x

Iklan

Dhien Favian

Mahasiswa Sosial-Politik
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Senin, 13 Maret 2023 12:58 WIB

Gelar Honoris Causa hanya Jalan Pintas Menuju Lima Besar?

Sikap para dosen UGM menolak penganugerahan gelar professor kehormatan kepada Gubernur BI Perry Wijoyo bisa menjadi gambaran bagaimana perguruan tinggi seharusnya bersikap. Individu yang tak jelas rekam jejaknya dalam dunia akademik, mestinya tak dianugerahi gelar akademik. Namun UB malah sudah menganugerahkan honoris causa tiga kali berturut-turut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tepat pada tanggal 3 Maret 2023 lalu, berita pendidikan nasional kembali dikejutkan dengan pemberian gelar honoris causa kepada Erick Thohir danoleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya. Erick dinilai memberi kontribusibesar terhadap pengembangan ekonomi Indonesia, khususnya dalam tata kelola Badan Usaha Milik Negara.

Pengukuhan gelar doktor honoris causa kepada Erick Thohir memang sudah terhembus di mata publik sejak poster pengukuhan gelar kepada Erick beredar di media sosial. Lalu poster itu diganti dengan poster “BUMN goes to campus”. Tapi tetap saja penggantian poster tersebut tidak bisa menyembunyikan intensi pengukuhan ini.

Pemberian gelar honoris causa oleh UB memang bukan pertama kali terjadi. UB bahkan mencetak rekor dengan memberikannya secara berturut-turut sejak Juli 2022 mulai dari Siti Nurbaya selaku Menteri LHK, Surya Paloh selaku Ketua Umum Nasdem, dan yang baru ialah Erick Thohir selaku Menteri BUMN. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemberian gelar ini praktis membuat UB layak menerima sematan hattrick dalam menganugerahi honoris causa kepada pejabat publik. Rekor ini harusnya tidak boleh dirayakan untuk kampus sebesar UB. Manuver hattrick UB menjadi hipokrisi terhadap kewajiban perguruan tinggi yang seharusnya memberikan gelar atas dasar proses pendidikan yang dilalui seseorang. Pemberian gelar honoris causa kepada Erick itu melunturkan integritas akademik yang menjadi tanggung jawab setiap perguruan tinggi.

Keputusan sebagian dosen UGM menolak penganugerahan gelar professor kehormatan kepada Gubernur BI Perry Wijoyo seharusnya menjadi gambaran bagaimana sikap perguruan tinggi terhadap sosok yang tidak jelas rekam jejaknya dalam dunia akademik. Nyatanya, UB malah sudah tiga kali menganugerahkan honoris causa kepada para tokoh. Tindakan ini hanya akan menimbulkan kerawanan bahwa perguruan tinggi dapat memberikan gelar honoris causa secara cuma-cuma. 

Pemberian honoris causa kepada Erick tidak bisa lepas dari kepentingan yang dibawa oleh kedua pihak, di mana ada tiga poin utama yang dapat menjelaskan bagaimana kepentingan politik kembali diartikulasikan melalui pemberian gelar ini. Pertama ialah kepentingan politis menjelang Pemilu 2024, di mana Erick sudah menjadi politisi independen sejak menjadi Menteri BUMN dan Erick dikenal lebih mumpuni dalam urusan jabatan publik kendati. Tidak hanya performa Erick yang dinilai positif di mata publik, sebagai tokoh yang masuk radar elektabilitas lembaga survei untuk pemilu mendatang, Erick tentu akan memanfaatkan segala sumber daya yang diperlukan untuk masuk bursa cawapres dan diraihnya gelar honoris causa tentu akan mendongkrak popularitasnya kepada masyarakat oleh karena honoris causa masih dipandang sebagai gelar yang terhormat bagi penerimanya.

Kedua ialah kepentingan dari pemberi gelar – dalam hal ini UB – untuk meningkatkan posisinya menuju Ivy League (posisi elite) perguruan tinggi skala nasional, di mana UB saat ini masih bersaing ketat dengan Universitas Airlangga untuk berada pada posisi lima besar dan persaingan ini selalu menjadi hal yang dibanggakan masing-masing kampus apabila mampu bertahan dalam posisi lima besar. Persaingan untuk menjadi lima besar pasti membutuhkan usaha yang besar bagi untuk mempertahankan kualitas penyelenggaran pendidikan dari satu universitas dan dengan semakin mudahnya perubahan status universitas menjadi Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum (PTN-BH), maka pembangunan infrastruktur menjadi upaya yang paling kentara untuk menaikkan posisinya. Namun demikian, pada kasus UB sendiri, sebenarnya ada tiga kepentingan yang dibawa oleh UB dalam memberikan honoris causa kepada Erick Thohir dan ada beberapa alasan mengapa pemberian honoris causa ini tidak lepas dari ambisi UB untuk menjadi kampus top di Indonesia. 

Kepentingan pertama ialah transaksi politik antara kampus dengan pemerintah, di mana pemberian honoris causa kepada pejabat publik pasti melibatkan negosiasi antara kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan kedepannya. Menteri yang diberi gelar honoris causa akan merasa “diakui” kompetensinya dan sebagai balas jasa atas gelar tersebut, maka seorang pejabat dapat menyetujui pemberian dana hibah yang besar kepada pihak pertama (universitas) untuk melancarkan proyek yang dijalankan oleh pihak pertama, seperti dana riset, dana pembangunan gedung, dan lain sebagainya. Kepentingan kedua ialah penerimaan alumni kampus ke instansi pemerintahan, di mana salah satu indikator utama keberhasilan perguruan tinggi ialah kesuksesan alumninya dalam dunia karier, namun dengan kompetisi dunia kerja yang semakin ketat, maka cara yang dapat dilakukan untuk menempatkan alumniya ialah melalui “jalur dalam” dan jalur tersebut dapat disediakan oleh pejabat yang mendapatkan gelar honoris causa. Pada kasus Erick Thohir, pemberian honoris causa akan mendorong proyeksi penerimaan alumni UB di setiap instansi BUMN dan hal ini akan meniadakan kompetisi kerja yang seharusnya berjalan secara adil kepada setiap orang. 

Honoris causa sedari awal menjadi kontradiksi dalam pendidikan tinggi dikarenakan ketiadaan indikator yang jelas dalam penyematan gelar tersebut dan perguruan tinggi juga diberikan kewenangan lebih untuk menyematkan gelar ini. Penyematan gelar honoris causa kini lebih kepada transaksi akademik yang hanya menguntungkan kedua pihak saja dan hal ini juga menjadi bukti dari pernyataan “seseorang dapat diberikan gelar honoris causa atas kontribusinya yang besar terhadap masyarakat dan ilmu pengetahuan” yang bersifat bias dan sekaligus melecehkan peran akademisi maupun tokoh masyarakat yang berkontribusi lebih besar daripada mereka, sehingga penyematan gelar ini seolah menjadi domain politisi semata. Selain pemberian gelar yang salah sasaran, tindakan UB dalam hattrick honoris causa hanya didasarkan pada ambisinya untuk menggapai ranking lima besar dengan cara yang tak patut dilakukan. Menggapai ranking hanya menjadi bonus dari tujuan utama perguruan tinggi untuk menyelenggaraan pendidikan yang berkualitas kepada masyarakat, namun hanya demi sebuah ranking, kampus mengejarnya dengan cara-cara yang tidak mengedepankan integritas dan kerja keras dari setiap civitas akademika di dalamnya. Praktik pemberian honoris causa demi ranking universitas hanya menggerogoti integritas kampus dari dalam dan mengubahnya menjadi sekedar penyedia jasa pemberian gelar kepada politisi semata.

Oleh karenanya, perlu adanya pembenahan struktural dan kultural dari semua kalangan untuk mengatur pemberian honoris causa secara baku serta meminimalkan penyalahgunaan pemberian kepada tokoh yang tidak memiliki rekam jejak akademik. Pertama ialah intervensi Kemendikbud dalam menerbitkan prosedur pemberian honoris causa, di mana negara sebagai otoritas politik tetap harus mengatur penyelenggaraan pendidikan tinggi dan salah satu upayanya ialah membuat peraturan menteri yang mengatur indikator, wewenang, dan penilaian Kemendikbud kepada universitas yang memberikan gelar honoris causa kepada seseorang. Pengawasan ini diperlukan untuk mencegah pemberian honoris causa kepada politisi ataupun pejabat publik yang tidak banyak berkecimpung dalam dunia akademik dan sekaligus mencegah adanya transaksi politik dibalik penyematan gelar tersebut. 

Kedua ialah penguatan nilai-nilai kebebasan akademik dalam kampus, di mana akademisi menjadi jantung dari perguruan tinggi harus memiliki satu sikap untuk menolak segala tindakan yang melecahkan kehormatan pendidikan tinggi, termasuk pemberian honoris causa secara cuma-Cuma. Tidak hanya pada penyeragaman sikap untuk menjunjung integritas akademik, pengorganisasian massa dari kalangan akademik juga perlu digalakkan di setiap kampus untuk membulatkan suara mereka dalam membenahi tata kelola perguruan tinggi dan solidaritas akademisi ini kedepannya dapat menjadi kekuatan besar yang dapat mengorganisir perubahan masif untuk meningkatkan kualitas akademik beserta pemerataan pendidikan tinggi kepada setiap masyarakat, sehingga pendidikan tinggi tidak lagi menjadi “barang mewah” namun menjadi kekuatan perubahan untuk kemajuan bangsa Indonesia. 

 

Ikuti tulisan menarik Dhien Favian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler