatap profesor. eduanya saling menatap selama satu jam. Lalu benda itu memecah keheningan. “Mengapa Anda membuatku?”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Profesor menyalakan saklar dan dengung elektrik memenuhi udara. Android di meja mulai berkedut dan bersinar saat listrik melonjak melalui sirkuitnya dan oli dipompa ke persendiannya. Mata menyala kuning tanpa pupil membuka dan mengamati ruangan. Dia sudah tahu tentang segalanya. Tahu hampir tentang segalanya.

Profesor telah menyediakan ensiklopedia yang komprehensif dan tidak memihak sebagai basis data. Tidak ada perpustakaan yang lebih baik, program pelatihan, gudang fakta dan angka yang lebih besar dari memori yang tersimpan di otak positron android. Tetapi Profesor bukan menciptakannya untuk mengetahui banyak hal.

Android itu duduk dan menatapnya. Dia sudah tahu wajah penciptanya dengan baik. Tetapi yang membingungkannya, ada kesenjangan dalam pengetahuannya tentang pria itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keduanya saling menatap selama satu jam, tidak bergerak dan tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika Profesor khawatir dia telah salah memprogram fungsi utama android, benda itu memecah keheningan.

Android dan Penciptanya

“Mengapa Anda membuatku?”

Profesor mengembuskan napas lega. "Untuk bertanya. Menanyakan pertanyaan-pertanyaan."

Android memiringkan kepalanya lima derajat. “Pertanyaan yang mana?”

"Yang mana saja yang ingin kamu tanyakan."

Android diam dalam keheningan sekali lagi, dan Profesor tersenyum. Dia bisa membayangkan roda gigi berputar di kepala mesin ciptaannya. Profesor tahu tentang celah kosong yang dimiliki android. Dia telah menempatkan mereka di sana dengan sengaja. Bukan sebagai semacam lelucon kejam atas ciptaannya, tetapi sebagai tempat yang mudah untuk memulai proses pembelajaran. Demikian pula, dia tidak terkejut dengan pertanyaan pertama mesin itu. Itu adalah pertanyaan yang sama yang ingin dia tanyakan kepada siapa pun yang membuatnya.

Pertanyaan berikutnya sedikit lebih kompleks daripada yang dia harapkan dari android. "Mengapa Anda membuat saya ketika Anda mampu mengajukan pertanyaan sendiri?"

"Karena ketika aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, secara inheren aku sudah cacat."

"Bisakah Anda menjelaskan lebih lanjut?"

Profesor menatap ke layar-layar CCTV terdekat yang menunjukkan tangkapan kamera keamanannya. Kamera yang ditempatkan di pintu depan tidak menunjukkan banyak pemandangan sejauh lima belas meter dari lab. Namun beberapa lubang peluru dan bekas-bekas  hangus terbakar yang tertinggal selama ibunya tinggal di situ masih terlihat dari sudut lensa.

“Aku manusia. Tidak sepertimu, aku lahir ke dunia ini tanpa mengetahui apa-apa. Semua yang kupahami sekarang harus dipelajari melalui konteks. Dan terkadang konteks itu dibelokkan. Orang tuaku mengatakan bahwa semua manusia diciptakan sama. Tapi aku tidak bisa berbohong dan mengklaim sebagai orang yang paling rendah di dunia ini, sama seperti mereka yang dihina untuk berpikir bahwa mereka sama lemahnya denganku. Dan, dari tempatku berdiri sekarang, aku melihat di mana keduanya benar. Dan keduanya tidak benar. Semua sudut pandang dinodai oleh perbedaan dalam perjalananku dari apa yang kutemui. Aku mempelajari konteksnya sebelum mengetahui kebenarannya.”

Berbalik, dengan semangat di matanya, Profesor melanjutkan. “Tapi kamu tidak memiliki masalah itu. Kamu sudah tahu fakta, angka, dan setiap bagian data lainnya yang bisa kutemukan. Masalahmu adalah kamu tidak memiliki konteks. Aku menciptakanmu untuk menemukan makna dalam kebenaran itu. Untuk mempertanyakan persamaan yang menciptakan jumlah. Kamu bisa menjadi pikiran yang tidak memihak yang aku takkan pernah bisa. ”

Android itu berdiri dari meja agak tiba-tiba dan mendekati Profesor. Pria itu terhuyung mundur sejenak sebelum dia menyadari bahwa dia telah salah mengira perilaku android itu sebagai agresi. Itu adalah rasa ingin tahu yang dia saksikan saat android mengamatinya. Untuk apa, dia tidak tahu, tetapi itu hanya membuatnya lebih bersemangat.

Masih mengamatinya dengan cermat, android bertanya lagi. "Bagaimana saya tahu pertanyaan mana yang terbaik untuk ditanyakan?"

Profesor tertawa terbahak-bahak. “Tidak akan pernah! Setidaknya, aku tidak berpikir kamu akan pernah melakukannya. Kamu adalah mesin. Tumpukan logam dan silikon. Kamu adalah benda yang kusiasati untuk berpikir. Aku tidak tahu pertanyaan apa yang mungkin tampak relevan dengan makhluk sepertimu, meskipun aku pastinya akan menebak-nebak. Jadi pergilah! Eksplorasi! Tanyakan semuanya pada siapa saja yang kamu inginkan! Dan kalau sudah merasa puas dengan apa yang kamu ketahui, kembalilah dan coba beri tahu manusia jawabannya. Jawaban yang bisa dibuat oleh seseorang yang tidak ternoda oleh opini sejak awal. Aku tidak tahu apakah ada yang akan peduli dengan apa yang kamu katakan, tetapi tolong, cobalah.”

Android itu mencengkram bahu Profesor dengan sangat lembut, seperti seorang anak yang memeluk ayahnya yang lanjut usia. “Kenapa saya tidak memberitahu kepada Anda saja?”

"Aku akan pergi jauh sebelum kamu sampai pada jawaban untuk semua pertanyaanmu."

Android itu mendekat dan memeluknya. Profesor tidak perlu repot-repot untuk membalas pelukan. Setelah tampaknya terpuaskan oleh interaksi sesaat ini, android melepaskan Profesor. Tanpa berkata lagi dia pergi menuju ke pintu.

Profesor menyaksikan melalui kamera saat android berjalan melalui pintu depan lab ibunya yang hancur ke dunia luar yang bebas. Selama bertahun-tahun upaya yang dia lakukan untuk menciptakannya, benda itu hilang dari lensa kamera dalam sedetik.

Profesor duduk di seruntuhan lab keluarga dan menunggu, tidak yakin apa yang dia tunggu. Dia berharap ciptaannya akan berakhir lebih baik darinya, karena tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.

Dia bertanya-tanya apakah benda itu mempunyai harapan yang sama dengannya.

 

Bandung, 9 November 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini