x

Aktivitas pekerja di Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang, Bandung, 18 Oktober 2017. TEMPO/Amston Probel

Iklan

Geovanny Calvin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Desember 2021

Senin, 27 Februari 2023 13:09 WIB

Melawan Mitos Geothermal di Desa Dadawea, Ngada, NTT

Mitos tentang geothermal sebagai ‘mesias ekonomi’ yang ekologis semakin memperoleh pembenaran. Kepentingan kapitalis pun bagai berlari di jalan bebas hambatan. Proyek geotermal tidak bisa menjadi jawaban ekonomi terhadap semua konteks masyarakat. Juga bagi masyarakat Desa Dadawea, Kabupaten Ngada, NTT, yang melihat tanah dan alam bukan sekedar sebagai komoditas ekonomi melainkan warisan ilahi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Untuk memuluskan rancangannya, proyek tambang geotermal memanfaatkan mitos pembangunan. Di sebuah kampung sejuk bernama Desa Dadawea, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, NTT, mitos semacam itu hidup di sekitar pusat instalasi geothermal.

Proyek tambang berbasis geothermal di Desa Dadawea berikhtiar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat atas pasokan listrik. Untuk alasan itu, sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) didirikan di atas lahan warga setempat.

Namun, di samping jaringan lampu listrik yang mulai berpendar di rumah-rumah warga sebagai kontribusi positifnya, keberadaan proyek geothermal ini juga melahirkan beberapa masalah pelik yang turut ‘memadamkan’ kebebasan dan rasionalitas masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mitos

Pada dasarnya, proyek geothermal dibangun di atas narasi kelestarian alam yang membedakannya dari pertambangan jenis lain. Geothermal menggunakan sumber energi terbarukan sebagai sumber dayanya, yakni panas bumi. Karena potensi panas bumi yang besar di bawah tanah, lokasi PLTPB yang bertempat tidak jauh dari kampung Dadawea menjadi titik potensial bagi mega proyek tersebut.

Sistem geothermal kini mulai menjadi solusi industri pertambangan yang berprinsip zero-carbon. Ia kian menggeser pola pertambangan batu bara yang menghasilkan jauh lebih banyak emisi karbon (Okafor, 2022). Ia disinyalir menjadi solusi yang tepat untuk memenuhi dua tuntutan masyarakat Dadawea: menyediakan energi dan pasokan listrik bagi warga dan tetap bersahabat dengan alam sekitar.

Namun, apakah benar proyek geothermal memililki catatan putih tak bernoda sepanjang sejarah? Benarkah semua kebaikan pembangunan hanyalah mitos yang sengaja dibuat untuk memanipulasi pikiran rakyat?

Antagonis

Ada harga tinggi yang perlu dibayar oleh masyarakat dengan meyakini mitos-mitos di balik ambisi kapitalis pertambangan. Kerusakan lingkungan, pencemaran atmosfer, konflik horizontal antar masyarakat, tercabutnya nilai kebijaksanaan kultural lokal, melemahya kesatuan sosial hingga hilangnya lahan-lahan produktif warga merupakan ganjaran yang diperoleh masyarakat sebagai ganti proyek tambang.

Berhadapan dengan delusi pembangunan yang sempit, masyarakat perlu menjadi tokoh antagonis untuk melawan sistem eskploitatif dan opresif tersebut. Daya antagonis, yang dibaca secara lain sebagai daya kritis ini, dituntun untuk menggoncang pilar-pilar kepercayaan irasional kolektif terhadap mitos hasil konstruksi para penguasa. Sikap antagonis ini juga perlu ditunjukkan dalam konteks mega-proyek geothermal di Desa Dadawea.

Dalam konteks ini, kritik atas mitos pembangunan akan dijangkarkan pada program studi banding yang pernah diajukan oleh pihak proyek geothermal.

Beberapa waktu lalu pihak PLN, yang memotori tambang geothermal di Dadawea, mengutus masyarakat untuk melakukan studi banding. Tokoh masyarakat, perwakilan orang muda, tokoh adat dan pejabat desa diundang untuk menyaksikan secara langsung mekanisme operasional geotermal di beberapa tempat di Jawa yang dianggap ‘sukses’. Narasi tentang segala kebaikan dan keuntungan geotermal ditampilkan secara gegap gempita. Persepsi masyarakat digiring untuk meyakini keberadaan kontributif perusahaan tersebut.

Persepsi tunggal tersebut menciptakan kondisi masyarakat satu dimensi (one-dimensional man) menurut kacamata Herbert Marcuse (Marcuse, 2016). Masyarakat demikian memiliki pengetahuan yang timpang dan tidak lengkap tentang realitas. Persepsi mereka hanya mencakup satu dimensi, yakni mitos kebaikan geothermal. Ketimpangan semacam ini membuat mereka mudah ditundukkan oleh kepentingan kapitalis dan sistem yang eksplotitatif.

Yang disembunyikan dari studi banding tersebut adalah perihal narasi tentang fakta-fakta kerugian dan kegagalan geothermal. Di cukup banyak wilayah, proyek geothermal juga menunjukkan sisi demoniknya dengan cara merusak alam, mengganggu kediaman warga, meracuni sumber air setempat hingga menyebabkan beberapa bencana alam. Fakta paling aktual adalah kebocoran lumpur panas di instalasi PLTP Mataloko di tahun 2002 yang merusak ekosistem setempat (Prabowo, 2022).

Narasi-narasi ini tidak disajikan di hadapan para utusan studi banding dan masyarakat luas. Informasi yang disantap oleh rakyat terlanjur mengandung ketimpangan. Masyarakat tidak diedukasi untuk mempertimbangkan aspek resiko destruktif dari proyek geothermal.

Studi banding terkesan menjadi istrumen operator proyek yang mengarahkan pilihan dan persetujuan masyarakat. Seruan-seruan kritis menjadi tidak lagi relevan dan kematian demokrasi (Jebadu, 2009) semakin terlihat jelas di ambang mata. Dengan demikian, mitos tentang geothermal sebagai ‘mesias ekonomi’ yang ekologis semakin memperoleh pembenaran dan kepentingan kapitalis berlari di jalan bebas hambatan.

Mempertanyakan Mitos Pembangunan

Mitos semacam ini menyembunyikan kebenaran lain yang tidak dinarasikan oleh para operator dan penggagas proyek geothermal. Di cukup banyak tempat, rencana pembangunan instalasi geothermal mendapat oposisi yang kuat dari masyarakat setempat. Sikap resisten dari masyarakat didasarkan atas dampak destruktif terhadap lingkungan di sekitar tambang.

Cerita-cerita tentang bencana alam dan kekacauan sosial yang diakibatkan dari sebuah proyek tambang geothermal perlu disajikan untuk melihat kebenaran dari perspektif yang berbeda. Barangkali, kebenaran bersembunyi atau sengaja disembunyikan dalam narasi korban-korban mitos pembangunan.

Gempa minor berkekuatan 3,4 skala Richter pernah terjadi akibat proyek geothermal Basel di Swiss (Gabbatt, 2009). Sementara itu, di lapangan geothermal Wairakei, Selandia Baru, fenomena tanah ambles berlangsung dengan mencemaskan. Senyawa residu dari geothermal bisa meracuni sumber air masyarakat sebagaimana terjadi di Balcova, Turki.

Rentetan efek samping dari geothermal ini terjadi pula di Indonesia. Tercatat dalam sejarah, dua kasus besar kebocoran lumpur panas akibat proyek geothermal sempat merugikan negara dan masyarakat setempat sebesar tiriliunan rupiah. Kasus lumpur Lapindo terjadi pada 25 Agustus 2006 dan tiga tahun kemudian, tepatnya 17 Januari 2009, disusul oleh bencana kebocoran lumpur panas di Mataloko, Kabupaten Ngada.

Namun, tetap saja, bencana sejelas itu tidak menghentikan pembangunan proyek geothermal di desa Dadawea. Pemerintah lokal bersikap atau-atau terhadapnya; atau buta terhadap kenyataan tersebut, atau pura-pura mengidap amnesia historis. Ambiguitas politis ini adalah sumber dari segala akar ketimpangan pembangunan.

Rangkaian fakta kegagalan proyek geothermal seharusnya mendorong kita untuk mulai mempertanyakan mitos pembangunan. Mitos tentang sumber energi terbarukan, penyedia lapangan pekerjaan, pembangunan ekonomi ramah lingkungan hingga kesejahteraan sosial yang selalu dilontarkan oleh proyek geothermal perlu dikritisi dan dikontekstualisasikan dengan kebutuhan dan situasi sosial masyarakat Dadawea.

Bersikap antalogis berarti melawan persepsi yang dibangun oleh kekuasaan, termasuk melawan narasi-narasi mitologis yang mereka bawakan. Pembangunan yang demokratis selalu disadarkan pada rasionalitas kolektif masyarakat. Berhadapan dengan model pembangunan yang demonik, masyarakat diharapkan untuk tidak tenggelam pada sentimentalitas sempit sebagaimana mitos tentang geothermal selalu diromantisir.

Zaman renaissance perlu sekali lagi dialami oleh masyarakat Dadawea.

 

 

Ikuti tulisan menarik Geovanny Calvin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler