x

Ilustrasi kegiatan bersepeda. Foto: Tulus Wijanarko

Iklan

tuluswijanarko

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 11 Maret 2023 08:57 WIB

Romantika dalam Kayuhan Sepeda Kita

Bisa menikmati semua ini bersamamu, memercikan kebahagiaan melimpah. Aku memutuskan tak menahan diriku ketika tiba-tiba saja ingin mengecup pipimu yang merona segar, saat itu, di pinggir tegalan penduduk kampung. Engkau sedikit terkejut. Engkau tersenyum. Lalu seluruh gerak alam kurasakan berhenti serentak. Daunan bambu terpukau. Bayangan pepohonan terpana. Serangga yang tadi begitu riuh terkesima. Hening. Dan ketika pause itu usai, kita meraih sepeda dan alam pun berdenyut kembali.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Libur akhir pekan yang panjang, dan kita sudah tahu betapa banyak cara untuk melewatinya. Kemarin sore kita melihat ribuan kendaraan menuju arah luar kota. Mereka adalah lapisan khalayak yang memiliki kalkulasi bahwa sebuah ekstra-pakansi layak dilunaskan dengan menikmati suasana baru di tempat lain. Dari atas jembatan penyebarangan, kita mebayangkan puluhan --mungkin ratusan-- ribu jiwa didalam kendaraan itu tengah harap-harap cemas memburu sepercik jeda di luar kota.

Ada banyak cara melewatkan akhir pekan. Dan pagi ini kita memilih mengeluarkan sepeda gunung dari kandangnya. Matahari bersinar penuh. Ini tidak seperti dua hari terakhir, ketika langit selalu gelap, dan hujan tumpah ruah tak tertahan. Genangan air sisa hujan pun masih terlihat di jalanan.

Aku melu yo, mas,” pintamu tadi saat melihat aku menyiapkan sepeda. Dalam hati sempat terbersit keraguan. Juga sedikit keberatan. Dua hari berturut-turut dihempas hujan, aku yakin trek yang akan kita lalui lumayan berat. Jalan tanah siap menyajikan adonan lumpur, dan tak mudah dilintasi. Lagipula, kapankah terakhir engkau bersepeda, istriku--jangan-jangan perjalanan nanti terasa seperti siksaan belaka bagimu?

Tetapi sorot matamu berbicara banyak. Cukup banyak. Aku menatapmu. Dan, seperti biasa, dialog tanpa suara seperti ini acap memberi lebih banyak pengertian ketimbang komunikasi formal boros kata-kata. Dan, hm, perasaan bergetar yang lalu muncul di selanya, selalu mampu menjungkalkan perhitungan-perhitungan teknis macam apa pun.

Jalanan penuh lumpur? Ayolah, kita hadapi berdua!

Tetapi kita tahu, selalu ada awal mula. Hitungan senantiasa bermula dari angka 1. Pencapaian mustahil datang secara instan. Dan, perjalanan selalu berangkat dari hal-hal sederhana. Seperti kali ini ketika kita mulai dari lintasan beraspal sesaat keluar dari komplek.

Tetapi bahkan di rute pembuka ini pun kita sudah merasakan distansi--sebuah jarak. Angin pagi yang menerpa langsung mukamu, cahaya matahari mengusap kulit, tegur sapa orang-orang yang kita kenal, cipratan air dari genangan pinggir jalan, dan seluruh renik kehidupan wajar yang kita jumpai, semuanya menciptakan perbedaan dari rutinitas hari-hari sebelumnya.

Di jalanan aspal, yang hampir tiap hari kita lalui pula, hari ini seperti tersuguhkan kehidupan yang berbeda. Padahal tak ada yang berubah. Barangkali, ketika saat melaju di atas Scott dan Wim Cycle ini, waktu telah menjadi milik kita sepenuhnya--dan bukan sebaliknya. Maka kini seluruh pancaindera kita mampu mencecap dan menafsir denyut kehidupan itu dengan jernih. Dengan keriangan yang menakjubkan.

Sejurus kemudian aku sadar. Keriangan yang menyedot perasaan ini juga muncul karena kita menikmatinya bersama-sama. Berdua saja. Aku melirikmu. Dan kurasakan dadaku tiba-tiba bergemuruh, sama seperti ketika pertama kali dulu kuucapkan: Aku cinta padamu.

Lalu selebihnya menjadi menarik. Tanjakan-tanjakan dan turunan landai. Tikungan-tikungan moderat. Kampung-kampung yang tenang. Dan, engkau sedikit-sedikit mulai mengerti memindah gigi (gir) yang tepat untuk medan yang beragam. “Pindah ke gigi terendah, dik, sebentar lagi nanjak,” kataku sekali waktu. “Mainkan di gigi dua saat jalan mendatar, atau tiga jika memang kuat.”

Oh, bukankah ini sejatinya permainan ritme dan tempo, yang bisa kita temui pula di segi kehidupan apa pun? Semacam sebuah pengaturan respon agar hidup tak tergelincir ke jurang atau lembah?

Hal yang kita temui pula saat menjalani rumah-tangga sederhana ini. Hm, menarik. Kita pernah mencoba cepat saat kesegeraan dibutuhkan. Tetapi pernah pula memutuskan rileks saat keputusan butuh kematangan. Dan, sejauh ini kita bisa melewati semuanya berdua. Kita menyadari di depan lintasan masih panjang. Kita masih akan terus mengatur tempo dan irama kehidupan.

Serombongan pesepeda bersimpangan dengan kita. Setelah saling uluk salam, kita segera menapaki rute berbeda. Didepan membujur singletrack, jalan setapak selebar 1 meter diapit semak rapat. Aku tahu, jalan ini akan disambung dengan pematang sawah yang menghubungkan kampung seberang. Setelah itu kita akan menyusuri jalan setapak lagi, persis sepanjang pepinggiran sawah.

Rehatlah sejenak dan mari kita atur nafas. Kulihat titik-titik keringat menyembul di dahimu. Tetapi engkau cerah sekali. Pipimu sedikit merona oleh aliran darah yang semakin lancar. Wajahmu begitu segar.

Aku terpesona.

Cahaya matahari sepenggalah melukiskan bayangan kita pada alang-alang dan pagar bambu. Sketsa kita hari ini. Dan, kau rasakan juga kah suara serangga dan gerak daunan perdu karena hembusan angin itu telah membentuk orkestra alam yang tak tepermanai? Betapa syukur tak habis-habis karena pesona semacam ini bisa kita nikmati dengan leluasa. Gratis.

Bahwa setelah ini laju sepeda kita tersendat-sendat, tak ada keluhan. Tanah merah bekas hujan, menempel ketat di roda. Dan setelah beberapa meter, lumpur membuat roda sepeda seperti kue donat raksasa berwarna merah. Kita harus berhenti beberapa kali mebersihkan lapisan lumpur tebal itu.

Di tengah sawah sempat kita bersihkan lumpur donat pada sebuah kali kecil. Kita pun tertawa-tertawa kecil. Aku sedikit heran. Biasanya saat-saat seperti ini ada banyak ibu-ibu petani sibuk menyiangi sawah. Mereka selalu kutemui setiap melintasi jalur ini bersama kawan-kawan se-klub setiap pekan.

Tetapi pagi ini tidak. Di bentangan sawah saat ini hanya ada engkau dan aku. Maka, alam seperti mempersilakan kita untuk larut berdua saja dalam pesona sawah menghampar luas ini.

Sempat terbersit menggodamu mencipratkan air kali ini. Tetapi, ah, itu seperti adegan standar film-film remaja tahun 80-an--yang diam-diam sekarang aku pengin menontonnya lagi. Ahai!

“Kapankah terakhir kita bersentuhan dengan Lumpur?” ternyata itu yang keluar dari mulutku ketimbang mencipratkan air kali. Ya, kapan terakhir kita mencelupkan kaki ke kali, menyentuh daun singkong dengan kulit tangan kita, mendengar derit bambu yang dalam dongeng kancil disebut sebagai seruling Nabi Sulaiman itu, duduk di rerumputan basah, menera-nera mega di langit, atau menyusuri pematang sawah dan tegalan?

Kapan terakhir kali kita larut dalam alam yang demikian menakjubkan ini?

Seluruh kesadaran macam itu menimbulkan perasaan bahagia. Kesempatan yang masih diberikan Sang Khaliq untuk bisa merasakan hal-hal sederhana ini telah menciptakan rasa tenteram tak terkira. Dan bisa menikmati semua ini bersamamu, memercikan kebahagiaan yang melimpah. Maka, aku memutuskan tak menahan diriku ketika tiba-tiba saja ingin mengecup pipimu yang merona segar, saat itu, di pinggir tegalan penduduk kampung, ketika untuk kesekian kali kita berhenti membersihkan roda sepeda. Engkau sedikit terkejut. Engkau tersenyum.

Hanya sepersekian detik peristiwa itu. Tetapi seluruh gerak alam kurasakan bagai berhenti serentak (dan sejenak). Ini seperti semacam pause pada sebuah video. Daunan bambu terpukau. Bayangan pepohonan terpana. Serangga yang tadi begitu riuh terkesima. Hening. Tak ada apa-apa. Tak ada siapa-siapa. Sebuah kebahagiaan yang bersahaja, tetapi begitu sempurna. Mengalir pelahan.

Dan ketika pause di dalam hatiku usai, kita meraih sepeda kembali. Alam kembali berdenyut. Tata surya kembali berputar. Dan, kita siap menghadapi kenyataan-kenyataan-—tanpa keluhan.

Engkau tahu, ketika sampai kembali di rumah, kita hanya menempuh perjalanan 11 kilometer. Tetapi ini adalah perjalanan yang akan abadi dibanding petualangan-petualangan lain yang pernah (dan akan) terjadi.

Hujan akan kembali turun. Matahari tak akan pernah usai mengirim cahayanya. Trek yang kita lalui suatu saat mungkin akan berubah, karena kuasa modal. Tetapi jejak kita tak akan pernah musnah di sana. Kalau pun tidak lagi terasakan pada ladang, semak, atau cuaca; akan tergurat kuat di hati kita.

 

Ikuti tulisan menarik tuluswijanarko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler