x

Foto salah satu sudut gerbong kereta api

Iklan

Kurnia Ibrahim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 April 2023

Sabtu, 22 April 2023 07:55 WIB

Jalan Akal di Sudut Kereta Sosial

Artikel ini merupakan artikel opini penulis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pernahkah dari kawan – kawan manakala sedang dalam perjalanan entah itu di saat menuju tempat kerja, sekolah, kampus, rumah saudara atau sejawat, atau yang lainnya, kawan – kawan pembaca tak pernah berhenti mempekerjakan otak untuk selalu berpikir akan suatu hal? Bisa jadi kita selalu memikirkan akan sesampainya di sana apa yang harus pertama kita lakukan, atau ketika dalam perjalanan kita membayangkan sesuatu hal (baik menyenangkan ataupun tragedi) terjadi di depan mata kita, hingga yang paling ringan adalah kita memikirkan sesuatu yang jenaka dan mungkin tak sadar kita tertawa tergelak selama perjalanan hingga mungkin pengguna jalan yang lain bertanya – tanya kebingungan dengan diri kita kala itu.

Meskipun tidak seperti itu, kemungkinan juga kita pernah sedikit bernostalgia tentang objek dalam perjalanan kita. Sebuah obyek yang mengingatkan pada suatu hal dalam momen kehidupan kita. Kita bahkan pernah berpikir begitu dalam dan tenggelam sehingga pada momen sepersekian detik kita seakan terbawa momen itu dalam alam bawah sadar, lalu kita pun  sadar bahwa kita sedang dalam perjalanan. Pernahkah?

Ya, penulis cukup yakin bahwa 90% dari kawan-kawan pembaca pernah demikian baik sengaja maupun tidak sengaja. Bagi penulis, teruntuk kita sebagai manusia yang berakal, apa yang kita lakukan akan hal seperti diatas adalah sebagaimana kita menjadi manusia yang berfungsi sesuai kemampuan yang diberikan oleh Sang Khaliq akan makna manusia yang merupakan ciptaan-Nya yang paling sempurna. Bahkan seorang filsuf Perancis pun, Rene Descartes, menyatakan sesuatu hal yang bagi penulis  menjadi faktor X bagi manusia itu sendiri. Cogito Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada) menjadi sebuah falsafah kehidupan yang sangat eksistensialis dan konstruktif dimana manusia sejatinya akan mem-beradakan dirinya ketika manusia itu sendiri berpikir. Sehingga, kecil rasanya bahwa manusia tidak bereksistensi dalam partikel yang sangat mendasar dan penuh rahmat, yaitu akal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

            Berbicara mengenai akal pikiran itu sendiri, ada banyak definisi yang diberikan padanya baik dari para ahli, maupun dari para “normies” seperti kita. Bagi penulis pribadi, akal adalah senjata ampuh nan efektif untuk bergerak dalam ruang sempit maupun luas. Akal seakan menjadi sesuatu yang mengubah sesuatu lainnya dalam pergerakan yang bisa saja mengarah pada hal destruktif,progresif dan juga imajinatif. Mungkin bagi penulis, akal ini adalah representasi dari sepotong lirik senandung harmonic karya Jason ranti,  Kita abadi yang fana itu waktu (Dalam lagu “Lagunya Begini, Nadanya Begitu”). Akal menjadi moda transportasi menuju keabadian bagi manusia yang meskipun kelak, fisik tak lagi muda, retorika tak lagi rasional, melamun dan pelupa, akan tetapi buah akal daripada kita dimasa lalu akan menjadikan kita abadi dalam fananya waktu yang begitu terbatas. Kembali pada retorika di paragraf sebelumnya, Penulis kala itu sedang dalam perjalanan menaiki kereta. Jarak yang ditempuh cukup jauh, waktu tempuhnya kurang lebih 5 jam perjalanan. Itu saja baru sampai stasiun. Jika sampai rumah emak (panggilan saya pada mbah putri) total ada sekitar 6,5 jam perjalanan. Sepanjang malam perjalanan, penulis selalu bernostalgia dengan jalur – jalur perjalanan yang membuat diri penulis merenung. Tak hanya itu, kebetulan posisi duduk penulis saat di kereta, penulis bersebelahan dengan orang tua bersama anaknya yang memiliki gangguan mental. Awalnya, kami cukup canggung ya normalnya manusia lain yang tidak kenal dan belum pernah bersua. Namun, kran obrolan mulai terbuka ketika si Bapak dari orang tua anak itu bertanya pada penulis. Mungkin hanya sekadar basa basi karena kita duduk dalam kursi penumpang yang sama.

 

            “Tujuan mana mas?” Kata si Bapak

            “Saya Stasiun Banjar, Pak. Bapak tujuan mana?” Sahut penulis yang juga balik bertanya

           

            “Saya Kiaracondong mas” jawab si Bapak dengan tersenyum

 

Obrolan itu, mengawali aliran obrolan lainnya. Selama perjalanan, bapak ini banyak bercerita mulai dari asal daerahnya, sampai memohon maaf dan maklum bila mungkin sedikit mengganggu kenyamanan penulis selama perjalanan karena anaknya (duduk diantara si Bapak dan penulis) memiliki gangguan mental.

           

Mohon maaf ya mas… kalo nanti agak kurang bikin nyaman sampean,anak nya memang kurang setengah” ucap si Bapak dengan gesture tangan mengisyaratkan anaknya kurang waras.

 

Nggih,Pak. Mboten nopo-nopo…” Balas penulis dengan senyum ramah

 

 

Selepas banyak bercerita, kami kembali “mendiamkan diri” untuk beristirahat. Selain karena malam yang sudah semakin sunyi, penumpang lain juga beristirahat (tidur). Mungkin bagi diri penulis, momen ini adalah momen keemasan karena penulis dapat kembali fokus merenung dan berpikir bebas selama perjalanan. Kembali bernostalgia akan banyaknya kenangan perjalanan di masa lalu dan mengkomparasikannya dengan kondisi perjalanan sekarang. Jika boleh sedikit bercerita didalamnya, Masa tahun 2011 kebawah, moda transportasi kereta api begitu sesak ramai dan cukup beresiko. Kereta ekonomi selalu sering overload hingga banyak penumpang yang duduk di lantai – lantai gerbong sampai depan pintu keluar kereta api. Itupun masih dikatakan mendingan daripada banyak penumpang yang tetap nekat dan akhirnya berakhir duduk di atap gerbong kereta api. Sangat ekstrem dan beresiko. Tak hanya itu, masa itu juga kereta api banyak dihuni pedagang asongan yang lalu lalang menjajakan jualannya. Mulai dari nasi pecel,klanting,nasi ayam,minuman dingin, bahkan hingga penjual mainan (penjual favorit penulis di masa itu). Semua itu dijajakan dari satu gerbong depan ke belakang dan berbalik ke gerbong depan lagi. Adapun dari mereka, memiliki cara untuk menjajakan produk jualannya. Cara itu cukup menarik bagi penulis karena mereka akan membagikan produk – produk jualannya pada setiap penumpang, dan akan putar balik untuk mengambil lagi serta menanyakan apakah penumpang ada yang tertarik membeli. Bagi penulis, hal – hal tersebut sangat membekas dan hal itu juga yang membuka mata social penulis yang mungil semakin lebih luas dan bebas. Orang tua saya juga memberikan gambaran bagaimana kehidupan social manusia harus selalu berlangsung untuk saling memudahkan manusia lain. Saat kita menjadi penumpang berdiri atau duduk dilantai gerbong, banyak dari penumpang di setiap perjalanan membagi kursi duduknya setidaknya untuk penulis yang masa itu masih bocah. Begitu juga dengan orang tua penulis. Ada begitu banyak memori indah yang penulis terus munculkan dalam kepala selama perjalanan berlangsung. Hingga pada akhirnya, penulis memusatkan seluruh kerja pikiran pada perenungan – perenungan jalan berakal disudut kereta social.

Saat penulis tak secakap sekarang, orang tua penulis cukup sering membawa penulis untuk pulang kampung. Setidaknya minimal sebulan sekali. Selama bepergian (baik berangkat maupun pulang) kereta selalu menjadi layaknya arena penampakan social yang beragam. Tentu saja demikian, toh namanya juga moda trasportasi public kan? Akan tetapi, ada yang menarik dari itu semua di masa lalu. Momen itu terjadi ketika kereta kami sedang behenti di sebuah stasiun yang mana seberangnya adalah perkebunan dan rumah warga. Penulis di usia itu, begitu menyukai melihat pemandangan sekitar lewat jendela kereta api yang dulunya sangat konvensional. Tiba – tiba, tanpa penulis sadari ada beberapa anak sebaya berpakaian lusuh berlari mendekati kereta kami dan berteriak “Keretaaaa! Nyuwun duitt!!!”  sontak penulis terkejut dan menanyakan pada orang tua penulis mengapa mereka berbuat demikian. Dengan cepat orang tua penulis merespon untuk memberikan beberapa uang koin dan meminta penulis untuk menjatuhkan koin itu dari dalam kereta lewat jendela (tidak memungkinkan untuk keluar gerbong). Tanpa banyak bertanya, penulis menuruti permintaan itu dan satu per satu koin tersebut penulis jatuhkan. Anak – anak itu nampak kegirangan dan terus berteriak sembari tertawa riang. Penulis pun demikian, senang rasanya mereka tertawa dan bila diberi kesempatan untuk turun dari gerbong kereta, pastilah penulis dan mereka akan menjadi teman bermain yang heboh. Momen itu menjadi salah satu momen yang sangat berkesan bagi penulis. Selain itu, masih banyak lagi momen – momen hidup bersosial yang intim dan menghangatkan antar manusia selama perjalanan. Rasanya tidak hanya penulis saja yang mengalami demikian, mungkin kawan – kawan pembaca juga pernah mendapati hal tersebut dan menjadi momen yang mengesankan pula tak jenuh untuk kembali bernostalgia sebagai refleksi diri. Selamat berefleksi! Selamat menikmati perjalanan nostalgia bersama keluarga,kawan,sanak saudara dan hal yang menghangatkan lainnya! Jangan lupakan bahwa kita berangkat dari stasiun komunal! Lahir dari rahim keberagaman serta tumbuh dan berkembang dalam kebudayaan social masyarakat!

Ikuti tulisan menarik Kurnia Ibrahim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler