Kuasa Toa di Ruang Publik

Senin, 27 Maret 2023 06:22 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di samping untuk azan, terkadang toa juga bisa kita gunakan untuk memaklumkan hal-hal yang perlu diketahui warga, misalnya saja kabar duka anggota masyarakat sekitar. Tapi, kan tidak setiap yang mampir di kepala perlu dimaklumatkan juga, berdoa pun rasanya tak harus selalu ber-toa. Lagi pula, kedekatan seseorang dengan mic, amplifier dan toa tidak bisa menjadi ukuran kedekatan orang dengan Tuhan ataupun kebenaran.

Melalui bibirnya hingar permakluman silih berganti berlomba merambat ke telinga.

Memang bukan hanya toa, tapi kita punya kebiasaan menjadikan merk dagang produk tertentu sebagai sebutan jenis barang tersebut, alhasil jadilah toa sebutan lazim untuk speaker.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meski rasanya, itu bukan hal yang harus dipermasalahkan, toh kita tidak pernah juga mendengar pemilik merek dagang Odol—apalagi masyarakat Jerman—tersinggung sentimen nasionalismenya gegara kita menggunakan istilah odol untuk menyebut semua pasta gigi.

Masalahnya, sebagaimana otoritas administratif atas frekwensi serta merta mendaku sebagai rujukan kebenaran, kekuasaan atas toa masjid pun seolah menjadi landasan orang untuk mendaku kebenaran dan memaksakannya di ruang publik.

Hatta, bahkan peribadatan paling privat pun mesti diperdendangkan ke telinga semua orang hanya karena menjadi preferensi para pemilik kuasa atas toa.

Kesantunan hidup sebagai anggota masyarakat dipaksa mengalah pada semangat syi'ar yang tak kenal kompromi.

Siang, malam, bahkan dini hari; tak peduli orang mesti beristirahat, punya kesibukan lain, atau sama beribadat pula di rumahnya masing-masing, gaung kesalehan diri mesti terkumandang dan diketahui setiap makhluk Tuhan di muka bumi.

"Jangan su'udzon,"  Oh ya tentu saja, mengganggu orang pun jangan pula.

Jika hingar toa menjadi identik dengan masjid sebagai tempat peribadatan kaum Muslim, maka Islam tak semestinya menanggung kebisingannya.

Ketulusan peribadatan tidak bisa menjadi pembenaran bagi siapapun untuk abai terhadap hak publik atas ruang yang kita berbagi hidup di dalamnya.

Jangankan menggunakan toa, dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Nabi Muhammad bahkan menegur sahabatnya karena mengeraskan suara saat membaca Al-Quran di dalam mesjid.

"Sesungguhnya kalian memiliki munajatnya masing-masing dengan Rabb-nya. Karena itu, janganlah kalian saling mengganggu, dan jangan pula saling mengeraskan bacaan Al-Quran (atau dalam salatnya)."

Tentu, adakalanya kita perlu mengeraskan suara. Saat azan yang memang merupakan panggilan salat, toa dibutuhkan, namanya juga memanggil dari kejauhan.

Di samping untuk azan, terkadang toa juga bisa kita gunakan untuk memaklumkan (membuat ma'lûm [ معلوم ]; diketahui) hal-hal yang perlu diketahui warga, misalnya saja kabar duka anggota masyarakat sekitar.

Tapi, kan tidak setiap yang mampir di kepala perlu dimaklumatkan juga, berdoa pun rasanya tak harus selalu ber-toa.

Menjaga ruang publik agar nyaman ditinggali bersama tentu harus dipertimbangkan juga dalam kaifiyat ber-toa ini.

Lagi pula, kedekatan seseorang dengan mic, amplifier dan toa tidak bisa menjadi ukuran kedekatan orang dengan Tuhan ataupun kebenaran.

Apa jadinya jika kebenaran di negeri ini boleh ditentukan siapapun yang menguasai toa?

Meski mungkin, karena toa hanya punya moncong tanpa telinga, akhirnya terpaksa juga kita maklumi. Ya, harap maklum.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Iman Haris

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Para Wirausahawan yang Tidak-tidak

Selasa, 7 November 2023 11:40 WIB
img-content

Politik Positif Toksik

Jumat, 3 November 2023 12:52 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler