x

image: Cleveland Clinic

Iklan

Erick Mubarok

Ghost writer | Penyuka sejarah | Penonton dagelan | Gooner dan Bobotoh
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 9 Januari 2023 18:00 WIB

Anak Bunuh Keluarga di Magelang, dalam Perspektif Teori Komunikasi

Pembunuhan satu keluarga oleh anak bungsu yang terjadi pada 28 November 2022 di Dusun Prajenan, Desa Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menggegerkan publik. Selain karena hubungan keluarga yang terasa janggal bisa terjadinya pembunuhan juga motif pelaku melakukannya. Kasus tersebut tidak bisa dilepaskan dari komunikasi interpersonal yang tidak terbangun dengan efektif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pembunuhan satu keluarga oleh anak bungsu yang terjadi pada 28 November 2022 di Dusun Prajenan, Desa Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menggegerkan publik. Selain karena hubungan keluarga yang terasa janggal bisa terjadinya pembunuhan juga motif pelaku melakukannya.

Tentunya saja, polisi dengan cepat menangani kasus tersebut. Pada 30 November 2022 polisi menemukan beberapa fakta baru dan menetapkan Dhio Daffa Syahdilla (DDS) yang merupakan anak kedua korban sebagai tersangka.  Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan polisi, pelaku mengaku merasa tersudut akibat diminta menghidupi keluarganya. Diketahui, orangtua pelaku, Abas Ashar (58), Heri Riyani (54), telah mencapai usia pensiun dan kakak perempuannya Dea Khoirunnisa (25) sudah tidak bekerja.

Motif lain yang terungkap, pelaku merasa kesal akibat sering ditanya terkait uang investasi yang diberikan orangtuanya. Uang investasi yang diberikan pada 2021 belakangan ditagih terus oleh orangtua Dhio, hal tersebut yang kemudian meneguhkan pelaku merencanakan pembunuhan terhadap keluarganya sendiri. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Polisi menerangkan, pelaku merencanakan pembunuhan terhadap kedua orangtua dan kakaknya sejak 15 November 2022 , kemudian mencari referensi dengan browsing di internet hingga menemukan berita tentang pembunuhan aktivis Munir yang menggunakan racun arsenik, kopi sianida Mirna dan sate sianida Bantul. Pelaku mengaku membeli racun arsenik dan sianida lewat toko online (marketplace) sebanyak 4 kali dengan jumlah berbeda-beda, mulai 17-25 November 2022. Upaya pembunuhan pertama yang dilakukan oleh pelaku gagal. Pelaku kemudian menggunakan sianida yang dicampur dengan teh hangat dan kopi yang biasanya disajikan sang ibu pada Senin (28/11/2022) pagi (sumber: Kompas.com, 7/12/22).

Kasus tersebut pantas membuat publik merasa kaget karena terjadi pada lingkup keluarga, yang seharusnya menjadi lingkungan terkecil yang dapat menumbuhkan rasa kenyamanan dan ikatan persaudaraan yang kuat. Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan seseorang, dimana ia belajar dan mengekspresikan diri sebagai pribadi sosial dengan cara berinteraksi dengan kelompoknya. Menurut Bailon dan Maglaya (1978), keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya. Keluarga menjadi acuan pertama individu dalam membangun interaksi dengan lingkungan. Bahkan di lingkungan keluarga, anak mulai membentuk persepsi terhadap hal-hal di luar dirinya maupun terhadap dirinya sendiri (Kompasiana.com, 17/6/22)

Menurut penulis, kasus tersebut tidak bisa dilepaskan dari komunikasi interpersonal yang tidak terbangun dengan efektif. Komunikasi interpersonal berhubungan dengan kompetensi seorang individu untuk menjalin hubungan dan berkomunikasi secara efektif (sebagai sumber dan penerima). Kompetensi tersebut mencakup, misalnya, pengetahuan, kemampuan untuk mendengar, volume vokal, dan kedekatan secara fisik. Menurut MC. Crosky Larson dan Knapp (2001) mengatakan bahwa komunikasi yang efektif dapat dicapai dengan mengusahakan ketepatan yang paling tinggi derajatnya antara komunikator dan komunikan dalam setiap komunikasi. Komunikasi yang lebih efektif terjadi apabila komunikator dan komunikan terdapat persamaan dalam pengertian, sikap, dan bahasa.

Komunikasi dikatakan efektif jika informasi, pemikiran, atau pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami dengan baik sehingga menciptakan kesamaan persepsi, mengubah perilaku, atau menjadi tahu/paham. Komunikasi efektif diawali dengan encoding atau pemroduksian pesan atau simbol oleh komunikator yang memungkinkan pesan atau simbol tersebut dapat dipahami dengan baik oleh komunikan. Dalam kasus tersebut mengambil satu bagian kejadian yaitu pelaku merasa kesal karena dituntut oleh orangtuanya untuk menghidupi keluarga, dimana kedua orangtuanya sudah pensiun sementara kakak perempuannya sudah berhenti bekerja. Sebelumnya, kedua orangtua selalu mensuplai kebutuhan hidup pelaku. Melihat kondisi yang disampaikan oleh pihak kepolisian ataupun saksi, ayah pelaku sedang dalam keadaaan ekonomi yang tidak dalam keadaan baik. Tuntutan kepada pelaku sebagai anak laki-laki tentu merupakan hal yang lumrah terjadi di masyarakat Indonesia, anak laki-laki secara otomatis memiliki tanggung jawab yang lebih dibandingkan anak perempuan. Tuntutan orangtua kepada pelaku sebetulnya merupakan pesan yang biasa disampaikan orangtua pada umumnya. Hal yang bermasalah kemudian adalah decoding oleh komunikan, dalam hal ini pelaku. Decoding merupakan komponen penting kedua dalam komunikasi efektif, yaitu kemampuan memahami pesan yang diterima. Pelaku memaknai pesan dari orangtuanya secara berlebihan. Ini juga berkaitan dengan komponen komunikasi efektif yang ketiga yaitu konteks. Konteks komunikasi yaitu konteks ruang fisik, temporal, kultural, dan socio-psychological, dimana dan dalam kondisi apa komunikasi terjadi. Pesan yang biasa saja dari orangtua pelaku dimaknai secara berlebihan oleh pelaku karena adanya faktor socio-psychological. Pelaku dalam keadaan terguncang secara psikologis akibat tuntutan lingkungan, usianya yang sudah tidak lagi dikatakan sebagai anak-anak, menuntutnya untuk menjadi dewasa, menurut penulis, secara usia pelaku ada dalam kategori dewasa, namun secara mental belum terbentuk kematangan. Pertanyaan lain dari orangtuanya menyangkut uang investasi 400 juta yang pernah diberikan di 2021, menambah sisi tekanan pada psikologis si pelaku. Komponen komunikasi efektif keempat yaitu bahasa tubuh (body language). Bahasa tubuh dikenal juga sebagai komunikasi non-verbal meliputi postur, posisi tangan, kontak mata, ekspresi wajah, gerak-gerik. Bahasa tubuh yang konsisten dan sesuai dapat meningkatkan pengertian. Penulis meyakini, pelaku pasca mendapatkan tuntutan menghidupi keluarga dan pertanyaan yang investasi 400 juta pasti menunjukkan gerak-gerik yang menunjukkan tekanan berat pada dirinya. Salah satu kejadian yang menggambarkan hal tersebut adalah pelaku berulang kali menyajikan kopi dan teh hangat untuk keluarganya, yang biasanya dilakukan oleh ibu pelaku, termasuk pada hari dimana pembunuhan terjadi. 

Komponen komunikasi efektif yang kelima adalah gangguan/hambatan (interference) yaitu keadaan emosi dapat mengganggu terjadinya komunikasi efektif. Jika komunikator marah, kemampuan untuk mengirim pesan efektif mungkin berpengaruh negatif. Dalam kasus tersebut, korban yaitu ayah, ibu, dan kakak dari pelaku dalam kondisi sudah pensiun dan tidak bekerja, hal tersebut bisa menjadi faktor emosi yang mempengaruhi pesan tuntutan menghidupi keluarga kepada pelaku menjadi tidak efektif dan diterima dengan buruk sehingga pelaku melakukan tindakan di luar nalar. Komponen komunikasi efektif yang keenam, yaitu pikiran terbuka. Pikiran yang terbuka seperti disampaikan oleh Buhrmester, dkk (1988) berkaitan dengan kemampuan untuk membuka diri dalam hubungan, mengekspresikan perasaan, dan kemampuan untuk membuat permintaan. Ketidakterbukaan hubungan dalam keluarga tidak terjadi, komunikasi yang terjadi sebatas komunikasi biasa saja tidak terjadi secara luas dan dalam. Irwin Altman & Dalmas Taylor (1973) menyatakan bahwa komunikasi memiliki peran untuk membangun hubungan yang seluas dan sedalam mungkin. Apa yang disampaikan Irwin dan Taylor merupakan Teori Penetrasi Sosial. Komunikasi yang terjadi pada dalam keluarga tersebut menurut penulis baru berada pada lapisan personal, ini dicirikan hubungan komunikasi yang terbangun baru sebatas pada informasi terkait biografi, preferensi, tujuan dan aspirasi serta keyakinan atau religius. Sementara hubungan yang seharusnya bisa terbangun dengan baik dan menjadikan ikatan yang kuat ada pada lapisan core, ini dicirikan dengan kemampuan dan saling memahami tentang ketakutan dan fantasi yang dipegang teguh serta konsep diri, antar individu. 

Komponen komunikasi ketujuh yaitu mendengar secara aktif. Menjadi pendengar yang baik dan aktif akan meningkatkan pemahaman terhadap orang lain. Kemampuan mendengar secara aktif ini sangat penting dalam hubungan keluarga. Pada umumnya, orangtua lebih banyak menyampaikan pendapat, tuntutan, dan kemauan terhadap anaknya. Sementara anak lebih banyak mendengar dan seringkali tidak mendapatkan keberanian ataupun kesempatan untuk menyampaikan pendapat, keinginan, perasaan, ataupun masalah yang sedang dihadapi. Kasus tersebut memperlihatkan orangtua berperan dominan sebagai komunikator sementara pelaku lebih banyak menjadi pendengar, perasaan dan masalah yang tidak terungkap menjadi bom waktu yang berujung pengambilan keputusan solusi secara sendiri oleh pelaku.

Komponen komunikasi efektif yang terakhir yaitu refleksi. Memastikan bahwa kita mengerti dan memahami ucapan orang lain dengan melakukan konfirmasi, yaitu meringkas pesan utama yang disampaikan orang lain. Bisa saja, tuntutan yang diminta oleh orangtua pelaku bukanlah hal yang besar dan berat seperti dalam anggapan pelaku, namun pelaku memaknai hal tersebut menjadi sebuah tuntutan yang mengganggu emosi dan psikologisnya. 

Hal lain yang menarik untuk dikaji dari kasus pembunuhan tersebut adalah tentang teori interaksionisme simbolik yang dikemukakan oleh George Herbert Mead. Teori ini memiliki tiga konsep penting yaitu pikiran (mind), diri (self), dan masyarakat (society). Tiga konsep tersebut memiliki aspek yang berbeda namun memiliki proses umum yang sama yaitu tindakan sosial, adalah suatu unit tingkah laku lengkap yang tidak dapat dianalisis me dalam subbagian tertentu. Konsep pertama pikiran (mind), yaitu kemampuan untuk menggunakan simbol yang punya makna yang sama, bahwa setiap individu harus mengembangkan pikirannya lewat interaksi dengan individu lainnya. Konsep kedua yaitu diri (self), yaitu kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain. Dan konsep ketiga masyarakat (society) yaitu jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, serta dikonstruksikan oleh tiap individu di tengah masyarakat. Menurut Richard West & Lynn Turner dalam bukunya Introducing Communication Theory: Analysis and Application (2007) terdapat tujuh asumsi teori interaksionisme simbolik yaitu:

  1. Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka
  2. Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia
  3. Makna dimodifikasi lewat proses interpretatif
  4. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain
  5. Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku
  6. Orang serta kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial
  7. Struktur sosial dihasilkan lewat interaksi sosial.

 

Inti dari teori interaksionisme simbolik menjelaskan tentang pikiran manusia yang bisa mengartikan serta memaknai tentang benda atau kejadian yang dialami, menerangkan bagaimana asal-usulnya, serta membuat prediksi (meramalkan). Mind dan self pada dasarnya berasal dari proses interaksi (society). Adanya kesatuan antara berpikir dan bertindak, pikiran serta tentang diri, menjadi bagian dari perilaku manusia, yaitu interaksinya dengan orang lain. Interaksi tersebut membuat manusia mengenal dunia serta dirinya sendiri. 

Pada kasus tersebut, penulis menyoroti salah satu pernyataan dari tetangga pelaku bahwa orangtua pelaku senantiasa mencukupi kebutuhannya dan termasuk menganak emaskan pelaku. Pelaku juga dikenal sebagai orang yang royal atau memiliki standar hidup tinggi di tengah kondisi dirinya yang tidak memiliki pekerjaan. Menurut penulis, kondisi kehidupan pelaku yang selalu diberikan kemudahan oleh orangtuanya membentuk kepribadian yang lemah, tidak siap dengan masalah yang dihadapi, pikiran (mind) sejak dini terbiasa tidak menghadapi kesulitan, sehingga pemaknaan terhadap masalah yang datang berlebihan, panik, dan tidak mampu berpikir secara lebih luas. Bentuk-bentuk kemudahan yang diberikan oleh orangtuanya sejak kecil telah menciptakan simbol sekaligus menggantungkan diri pada simbol tersebut oleh pelaku. Sehingga kemudian ketika pelaku dituntut untuk menjadi tulang punggung keluarga dan menjelaskan investasi 400 juta (baca: masalah) yang pernah diberikan orangtuanya mempengaruhi tindakan yang dilakukan. Masa lalu yang dimanjakan didefinisikan kedalam tindakan tanpa berpikir panjang bahkan pelaku tidak menunjukkan rasa penyesalan. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh pelaku merupakan buah dari kebuntuan berpikir, mind yang terbentuk tidak utuh yang menyebabkan dirinya tidak bisa menginterpretasikan sebab dan akibat.

Hal lainnya yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana pola komunikasi yang terbangun dalam keluarga tersebut. Dalam Handbook Family Communication yang diterbitkan oleh Lawrence Erlbaum (2004), salah satu artikelnya yang berjudul Communication in Intact Families oleh Ascan F. Koerner and Mary Anne Fitzpatrick menjelaskan bahwa pola komunikasi keluarga menggambarkan kecenderungan keluarga untuk mengembangkan cara komunikasi yang stabil dan dapat diprediksi satu sama lain. Pola komunikasi keluarga bukanlah kebetulan, juga bukan merupakan tujuan akhir itu sendiri. Sebaliknya, pola komunikasi keluarga muncul dari proses dimana keluarga menciptakan dan berbagi realitas sosial mereka. Artinya, mereka terkait erat dengan fungsi sosial keluarga yang paling mendasar. Secara khusus, pola komunikasi keluarga dihasilkan dari proses koorientasi yang tanpanya interaksi manusia pada umumnya, dan komunikasi keluarga pada khususnya, tidak akan mungkin terjadi.

Terdapat beberapa pola komunikasi dalam keluarga yaitu pertama keluarga konsensual yang dicirikan oleh ketegangan antara tekanan untuk menyetujui dan mempertahankan hierarki yang ada dalam keluarga, di satu sisi, dan minat dalam komunikasi terbuka dan mengeksplorasi ide-ide baru, di sisi lain. Artinya, orang tua dalam keluarga ini sangat tertarik dengan anak-anaknya dan apa yang anak-anak katakan tetapi pada saat yang sama juga percaya bahwa mereka, sebagai orang tua, harus membuat keputusan untuk keluarga dan anak-anak. Mereka menyelesaikan ketegangan ini dengan mendengarkan anak-anak mereka dan dengan menghabiskan waktu dan energi untuk menjelaskan keputusan mereka kepada anak-anak mereka dengan harapan anak-anak mereka akan memahami alasan, keyakinan, dan nilai-nilai di balik keputusan orang tua. Anak-anak dalam keluarga ini biasanya belajar menghargai percakapan keluarga dan cenderung mengadopsi nilai dan kepercayaan orang tua mereka. Dalam keluarga ini, konflik umumnya dianggap negatif dan berbahaya bagi keluarga, tetapi karena konflik yang tidak terselesaikan dianggap berpotensi mengancam hubungan dalam keluarga, keluarga ini juga menghargai dan terlibat dalam penyelesaian konflik (Koerner & Fitzpatrick, 1997). 

Kedua, keluarga pluralistik atau majemuk yang ditandai dengan diskusi yang terbuka dan tidak terbatas yang melibatkan seluruh anggota keluarga. Orang tua dalam keluarga ini tidak merasa perlu untuk mengendalikan anak-anak mereka atau membuat semua keputusan untuk mereka. Sikap orang tua ini mengarah pada diskusi keluarga di mana pendapat dievaluasi berdasarkan manfaat argumen daripada dukungan anggota keluarga. Artinya, orang tua bersedia menerima pendapat anaknya dan membiarkan mereka berpartisipasi secara setara dalam pengambilan keputusan keluarga. Karena penekanan mereka pada pertukaran ide secara bebas dan tidak adanya tekanan terbuka untuk menyesuaikan diri atau untuk patuh, keluarga-keluarga ini secara terbuka menangani konflik mereka satu sama lain, rendah dalam menghindari konflik, terlibat dalam strategi penyelesaian konflik yang positif, dan paling sering menyelesaikan masalah mereka. konflik. Anak-anak dari keluarga ini belajar menghargai percakapan keluarga dan, pada saat yang sama, belajar mandiri dan mandiri, yang memupuk kompetensi komunikasi dan kepercayaan diri mereka pada kemampuan mereka untuk membuat keputusan sendiri. 

Ketiga, keluarga pelindung (protektif). Komunikasi dalam keluarga protektif dicirikan dengan penekanan pada kepatuhan pada otoritas orang tua dan sedikit perhatian pada masalah konseptual atau komunikasi terbuka dalam keluarga. Orang tua dalam keluarga ini percaya bahwa mereka harus membuat keputusan untuk keluarga dan anak-anak mereka, dan mereka melihat sedikit nilai dalam menjelaskan alasan mereka kepada anak-anak mereka. Konflik dalam keluarga protektif dianggap negatif karena keluarga ini sangat menekankan konformitas dan sedikit menghargai komunikasi terbuka (Koerner & Fitzpatrick, 1997). Anggota keluarga diharapkan tidak memiliki konflik satu sama lain dan berperilaku sesuai dengan kepentingan dan norma keluarga. Karena keterampilan komunikasi tidak dihargai dan tidak banyak dipraktikkan, keluarga ini seringkali tidak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk terlibat secara produktif dalam penyelesaian konflik. Anak-anak dalam keluarga protektif belajar bahwa ada sedikit nilai dalam percakapan keluarga dan ketidakpercayaan pada kemampuan pengambilan keputusan mereka sendiri.

Dan keempat, keluarga laissez-faire atau bebas/liberal. Komunikasi mereka dicirikan oleh interaksi yang sedikit dan biasanya tidak melibatkan anggota keluarga yang terbatas pada sejumlah kecil topik. Orang tua dalam keluarga laissez-faire percaya bahwa semua anggota keluarga harus dapat membuat keputusan sendiri, tetapi tidak seperti orang tua dalam keluarga majemuk, mereka memiliki sedikit minat pada keputusan anak-anak mereka, juga tidak menghargai komunikasi dengan mereka. Sebagian besar anggota keluarga laissez-faire secara emosional bercerai dari keluarga mereka. Keluarga Laissez-faire tidak terlalu menghargai kesesuaian atau komunikasi. Akibatnya,mereka tidak mengalami keluarga mereka sebagai penghambat kepentingan individu mereka dan insiden benturan kepentingan; dengan demikian, konflik jarang terjadi (Koerner & Fitzpatrick, 1997). Keluarga-keluarga ini tidak banyak terlibat dalam percakapan satu sama lain dan karena itu cenderung menghindari konflik. Anak-anak dari keluarga ini belajar bahwa ada sedikit nilai dalam percakapan keluarga dan bahwa mereka harus membuat keputusan sendiri. Namun, karena mereka tidak menerima banyak dukungan dari orang tua mereka, mereka mempertanyakan kemampuan mereka dalam mengambil keputusan. Merujuk pada teori pola komunikasi keluarga, keluarga korban dan pelaku masuk dalam kategori keluarga Laissez-faire atau keluarga bebas. 

Terakhir, penulis ingin menyampaikan bahwa kasus pembunuhan satu keluarga oleh anak bungsu merupakan bola salju atas komunikasi yang dibangun selama ini tidak efektif. Jika komunikasi dalam keluarga, yang merupakan ekosistem terkecil society tidak terbangun efektif, maka dipastikan konsep diri dalam masyarakat tidak akan berjalan dengan baik, jikapun baik itu hanyalah cangkang yang ditampakkan pada masyarakat, yang kemudian rapuh dan retak pada waktu yang tak pernah bisa diprediksi.

Ikuti tulisan menarik Erick Mubarok lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler