x

Ilustrasi Wanita Karir. Karya Gerd Altman dari Pixanbay.com

Iklan

Tiara Amanda Jullet Harahap

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 21 Desember 2022

Rabu, 21 Desember 2022 17:29 WIB

Wanita dengan Kepemimpinan

Artikel ini membahas perspektif wanita sebagai pemimpin di mata dunia serta proses perubahannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
Untitled Image
 
 
Ilustrasi wanita. Foto: Shutterstock
Apakah wanita dapat memiliki ambisi dan kesempatan yang sama untuk memiliki jabatan kepemimpinan layaknya pria?
 
Dewasa ini perkembangan jumlah pemimpin wanita sedang melonjak jika dibandingkan dengan sebelumnya. Walaupun begitu wanita yang berambisi untuk menjadi pemimpin masih dihadapi dengan hambatan-hambatan berat. Dengan kenyataan tanggung jawab utama seorang wanita sebagai pengurus rumah tangga, melekatnya stereotip gender yang ada pada budaya serta adanya hukum dan praktik di berbagai negara yang membatasi pendidikan dan kesempatan wanita untuk berkembang mengekspresikan diri mereka di luar rumah menjadi faktor hambatan besar bagi para wanita.
 
Sebagian pengamat percaya bahwa jumlah wanita yang memegang posisi kepemimpinan yang penting masih terbilang sedikit. Namun ada perdebatan mengenai hal ini, di sisi lain kita tidak dapat mengetahui betul apakah wanita “secara alami” tertarik dan siap memegang jabatan kepemimpinan puncak sampai harus rela membuat pengorbanan pribadi dan keluarga seperti yang para pria hadapi.
 
Salah satu perubahan yang paling terlihat dalam beberapa dekade terakhir ini adalah lonjakan jumlah wanita dalam posisi kepemimpinan. Kini banyak wanita memiliki posisi kepemimpinan tinggi dalam pemerintahan, pendidikan, perusahaan nirlaba, bisnis, serta di bidang-bidang kehidupan lain dibandingkan dengan yang pernah terjadi di masa lalu.

Apa itu kepemimpinan?

Sebelum membahas hal ini lebih lanjut, kita perlu memahami betul apa yang dimaksud dengan kepemimpinan, mari menggunakan definisi berikut: Kepemimpinan merupakan kegiatan seseorang dalam menggerakan dan menyatukan energi sekelompok individu dengan mempengaruhi, membimbing, dan memimpin sekelompok individu tersebut untuk mencapai suatu tujuan.
 
Seorang pemimpin berhak menentukan tujuan dengan menyampaikan ide sampai mengeluarkan perintah eksekutif. Pemimpin dapat memobilisasi energi individu atau sekelompok individu mulai dengan cara persuasi yang halus hingga dengan ancaman atau sanksi yang keras. Pemimpin karismatik seperti Martin Luther King Jr. melakukan mobilisasi energi melalui persuasi retorika.
 
Kita dapat menganggap bahwa kepemimpinan merupakan sebuah spektrum, baik dari segi kekuatan yang dimiliki seorang pemimpin tersebut maupun dari segi visibilitasnya. Salah satu spektrum yang paling terlihat jelas adalah bahwa pemimpin berwibawa seperti Perdana Menteri Inggris Raya atau seorang Presiden Amerika mampu membuat perbedaan yang signifikan bagi seseorang yang hidupnya tersentuh oleh mereka.
 
Selama berabad-abad, posisi kepemimpinan yang tinggi umumnya diduduki oleh pria. Beberapa tokoh pemimpin yang berhasil memiliki kepemimpinan tinggi, termasuk Nelson Mandela berhasil menggunakan strategi “memimpin dari belakang layar” walaupun umumnya para pemegang kepemimpinan cukup terlihat dalam pelaksanaan kekuasaan mereka.
 
Para pemimpin wanita biasanya memberikan kepemimpinan yang sederhana dan di belakang layar. Namun seiring berjalannya waktu pola ini perlahan berubah, disebabkan banyaknya pemimpin wanita mampu mengambil posisi kepemimpinan yang terlihat secara langsung (tidak di belakang layar) serta menunjukan wibawanya sama seperti pemimpin pria pada umumnya.
Untitled Image
 
 
Para pemimpin wanita. Foto: Shutterstock

Layakkah wanita untuk memegang jabatan?

Berabad-abad pula wanita telah absen dari posisi kepemimpinan formal. Jabatan seperti itu, secara rutin dipegang oleh kaum pria . Oleh karena itu, wanita kurang memiliki kesempatan untuk menjalankan kepemimpinan yang terlihat. Sebagai sebab dan akibat dari fakta ini, kepemimpinan sangat erat kaitannya dengan maskulinitas. Di beberapa bagian dunia stereotip ini masih sangat jelas nyata dan dominan, bahkan di Amerika Serikat yang kita anggap sebagai salah satu negara paling maju, masih berpikir bahwa pria adalah “pemimpin alami”, dan wanita ditakdirkan untuk mengikuti mereka.
 
Terlepas dari kerasnya kaitan hubungan antara kepemimpinan dengan maskulinitas, beberapa wanita telah membuktikan mampu memberikan kepemimpinan yang kuat dan terlihat. Elizabeth I dari Inggris atau Catherine Agung dari Rusia sebagai contoh tokoh wanita yang berhasil menjalankan otoritas publik formal ketika dinasti atau garis perkawinan mengalahkan jenis kelamin, sehingga wanita dapat memerintah sebagai raja.
 
Lima puluh enam wanita telah menjabat sebagai presiden atau perdana menteri negara dalam setengah abad terakhir. Wanita telah menjadi CEO dari Yahoo, IBM, dan Coca-Cola. Ada hakim perempuan yang duduk di semua tingkatan sistem pengadilan, dan pemimpin perempuan di beberapa organisasi internasional terkemuka.
 
Bahkan di Amerika Serikat, belum pernah terjadi sebelumnya dalam pemilihan paruh waktu 2018 dan pemilihan pendahuluan presiden menjadi contoh mencolok dari perempuan yang menangani identifikasi lama kepemimpinan dengan maskulinitas. Seratus tujuh belas wanita memenangkan jabatan pada tahun 2018, termasuk sembilan puluh enam anggota DPR, dua belas senator, dan sembilan gubernur. Masing-masing adalah jumlah rekor baru. Pencalonan Hillary Clinton sebagai presiden juga merupakan salah satu langkah signifikan dan kepemimpinan Angela Merkel untuk Jerman dan Uni Eropa telah memberi dobrakan bagi para wanita dalam politik di seluruh dunia.

Proses perjuangan kaum wanita untuk menjadi seorang pemimpin

Kesempatan bagi wanita untuk memimpin saat ini jauh lebih besar terlihat di lembaga-lembaga besar daripada sebelumnya yang pernah terjadi dalam sejarah. Namun mengapa perubahan tersebut justru terjadi pada saat ini? Berikut beberapa faktor yang memungkinkan wanita mengambil langkah signifikan dalam kepemimpinan.
 
Dimulai dengan pendirian institusi pendidikan tinggi bagi wanita pada akhir abad ke-19 sehingga karier dan aktivitas yang dulunya berada di luar jangkauan semua wanita untuk pertama kalinya menjadi ambisi yang masuk akal. Pendidikan tinggi menyediakan wadah kepemimpinan bagi para wanita di banyak bidang. Pada esai Virginia Woolf A Room of One's Own (1929) menjelaskan betapa pentingnya bagi wanita untuk dididik di lingkungan perguruan tinggi. Gelar perguruan tinggi dapat memungkinkan perempuan untuk memasuki profesi yang sebelumnya tidak diperbolehkan bagi wanita dan, sebagai akibatnya, menjadi mandiri dan terlepas secara finansial dari ayah ataupun suami mereka dan mendapatkan penghasilan sendiri.
 
Kemudian di akhir abad ke-19 banyak penemuan dan perkembangan alat bantu tenaga kerja seperti mesin cuci, mesin pencuci piring dan penyedot debu, diikuti pada paruh kedua abad ke-20 oleh komputer dan, kemudian asisten elektronik. mampu memesan barang secara online untuk dikirim ke depan rumah Anda. Sehingga pekerjaan rumah tangga kini terasa jauh lebih ringan oleh karena banyaknya dukungan mekanis dan elektronik dibandingkan dengan sebelumnya.
Faktor selanjutnya adalah ketersediaan dari alat kontrasepsi.
 
Di abad-abad sebelumnya melahirkan dan tuntutan membesarkan anak menjadi batu sandungan bagi para wanita yang haus ambisi akan pengetahuan, aktivitas yang bersifat profesi, serta jabatan sehingga sulit sekali menemukan waktu dan kesempatan untuk berkarya Pada awal abad ke-20, untuk pertama kalinya ada diskusi publik luas tentang metode dan dimensi moral dari pengendalian kelahiran. Kesempatan untuk ber-KB dengan mengontrol jumlah dan waktu kelahiran memberikan kebebasan lebih bagi perempuan untuk melakukan tugas-tugas lain tanpa mengkhawatirkan kehamilan yang tidak diinginkan. Pada tahun 1960, ketika "pil" menjadi alat kontrasepsi pilihan bagi jutaan wanita, pertempuran untuk kontrasepsi legal sebagian besar telah dimenangkan di sebagian besar belahan dunia.
 
Faktor terakhir adalah perubahan pandangan sosial yang terjadi pada dunia yang juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh juga hasil kumulatif dari semua perkembangan yang terjadi hingga saat ini sehingga tampak “wajar” bagi seorang wanita untuk memiliki jabatan pimpinan tinggi. Padahal di masa-masa sebelumnya tidak pernah terpikir oleh dunia bahwa seorang wanita dapat memiliki jabatan tinggi seperti menjadi CEO sebuah perusahaan, anggota kongres, bahkan sampai menjadi seorang presiden sebuah negara.

Kenyataan yang terjadi pada saat ini

Dalam topik ini hambatan yang kita hadapi cukup masuk akal, bagaimanapun mungkin trade-off posisi tinggi memerlukan hal-hal yang tidak ingin dilakukan oleh banyak wanita dengan kata lain, jumlah atau petinggi wanita lebih sedikit karena wanita tidak menginginkan apa yang pria miliki.
Kenyataannya hari ini yang terjadi adalah banyak wanita di berbagai belahan dunia di berbagai macam bidang, merasa nyaman dengan menjalankan otoritas dan memegang kekuasaan, dan berambisi melakukannya secara terbuka.
 
Para wanita pemimpin ini tidak merasa perlu menyangkal atau mengkhawatirkan sisi kewanitaan mereka, melainkan fokus berkonsentrasi untuk mendapatkan kekuasaan . Bukan soal ambisi melainkan para wanita hanya perlu kesempatan serta dukungan. Sekarang dengan adanya berbagai perubahan dan kemajuan yang telah dipaparkan di atas tadi yang terjadi bagi sebagian besar pemimpin wanita, jenis kelamin mereka bukanlah suatu variabel yang dapat menghambat mereka.
 
Setelah sekian abad dan sekian generasi perjuangan hak bagi wanita untuk mendapatkan dukungan dan kesempatan yang sama mendapatkan hasil jalan yang lebih mudah. Walaupun hal ini sampai batas tertentu ruang geraknya masih terbatas, dengan model kepemimpinan yang terbentuk sejak awal diutamakan oleh dan untuk para pria. Sudah saatnya para pemimpin wanita mendapatkan dukungan dari keluarga, pasangan, dari sistem politik, dan dari masyarakat untuk mendapatkan kesempatan yang sama layaknya para pemimpin pria dapatkan.
 

Referensi

- Robert Dahl, “The Concept of Power,” Behavioral Science 2 (3) (1957): 202
- Alice H. Eagly and Linda L. Carli. Through the Labyrinth: The Truth about How Women
- Become Leaders (Boston: Harvard Business School Press, 2007).
- Institute of Leadership and Management, “Ambition and Gender at Work” (London: Institute of Leadership and Management, 2010), https://www.institutelm.com/ resourceLibrary/ambition-and-gender-at-work.html.

Ikuti tulisan menarik Tiara Amanda Jullet Harahap lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu