Katanya Promosi Tapi, kok, Menghakimi?

Rabu, 28 Desember 2022 19:32 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemasaran menjadi hal yang penting dalam memperkenalkan suatu produk pada khalayak. Namun, bagaimana jika iklan yang dibuat kontroverrsial dan cenderung menyudutkan serta menghakimi perempuan korban kekerasan seksual? Simak artikel berikut.

Jika diibaratkan sebagai anggota tubuh, seharusnya luka dan rasa sakit yang dialami oleh satu perempuan adalah luka dan rasa sakit bagi perempuan lainnya.

Dunia yang aman bagi perempuan adalah utopia. Namun, tetap terus diupayakan meski harus berhadapan dengan beragam tantangan, terutama dalam hal memberi ruang aman bagi perempuan korban kekerasan seksual.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia itu tinggi dan mengkhawatirkan. Dari KDRT, kekerasan seksual, pernikahan anak, kekerasan gender berbasis online (KGBO) dan sebagainya.

Kekerasan seksual itu masalah serius, tapi penanganannya bercanda. Menyalahkan korban dan menormalisasi perbuatan pelaku itu biasa. Kok bisa-bisanya ya, kebiasaan menyalahkan korban terbawa sampai iklan jilbab keluaran salah satu jenama jilbab dan busana muslim terkenal tanah air? Terlebih ini bukan kontroversi pertama yang mereka buat.

Entah apa motivasinya, terkait kekerasan seksual, apa perlunya menanyakan siapa yang salah antara laki-laki (jika sebagai pelaku) atau perempuan (jika sebagai korban)? Bukankah jawabannya sudah jelas?

Jika ditujukan untuk edukasi, kenapa harus membawa narasi yang menyudutkan dan menghakimi perempuan (korban)? Mengapa korban—yang seorang perempuan—disebut bodoh dan dianggap memberi kesempatan pada pelaku karena berpakaian terbuka?

Edukasi berarti memberikan informasi atau pengetahuan. Tujuannya agar orang-orang yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu, yang sebelumnya tidak sadar menjadi tergugah kesadarannya, yang sebelumnya tidak mampu menjadi mampu, yang sebelumnya hanya diam menjadi bergerak atau termotivasi untuk berbuat sesuatu.

Kalau mau edukasi, coba sajikan data tentang jumlah kasus kekerasan seksual atau jenis pakaian korban yang paling banyak dikenakan oleh korban pelecehan seksual. Asal tidak malas mencari pasti ketemu.

Kalau untuk keperluan marketing (karena kontennya berupa iklan), kenapa tidak membawa narasi yang lebih memberdayakan (empowering) perempuan?

Iya, iya percaya, kalau kontroversi sebuah jenama (brand) sekalipun masih bisa jadi ladang cuan. Makin kontroversial, makin ramai juga makin bikin penasaran dan akhirnya tetap memancing konsumen untuk belanja. 

Kalau mau buat iklan yang lebih memberdayakan perempuan (terutama untuk jenama atau produk-produk bagi konsumen perempuan), silakan belajar dari iklan-iklan kosmetik yang mengusung konsep kecantikan inklusif. Bahwa cantik tidak harus punya kulit seputih pualam atau semulus porselen. Definisi cantik tidak melulu harus membebek pada standar kecantikan ala Barat atau Asia Timur (khusunya Korea Selatan).

Saya tidak membenci jilbab (tentu saja, kan, saya berjilbab) dan tidak membenci orang yang mengenakan, mengajak atau mengedukasi orang lain tentang pemakaian jilbab. Saya hanya tidak suka dengan glorifikasi jilbab, seolah merasa diri lebih baik, lebih salehah dan berhak menghakimi perempuan lain yang tidak/belum berjilbab.

Tanpa bermaksud menafikan ajaran agama yang saya anut, sejak dulu saya diberi tahu untuk berpakaian yang sopan dan menutup aurat agar tidak mengundang nafsu lawan jenis. Saya juga kerap diberi tahu kalau perempuan dilecehkan atau diperkosa karena pakaiannya kurang bahan. Karena masih polos, saya manut-manut saja dan meyakininya sebagai kebenaran.

Namun, setelah berkenalan dengan feminisme dan kesetaraan gender, saya mulai mempertanyakan hal-hal yang dulu saya yakini sebagai kebenaran dan kewajaran. Termasuk kaitan antara pakaian dengan kekerasan seksual yang dialami perempuan.

Kalau menuruti kata iklan jilbab tersebut, lalu bagaimana dengan santriwati-santriwati korban pelecehan seksual oleh ustadz, pengurus atau pimpinan pondok pesantren tempat mereka belajar? Bukankah para santriwati selalu berpakaian panjang, longgar dan berjilbab?

Iklan kontroversial tersebut sungguh nir empati pada perempuan korban kekerasan seksual. Tidak hanya aktivis perempuan, perempuan korban kekerasan seksual pun ikut menegur si pembuat iklan.

Promosi ya promosi. Mau sekalian ada unsur edukasi juga silakan. Namun, tidak perlu menghakimi. Apalagi pakai cara warganet yang suka bersembunyi di balik kalimat, “Maaf, sekadar mengingatkan”.

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Luna Septalisa

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Menulis Sejarah Perempuan

Selasa, 8 Agustus 2023 15:53 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler