x

Iklan

Pascal Fadhillah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 Desember 2022

Sabtu, 24 Desember 2022 06:51 WIB

Mahalnya Harga Sepak Bola Kita; Menyoal Dugaan Mafia Bola

Mimpi sepakbola Indonesia berprestasi di tingkat dunia yang telah didengungkan sejak lama, ternyata hingga kini masih dalam tataran mimpi. Gaung untuk menuju pentas dunia sudah sering diwacanakan dan dicanangkan oleh periode-periode kepemimpinan pengurus sepakbola nasional, namun hingga kini gaungnya saja yang terus bergema dengan indah, sementara realitasnya sama sekali masih jauh dari apa yang diekspektasikan masyarakat sepakbola itu sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

       Mimpi sepakbola Indonesia berprestasi di tingkat dunia yang telah  didengungkan sejak lama, ternyata hingga kini masih dalam tataran mimpi. Gaung  untuk menuju pentas dunia sudah sering diwacanakan dan dicanangkan oleh periode-periode kepemimpinan pengurus sepakbola nasional, namun hingga kini gaungnya saja yang terus bergema dengan indah, sementara realitasnya sama sekali masih jauh dari apa yang diekspektasikan masyarakat sepakbola itu sendiri.

       Dinamika yang terjadi dalam dunia sepakbola tanah air lebih sering dan lebih  fenomenal pada tataran politis, konflik organisasi, serta konflik kepentingan, bukan di lapangan hijau yang semestinya adalah hakikat dari spirit sepakbola itu sendiri. Dalam perkembangannya, PSSI bukannya mengejar piala melalui pertandingan di lapangan,  PSSI malah lebih akrab dengan pertarungan di kancang meja kekuasaan dan dan bahkan berkonflik dengan pemerintah. Pertarungan dan pertandingan sengit terus bergulir dalam memperebutkan tahta organisasi lebih sering berprestasi dan menjadi tagline media nasional maupun internasional. 

      Dan hari itu adalah puncak dari semua ketidakberesan dan kekacauan yang terjadi pada dinamika sepakbola nasional tersebut. Jatuhnya sanksi dari induk organisasi sepakbola dunia FIFA pada 30 Mei 2015 terhadap sepakbola nasional benar-benar menampar seluruh pecinta sepakbola tanah air. Tindakan pemerintah lewat Kemenpora yang membekukan kepengurusan PSSI periode 2015-2019 sejatinya oleh mereka dijadikan argumen untuk memperbaiki serta membangun ulang tata kelola sepakbola Indonesia disisi lain menurut FIFA adalah intervensi dari pihak pemerintah terhadap induk sepakbola di Indonesia dan itu haram menurut FIFA. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Organisasi sepakbola dunia tersebut tidak mau tahu atas segala argumen Kemenpora, menurut mereka tindakan intervensi tersebut bertentangan dengan spirit fair play dan itu tidak diperbolehkan menurut peraturan FIFA.

      Pihak PSSI sendiri memang masih berjuang dalam tataran hukum, melewati gugatan yang diajukan ke PTUN yang menghasilkan putusan sela memenangkan PSSI pada 25 Mei 2015 yang lalu, dimana pihak Kemenpora diperintahkan untuk menggugurkan surat pembekuan terhadap PSSI. Namun tentunya penyelesaian lewat  jalur meja hijau masih jauh dari kata selesai, mengingat Kemenpora pasti akan melakukan upaya banding. Dengan demikian, sanksi FIFA masih akan tetap bertahan hingga apa yang diminta FIFA yaitu pencabutan pembekuan PSSI oleh Kemenpora dicabut segera dilakukan oleh pihak Kemenpora. Dan hingga saat itu terjadi, maka Indonesia masih akan terkucil dari kancah persepakbolaan regional maupun internasional.

      Beberapa pihak yang mendukung pembekuan sanksi menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Menpora sudah benar, mereka melihat bahwa apa yang terjadi di PSSI memang harus benar-benar dibenahi dan bahkan dibangun ulang. Pecinta sepakbola tentu tidak bisa menerima bila hingga tahun 2015 ini tidak ada prestasi yang membanggakan dari PSSI dengan mengukur raihan prestasi melalui tim sepakbola nasional Indonesia dan klub pada ajang regional maupun internasional.

       Sudah 84 tahun PSSI berdiri, tapi prestasi sepak bola kita (baca: timnas) benar-benar jalan ditempat dan makin tertinggal dari negara-negara yang sudah maju prestasinya, bahkan juga makin tertinggal dari negara-negara yang awal mulanya sama-sama tumbuh dan berkembang. Tantangan dan ancaman juga datang dari negara-negara baru dan pada awalnya tertinggal, mereka mulai melangkah dan hampir  segera berlari. Bukan tidak mungkin negara-negara tersebut mulai mendekati Indonesia, dan mungkin juga melewati kita.

      Tim nasional kita sebagai representasi prestasi sepakbola di level regional dan internasional juga memperlihatkan prestasi yang diliputi mendung dan duka, bahkan untuk pertama kalinya tersingkir dari Piala AFF dalam dua edisi secara beruntun. Timnas Indonesia juga mulai sering mendapatkan perlawanan yang sengit dan bahkan mengalami kekalahan bahkan dari negara-negara yang dulu tertinggal di bidang sepakbola macam Filipina, Brunei dan Kamboja. Imbasnya peringkat Indonesia dalam rangking FIFA terus melorot, belum pernah lagi merasakan berada pada level 100 besar. Peringkat kita terus terjun bebas dan berada di belakang negara-negara tetangga yang dulu berada jauh dibawah kita.

      Mereka menilai mafia sepakbola telah mengakar dalam tubuh PSSI, sehingga sepakbola Indonesia tidak bisa maju, karena adanya berbagai kepentingan-kepentingan yang disinyalir mereka menggunakan PSSI sebagai ladang untuk mencari untung demi kepentingan pribadi. Masyarakat sepakbola yang pro Kemenpora juga mempertanyakan guliran dana dari sponsor liga, serta tentunya dana pembinaan dari FIFA serta AFC kepada PSSI yang tidak transparan penyaluran dan penggunaannya.  Mereka juga intens meminta Kemenpora terus beraksi menyelamatkan sepakbola Indonesia dengan cara membuang orang-orang yang sudah terkontaminasi jelek dari dalam tubuh PSSI itu sendiri.

       Kemajuan sepakbola nasional menjadi tanggung jawab kita bersama, pemerintah lewat Kemenpora, PSSI, KOI, KONI, Swasta, hingga masyarakat Indonesia itu sendiri sebagai bagian terbesar pelaku sepakbola itu sendiri. Toh apa yang dilakukan Kemenpora tentu dengan niat baik, begitu juga apa yang dipertahankan dan diyakini oleh PSSI tentu juga demi kebaikan kita semua. Jadi solusi permasalahan sepakbola kita haruslah diselesaikan dengan duduk bersama semua pihak yang tersebut diatas. Dan tentu saja dengan tidak menempatkan satu atau 
dua pihak dalam posisi salah atau benar. Dan hingga saat itu tiba, marilah kita menumbuhkan dan menikmati mimpi-mimpi itu dengan indah.

      “Ayo, ayo Indonesia, ku ingin kita harus menang”. Teriakan dan nyayian tersebut menggema di stadion, hampir setiap laga tim sepak bola nasional Indonesia. Penonton berduyun-duyun datang ke stadion untuk menjadi “pemain kedua belas” bagi tim. Animo penonton cukup tinggi menyaksikan laga sepak bola timnas. Bagi penulis, ini berarti kita dipertemukan, disatukan dan dihibur lewat sepak bola. Tetapi, semangat pemain dan penonton serta pecinta timnas tercederai saat muncul dugaan adanya “mafia” sepak bola yang mengatur hasil akhir pertandingan.

       Para pengamat sepak bola memaparkan bahwa “mafia bola” adalah istilah yang menjelaskan pengaturan skor bola sebelum pertandingan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui luar lapangan atau saat pertandingan. Salah satu cara yang dilakukan pada saat pertandingan adalah dengan cara “nyikat” kaki lawan, sengaja  membuat gol bunuh diri dan masih banyak lainnya.

Hal tersebut dimaksud untuk memenangkan salah satu tim tertentu. Semua dapat diganti dengan uang, sportivitas dibayar dengan uang. Tindakan tersebut sangat sarat dengan perjudian. Harga diri dan kebesaran tim sebuah negara digadaikan. Tulisan ini berangkat dari pembacaan media atas pemberitaan terkait dugaan adanya mafia bola yang menjual belikan skor akhir pertandingan.

      Setelah pemerintah membubarkan PT. Petral –anak perusahaan PT. Pertamina- yang dianggap sebagai sarang mafia minyak dan gas, giliran persatuan sepak bola Indonesia (PSSI) juga dibekukan. Banyak alasan yang mendasari pembekuan tersebut, salah satunya: PSSI sarang mafia bola. Saat itu juga, liga sepak  bola Indonesia pun terhenti. Ini bencana bagi pelaku sepak bola Indonesia, para pemain kehilangan pekerjaan, klub kehilangan penghasilan, serta pecinta bola kehilangan hiburan tontonan laga pertandingan. Sepak bola Indonesia semakian tak menarik lagi. Para stakeholder saling tuding atas ketidakberesan persepakbolaan  dalam negeri.

         Kemana arah tujuan persepakbolaan tanah air? Keadaan ini menjadi “aib” bagi Indonesia. Prestasi Indonesia ditingkat sepak bola internasional semakin melorot, jauh dari harapan. Mimpi untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia yang entah kapan terjadi harus dikubur dalam-dalam.          Pecinta bola harus mengakui betapa buruknya manajemen sepak bola tanah air. Pecinta bola tentu akan mudah mendapati berita tentang tunggakan klub terhadap gaji pemain. Ini merupakan isyarat buruk. Hak-hak  pemain tak dipenuhi. Bagaimana mereka dapat bertanding secara profesional?

Prestasi buruk Indonesia pada cabang sepak bola di Sea Games Singapure 2015 menyisakan pertanyaan besar. Dugaan mafia bola mengatur skor agar timnas Indonesia kalah atau mengalah. Seseorang yang tak mau menyebut namanya tiba-tiba ramai dibicarakan publik karena pengakuannya yang turut mengatur skor atau  katakanlah mengungkap adanya jual beli hasil akhir pertandingan. Ibarat jatuh tertimpa tangga. Prestasi timnas yang tak menggembirakan di Sea Games dilengkapi dengan isu dugaan adanya pengaturan skor.

      Memang, kabar adanya mafia bola bukan hal baru dalam sejarah persepakbolaan Indonesia. Dugaan adanya mafia bola juga sempat terlihat pada final Piala AFF 2010, kala itu timnas Indonesia “digayang” tim Malaysia 3-0 di Stadion Bukit Jalil. Semua dilakukan demi uang. Selain kasus tersebut, pecinta bola  tentu masih ingat dalam beberapa kasus pertandingan terdapat tim yang memainkan “sepak bola Gajah”, sengaja mengalah demi menghindari lawan atau tim yang lebih kuat. 

     Sedemikian mahal kah sepak bola kita, sehingga untuk mendapat suguhan sepak bola hakiki para pecinta bola amat kesulitan. Ini bukan sekedar “PR” bagi pemerintah. Para pelaku sepak bola harus menyadari betul betapa sepak bola Indonesia masih terbelakang dalam berbagai hal. Pecinta bola masih bisa melihat  pengelolaan tim belum dilakukan dengan profesional dan pengelolaan sarana dan prasarana masih di bawah standar. Terkhusus dugaan mafia bola, hal tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja. Perlu ada keberanian berbagai pihak terkait guna pengusutan hal tersebut.

     

Ikuti tulisan menarik Pascal Fadhillah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu