x

Opera sembelit Dokumentasi Teater Koma.

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Senin, 30 Januari 2023 19:19 WIB

Koalisi Harimau-harimau

Koalisi Harimau-harimau. Artikel cinta Bumi Indonesia. Kesenian, oasis hati nurani, dari banyak kreator seni seluas Indonesia Raya, kini, terus menapak kemodernan di berbagai sektor estetis, film, musik, seni rupa, seni patung, digital sistem alternatif, hingga luasnya keindahan tradisi-tradisi, negeri tercinta ini. Salam baik saudaraku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nah ini dia, konotasi, koalisi, istilah umum sebagaimana adanya ranah unsur berpolitik, konon begitu. Enggak selalu. 

Menurut hamba, koalisi-kesepakatan membangun kebaikan bersama seluas langit. Nah, itu. Menurut hamba loh. Gini deh. Hamba pinjam kalimat umum kadang-kadang mencuat di gugusan kaum pintar, semisal "Kan negara demokrasi, berpendapat baik, dilindungi undang-undang." Nah, lagi. Ya, itu saja. Sampai disitu.

Lah iyalah hai. Kalau publik berpendapat baik dalam lingkup wilayah sebuah negara dilarang undang-undang (?) Wah ... Repot deh. Bisa-bisa tak ada lagi sebutan, negara dilahirkan dari rahim publik. Hmm ... Boleh dong dehem-dehem, kan tak melanggar undang-undang, peraturan. Salaman.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

**

Terkadang pula kalau hamba sedang ngelamun di kamar mandi duduk laiknya karya sculpture Auguste Rodin-The Thinker (1904). Adegan dari patung itu di adaptasi bebas oleh, N. Riantiarno, untuk karakter peranan tokoh Warda, duduknya senantiasa seperti patung Rodin, dalam naskah drama panggung, Opera Sembelit (1998), tersirat trans-informasi filosofis, "Apa, 'kan dilakukan manusia, kemudian, setelah berpikir kritis".  Selalu sebuah pertanyaan sekaligus jawaban, sederhana, di balik tokoh dalam kisah-kisah naskah drama, N. Riantiarno, setelah para murid all-out research, ending-nya, Guru Nano, selalu memberi jawaban, sesederhana dalam tanda petik itu.

Lagi, dalam satu proses kreatif, Opera Kecoa (1985), Jungkir balik di banyak hari para murid adaptif dalam sunyi, di Taman Lawang (1985) di era Orde Baru. Lanjut keluar masuk, maaf, perkampungan kumuh sekitar Jakarta, di era itu. Ending-nya, lagi-lagi jawaban sederhana dari, Riantiarno "Meskipun, cuma kecoa-kecoa, tak boleh menyerah untuk menyatakan hakikat kebenaran." Kalimat itu,  bagai layar terkembang, di antara pelarangan pementasan Teater Koma, dalam bentuk apapun, lantas menuai badai, syarat, 'ijin khusus' untuk setiap pentas-pentas, Teater Koma, hinggga pelarangan pentas drama, Suksesi, di Taman Ismail Marzuki (1990). Kalau era sekarang udah enggak deh ... Terima kasih. 

**

Ada, WS. Rendra, pada eranya, dengan antologi, Potret Pembangunan dalam Puisi (1993).

Ada Putu Wijaya, terus menerus, mengaum, dalam naskah drama AUM (1993) estetika pikiran-pikiran filosofis cinta negeri, universal. 

Kesenian, oasis hati nurani, dari banyak kreator seni seluas Indonesia Raya, kini, terus menapak kemodernan di berbagai sektor estetis, film, musik, seni rupa, seni patung, digital sistem alternatif, hingga luasnya keindahan tradisi-tradisi, negeri tercinta ini.

Cinta, pernyataan kebenaran tulus untuk negerinya, dalam bentuk kemasan seni, ekonomi perdagangan, pengembangan wilayah, pemekaran usaha-usaha kecil-menengah, mencapai kesetaraan pendapatan daerah, semoga, hingga keperbatasan negeri terjauh. Salam baik saudaraku.

***

Jakarta Indonesiana, Januari 30, 2023.
Foto dokumentasi, Teater Koma, Opera Sembelit (1998)

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler