x

Belajar via https://images.app.goo.gl/2vdK8btXGDT8oUeC6

Iklan

Iman Haris

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 7 April 2023 19:54 WIB

Pengkotakan Identitas dan Masalah si Beruang Putih

Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf mengusulkan agar madrasah menerima siswa non-muslim sebagai bagian strategi integrasi sosial. Menurutnya, sistem pendidikan semacam madrasah cenderung memisah-misahkan berdasarkan identitas agama. Apa, iya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf baru-baru ini mengusulkan agar madrasah menerima siswa nonmuslim sebagai bagian dari strategi integrasi sosial. ”Saya berpikir bagaimana madrasah-madrasah ini bisa menerima murid dari agama lain,” ujarnya sebagaimana dikutip media.

Pak Kyai beralasan, ”Jika sekarang anak-anak kita sejak kecil, sejak dini, sudah kita pisah-pisahkan berdasar identitas (agama), kalau tua kok disuruh rukun. Itu ya susah.”

Sebetulnya ini bukan benar-benar gagasan yang baru. Salah satu pesantren di Bandung bahkan sudah melaksanakannya sehingga bukan lagi sekedar wacana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika bukan sesuatu yang baru, lalu kenapa dikesankan tabu? Di negeri ini, bukan hanya pesantren yang menerima siswa nonmuslim, sudah biasa juga sekolah Kristen (atau Katholik) menerima siswa muslim. Jadi, apakah pengkotakan identitas berdasarkan agama itu benar-benar terjadi di negeri ini?

Jangan-jangan, lebih banyak siswa muslim yang masuk di sekolah Kristen karena kualitasnya yang dianggap lebih baik.

Sementara itu jarang terdengar siswa nonmuslim sekolah di madrasah karena mungkin ada anggapan kualitasnya masih di bawah sekolah-sekolah Kristen, atau bisa jadi—sesederhana—ngapain?

Iya, bagi banyak siswa nonmuslim—mungkin banyak siswa muslim juga—buat apa mereka merasa harus belajar Bahasa Arab, tata cara wudhu, salat jenazah dan pelajaran lainnya di madrasah?

Meski, ya, kalau mereka mau, rasanya selama ini belum pernah mendengar juga ada aturan yang melarang madrasah menerima siswa nonmuslim.

Jadi, apa benar siswa nonmuslim tidak sekolah di madrasah itu benar-benar karena persoalan segenting “pengkotakan identitas berdasarkan agama”?

Entah kenapa, isu-isu semacam ini hanya seolah ada di media atau seminar-seminar, karena ketika kita pergi ke pasar, pabrik, atau lapangan sepak bola, pengkotakan itu tidak terlihat dan terasa.

Alhasil, pemberitaan dan seminar-seminar itu boleh jadi berpotensi melatenkan masalah yang sebetulnya tidak ada, kecuali kalau kita menganggap perbedaan identitas agama sebagai masalah.

Persoalannya, semakin sering kita membicarakannya, semakin masalah ini terasa nyata; si beruang putih malah semakin enggan pergi dari pikiran.

Pada 1987, Daniel M. Wagner, psikolog sosial di Harvard University mempublikasikan hasil risetnya di Journal of Personality and Social Psychology.

Berdasarkan risetnya tersebut, Wagner dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa semakin kita berusaha menghilangkan sesuatu dari pikiran, hal itu justru akan semakin kuat di pikiran kita.

Teori Wagner ini kemudian dikenal dengan “Ironic Process Theory” atau “The White Bear Problem” (Masalah Beruang Putih).

Bayangkan jika berbagai seminar dan media terus mengatakan untuk menghapus “pengkotakan identitas berdasarkan agama”, boleh jadi gagasan ini justru akan semakin melekat di kesadaran massa.

Ikuti tulisan menarik Iman Haris lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler