x

sumber pixabay.com

Iklan

Apri Damai Sagita Krissandi

Universitas Sanata Dharma
Bergabung Sejak: 22 Februari 2023

Minggu, 12 Maret 2023 12:25 WIB

Antara Kita dan Barat, Beda Server

Kita tak perlu kawatir dengan gempuran paradigma barat pada timur. Kita cukup mengatakan, “Maaf kita beda server." Kita memiliki pendidikan logika dan rasa. Mereka tidak. Uniknya, konsep panopticon arwah penjaga norma ditiru oleh barat dengan hadirnya CCTV.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam orientalisme, pandangan dunia barat kepada dunia timur, sering tidak nyambung. Orang timur (biasanya merujuk ke bangsa Asia) sering dianggap nonsense, tak berlogika lurus. Sebagai orang timur, saya tidak tersinggung. Justru esensi paradigma yang berbeda itu adalah sebuah cara pandang yang berbeda merespon semesta ini. Semesta ini penuh misteri. Manusia menemukan potongan-potongan kecil dan dijalin menjadi pengetahuan.

Peradaban barat mempertanyakan misteri itu dan dibuktikan dengan empiris. Peradaban timur memilih untuk menikmati misteri itu dan menjadikannya bagian dari laku hidup. Sayangnya, dunia berkembang dengan paradigma logis yang berusaha menjelaskan segala hal yang dapat diterima indera, atau disebut empiris. Fenomena rasa batin, yang kerap dimaknai mendalam oleh orang timur menjadi nonsense dalam peradaban modern.

Dalam menjaga norma, masyarakat adat percaya adanya "arwah leluhur" atau lebih abstrak lagi “karma” merujuk pada kepercayaan bahwa roh atau arwah para leluhur memiliki peran penting dalam menjaga norma dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat. Dalam kepercayaan ini, arwah leluhur dipandang sebagai penjaga yang mengawasi perilaku baik dan menyimpang. Perilaku menyimpang akan ditulah oleh alam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Konsep ini banyak ditemukan dalam berbagai budaya, seperti dalam budaya Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Para leluhur dianggap memiliki pengaruh yang kuat pada kehidupan manusia dan mereka sering dipuja atau diberi persembahan sebagai bentuk penghormatan.

Secara umum, kepercayaan dalam arwah leluhur penjaga norma mencerminkan pentingnya menghormati dan mempertahankan adat, norma, dan tradisi yang sudah ada dalam masyarakat, serta menghargai peran yang dimainkan oleh generasi sebelumnya dalam membentuk identitas dan budaya suatu bangsa.

Dahulu, di Jawa misalnya, orang yang buang air kecil sembarangan merasa diawasi oleh “sesuatu” yang tak nampak. Akhirnya batal atau minimal izin kepada roh penunggu. Arwah penjaga norma ini seolah mengawasi perilaku masyarakat. Terciptalah sebuah tatanan komunitas yang harmonis.

Deasa ini, perasaan itu kita dapatkan saat menemui CCTV. Kita tak tahu apakah CCTV berfungsi atau tidak, tetapi seolah-olah kita diawasi. Dampak perasaan ini disebut panopticon. Panopticon sebetulnya adalah sebuah konsep arsitektur penjara yang diusulkan oleh filsuf Jeremy Bentham pada akhir abad ke-18. Konsep ini merancang penjara dengan mempertimbangkan sebuah menara pengawas yang ditempatkan di tengah-tengah, menghadap seluruh kamar tahanan. Menara ini dilengkapi dengan jendela kaca cermin yang memungkinkan pengawas untuk memantau setiap tahanan, tetapi tahanan tidak dapat melihat pengawas.

Tujuan dari konsep Panopticon adalah untuk memaksa tahanan untuk selalu merasa terawasi dan membatasi perilaku mereka. Bentham menganggap bahwa konsep ini akan memberikan kendali yang lebih efektif pada tahanan, memperbaiki perilaku mereka, dan mengurangi biaya penjara. Konsep ini telah mempengaruhi sistem penjara modern dan menjadi model bagi banyak lembaga pemasyarakatan dan pemasyarakatan. Namun, ada juga kritik terhadap Panopticon karena dianggap sebagai bentuk pengawasan yang terlalu kuat dan mengancam privasi dan kebebasan individu.

Masyarakat modern meniru konsep panopticon yang dikawal oleh “arwah” menjadi “CCTV”. Ternyata mengendalikan perilaku masyarakat butuh “hantu” pengawas. Saat ini hantu pengawasnya adalah CCTV. Melihat fenomena itu, saya menjadi bangga sebagai masyarakat timur yang menjaga adat. Masyarakat timur yang masih mempercayai tradisi, ada atau tidak ada CCTV, dia terikat oleh “arwah penjaga norma”. Perilakunya lebih kalem dan pengawasannya bukan di atas, tapi sebetulnya ada di dalam sanubari, tertanam kuat. Kontrol masyarakat adat lebih hemat, tidak perlu install CCTV yang mahal, cukup lewat dongeng lisan.

Kita tak perlu kawatir dengan gempuran paradigma barat pada timur tersebut. Kita cukup mengatakan, “Maaf kita beda server, pendidikan kami adalah nilai rasa, logika ada pada layer kedua”. Tak perlu malu-malu, justru mereka akan penasaran. Toh, konsep panopticon arwah juga ditiru dengan CCTV. Bukan untuk memenjarakan dan tidak merdeka, tetapi basis masyarakat kita adalah keharmonisan komunal, bukan individual. Orang Amerika mungkin pusing, kenapa orang-orangnya sangat egois, individual. Bangsa kita, di desa-desa, membangun rumah saja masih gotong-royong dan kerja bakti. Kalau disuruh memilih, saya lebih memilih berkerabat daripada lonely wolf.

Kita perlu bangga dengan pendidikan rasa. Pendidikan rasa adalah pendidikan yang fokus pada pengembangan emosi dan nilai-nilai moral pada individu. Pendidikan rasa mengajarkan individu untuk merasakan dan memahami emosi mereka sendiri, serta emosi orang lain di sekitar mereka. Tujuan dari pendidikan rasa adalah untuk membentuk individu yang lebih peka, peduli, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan di sekitar mereka.

Di sisi lain, pendidikan logika adalah pendidikan yang fokus pada pengembangan pemikiran rasional dan analitis pada individu. Pendidikan logika mengajarkan individu untuk menggunakan logika dan pemikiran kritis dalam memecahkan masalah dan mengevaluasi informasi. Kita berpeluang memiliki dua paradigma rasa dan logika sejak dalam kandungan. Orang-orang barat hanya memiliki satu paradigma logika saja. Pilih mana?

 

Ikuti tulisan menarik Apri Damai Sagita Krissandi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler