x

Cover buku Living Sacrifice

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 31 Januari 2023 09:30 WIB

Living Sacrifice - Kisah Hidup Prof. Dr. Dato Sri Tahir

Baru-bari ini Solo dihangatkan oleh berita groundbreaking Musium Budaya Sain dan Teknologi yang dilakukan oleh Gibran Walikota Solo dan Dato Tahir seorang filantropi yang menyumbang 600M untuk pembangunan musium ini. Siapakah Dato Sri Tahir? Buku karya Alberthiene Endah ini memberikan informasi tentang sosok miskin yang berhasil menjadi konglomerat dan peduli kepada sesama.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Living Sacrifice – Dato’ Sri Prof. Dr. Tahir

Penulis: Alberthiene Endah

Tahun Terbit: 2016

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tebal: 537

ISBN: 678-602-03-2506-4

 

 

Ada orang yang menyerah karena kemiskinan. Tapi ada juga yang justru termotivasi oleh kemiskinan untuk menjadi berhasil. Dato’ Sri Prof. Dr. Tahir (Tahir) adalah salah satu orang yang membuktikan mampu menggunakan masa kecilnya yang miskin sebagai kekuatan untuk menjadi orang yang sukses. Bukan hanya berhenti di sukses saja, Tahir justru menggunakan kekayaan yang didapatnya untuk membantu sesama.

Sharingnya tentang bagaimana Tahir mengatasi rasa minder sebagai penyakit akut orang miskin, sungguh sangat menginspirasi.

Karena reputasinya di bidang bisnis dan filantropi, berbagai tokoh memberikan sambutan dalam buku biografinya. Tak kurang dari Joko Widodo Presiden Republik Indonesia, BJ Habibie mantan Presiden RI, beberapa menteri dan tokoh militer, Ahok dan tokoh-tokoh bisnis dan cendekiawan. Kedermawanannya diakui dunia. Wajarlah jika Bill Gates, Gunilla Olsson Representatif UNICEF di Indonesia dan filantropi dunia lainnya ikut memberikan endors dalam buku ini. Bill Gates adalah mitra Tahir dalam pembiayaan untuk mengatasi polio melalui vaksinasi.

Melalui pena Alberthiene Endah, Tahir mengisahkan perjalanan hidupnya dengan renyah, jujur dan filosofis. Membaca buku ini seakan kita sedang duduk semeja dengan Tahir sambil minum kopi. Tahir menceritakan hisah hidupnya yang penuh perjuangan mengatasi perasaan minder tapi tanpa dendam dengan wajah berseri.

Tahir dilahirkan dalam keluarga sederhana di Surabaya tanggal 26 Maret 1952 dengan nama Ang Tjoen Ming. Ayahnya adalah seorang imigran. Ibunya berasal dari Solo. Keluarga Tahir hidup di gedung bekas hotel yang ditinggalkan oleh Belanda. Orangtua Tahir menyewakan becak sebagai sumber pendapatan keluarga.

Kisah kemiskinan sudah mulai dari sejak Tahir lahir. Orangtuanya tak mempunyai uang untuk mengambil bayi laki-laki yang didambakannya itu dari rumah sakit. Kisah kemiskinan Tahir tidak berhenti sampai di sini. Mamahnya pernah dilempar batu oleh penyewa becak saat menagih uang sewa sampai berdarah-darah. Sebagai anak keluarga miskin, Tahir sudah harus membantu bekerja orangtuanya. Salah satu pekerjaan Tahir waktu masih sekolah adalah menambal ban becak yang bocor. Hidup miskin memang penuh dengan kekerasan.

Meski hidup dalam kemiskinan, namun Tahir dibesarkan oleh kedua orangtua yang penuh kasih, disiplin dan memberi nasihat-nasihat yang berguna bagi kehidupannya saat dewasa. Orangtuanya juga sangat mendorong Tahir untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tahir kuliah di Nanyang University di Singapura. Tahir bisa sekolah di luar negeri karena mamahnya telah berhasil menjadi seorang pedagang permata. Usaha gigih sang mamah untuk mengubah kemiskinan telah berhasil membawa perbaikan ekonomi keluarga Tahir. Kerja keras dan bisa dipercaya menjadi modal sang mamah untuk beralih dari seorang yang menyewakan becak menjadi pedagang permata. Sang mamah juga selalu menasihati Tahir untuk terus bekerja keras dan bisa dipercaya. Dua kunci tersebut adalah modal terbesar dalam membangun bisnis. Nasihat lain dari orangtuanya adalah supaya ia mencintai dan bertanggungjawab terhadap keluarga.

Tahir dibimbing langsung oleh mamahnya dalam memulai bisnis. Tahir sering diajak belanja barang-barang dagangan. Mula-mula di Surabaya, di Jakarta kemudian di Singapura dan Hongkong. Pengalaman langsung dalam berbelanja dagangan dan menjualnya sangat berpengaruh dalam upayanya membangun bisnisnya.

Perjalanan bisnis Tahir tidaklah mudah. Ia memulai bisnis dengan modal seadanya. Ia tekun menggeluti jual beli berbagai barang dagangan, termasuk berkualan kue bulan. Meski ia adalah menantu dari seorang Taipan tersohor, namun ia tidak memanfaatkan posisinya. Ia mengakui bahwa posisinya sebagai menantu seorang taipan terkenal membuatnya mudah berhubungan dengan berbagai kolega. Namun ia tidak pernah memanfaatkan posisinya tersebut untuk keuntungan bisnis.

Tahir mengalami dua kali kegagalan dalam membangun bisnis. Pertama adalah pada tahun 1978. Saat itu Tahir sedang berjaya karena menjadi agen alat-alat dapur merk Duralex asal Perancis. Melihat bahwa penjualannya mengalami booming, ia bernegosiasi dengan Duralex supaya bisa memproduksi produk-produk tersebut di Indonesia. Sayang sekali. Saat Tahir sedang di Perancis melakukan negosiasi, terjadilah devaluasi yang membuat nilai aset Tahir menyusut drastis dan hutangnya (dalam valuta asing) menjadi menggembung. Bisnis Tahir kolaps!

Ia memulai bisnisnya lagi dengan uang hutang dari sang mertua. Hutang yang harus dibayar. Bukan uang bantuan. Bisnisnya kembali berjaya saat ia menjadi dealer mobil merk Suzuki yang diimpor oleh Anthoni Salim. Namun secara tiba-tiba pada tahun 1989 Anthoni Salim memutuskan untuk menghapus semua dealer Suzuki. Penutupan yang tiba-tiba ini membuat bisnis Tahir kembali kolaps. Kebangkrutan kali ini membuat ia harus menjadi karyawan di perusahaan garmen sang mertua.

Melalui sebuah keberuntungan, Tahir berhasil mengekspor tekstil ke Amerika memanfaatkan kuota yang dimiliki oleh Departemen Perdagangan. Keberhasilan ini membuatnya memulai bisnis di bidang tekstil dan berhasil membayar semua hutangnya di tahun 1992.

Memanfaatkan Deregulasi Perbankan dan Keuangan (PAKTO 1988), Tahir mulai bergelut di bidang perbankan. Ia mendirikan Bank Mayapada. Ia menolak tawaran sang mertua yang ingin ikut menanam saham di Mayapada. Padahal sang mertua adalah seorang maestro dalam perbankan. Dengan pengelolaan yang hati-hati dan tidak terlalu ekspansif, Bank Mayapada berkembang menjadi salah satu bank besar yang sehat di Indonesia.

Tahir bukanlah seorang yang ingin menumpuk harta. Keberhasilannya sebagai konglomerat tidak kemudian menjadi binatang ekonomi. Semakin kaya, Tahir semakin peduli kepada bidang sosial. Ia bekerjasama dengan Bill Gates dan filantropi lainnya dalam penanggulangan masalah polio. Tahir menyumbang 25juta USD untuk penanggulangan masalah polio.

Dalam buku ini Tahir menceritakan secara jujur bagaimana rasanya menjadi seorang menantu taipan tersohor. Saat ia masih kuliah di Nanyang, ia dijodohkan dengan Rasy Riyadi, anak dari Mochtar Riyadi. Tahir sangat memuji sang istri sebagai perempuan hebat. Bagi Tahir, Rosy adalah anugerah terbesar dalam hidupnya. Sebagai seorang anak konglomerat, Rosy sangat rendah hati dan penuh pelayanan kepada keluarga Tahir yang level ekonominya jauh di bawah. Rosy tidak pernah menuntuk gaya hidup seperti yang didapatnya saat masih lajang.

Tahir sangat menghormati Mochtar Riyadi sebagai mertua. Bagi Tahir Mochtar adalah seorang penasihat yang baik dalam bisnis. Mochtar Riyadi sering mengajak Tahir untuk berdiskusi, namun tidak membantu begitu saja saat Tahir mengalami kesulitan dalam bisnisnya.

Sedangkan tentang hubungan dengan keluarga Mochtar Riyadi, Tahir mengakui bahwa hubungannya dingin. Terutama hubungan Tahir dengan anak-anak Mochtar Riyadi. Tahir menyatakan bahwa hubungan yang dingin tersebut disebabkan karena dua budaya dan cara hidup yang berbeda antara keluarga Mochtar dan keluarganya. 732

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler