x

Terompet dan foto musisi jazz legendaris, Louis Amstrong, yang tersimpan di Museum Jazz di New Orleans.

Iklan

Ika Ningtyas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 Desember 2019

Senin, 24 April 2023 19:04 WIB

Jejak Jazz di Kampung Halamannya

Cerita perjalanan mengunjungi kampung kelahiran musik Jazz di New Orleans.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di bawah pohon ek tua, saya berimajinasi sesaat. Berandai-andai berada di tempat ini pada abad ke-18, menyaksikan 500-600 orang Afrika sedang berkumpul di Minggu sore. Laki-laki dan perempuan menari bamboula dan Congo di tengah lingkaran besar, mengikuti ritme drum yang ditabuh dengan jari-jari tangan.

Saya tidak sedang berada di Afrika, tetapi di Congo Square, New Orleans, Lousiana, Amerika Serikat. Imajinasi itu terbentuk setelah membaca karya Ted Gioia, The History of Jazz (2011) dan sebuah diorama di dekat saya. Ritual musik yang dimainkan budak-budak kulit hitam di Congo Square saat itu, yang akhirnya melahirkan musik jazz dan memengaruhi warna musik lainnya di Amerika Serikat.

Congo Square terkini adalah sebuah ruang terbuka di jalan North Rampart Street, New Orleans. Beraspal batu dan dipayungi pohon ek tua yang menjulang puluhan meter. Hajatan tahunan New Orleans Jazz and Heritage Festival --yang pamornya cukup mendunia itu, pertama kali dihelat di tempat ini tahun 1970. Selain untuk festival, Congo Square menjadi lokasi bertemunya berbagai komunitas musik, hingga tempat favorit berkumpulnya massa untuk berunjuk rasa.

Congo Square dan Gedung Municipal Auditorium

Kedatangan saya di Congo Square, awal April 2017, memang kurang beruntung. Tak ada komunitas musik yang menampilkan jazz dengan tarian bamboula maupun congo. Suasana sore saat itu sedang sepi. Hanya beberapa orang saja melintas untuk jalan-jalan sore, sendirian atau dengan anjingnya. 

Congo Square berada di kampung Tremé, tempat bermukim warga keturunan Afrika-Amerika tertua di Amerika Serikat. Roulhac ToledanoMary Louise Christovich, dan Robin Derbes, dalam bukunya New Orleans Architecture: Faubourg Tremé and the Bayou Road (2003) menjelaskan, Tremé adalah bagian dari perkebunan Morand-Moreau di awal abad ke-18. Kata Tremé berasal dari nama pemilik perkebunan ini,  Claude Tremé, pengusaha Perancis yang datang ke New Orleans pada 1783.

Perancis menaklukan Louisiana pada 1718, lalu berganti Spanyol di tahun 1763-1803. Setelah penaklukan itu, banyak pengusaha Eropa datang membuka perkebunan skala besar di sekitar Sungai Mississippi, termasuk New Orleans. Silih berganti, mulai perkebunan tembakau, indigo, kapas lalu tebu. Migrasi itu diikuti dengan mendatangkan budak-budak dari Afrika untuk mengurus perkebunan. Sebagai kota pelabuhan, saat itu New Orleans menjadi pusat komoditas hasil kebun, termasuk pasar budak terbesar di Benua Amerika.

Budak-budak tersebut mendapat jatah libur setiap hari Minggu untuk berkumpul di Congo Square. Kebiasaan ini dilegalkan oleh Dewan Kota New Orleans pada 1817, setelah Lousiana dijual ke Amerika Serikat. Di Congo Square, mereka menggelar lapak dagangan, mengumpulkan uang agar bisa menebus kebebasannya sebagai budak. Sebagian lain melakukan upacara voodoo, bagian dari agama kuno Afrika, yang mereka kemas lebih mirip perayaan dengan permainan musik drum, nyanyian, serta tarian bamboula dan congo.

Jumlah penduduk kulit hitam makin mendominasi kota ini, utamanya sebagai dampak Revolusi Haiti (1791-1804). Sekitar 6 ribu pengungsi dari Karibia, baik berkulit putih, orang Afrika bebas maupun yang diperbudak, membanjiri New Orleans. Sehingga di abad ke-19 kota ini menjadi titik bertemunya pelbagai etnis mulai Eropa, Karibia, Afrika dan Amerika. Jazz dan blues, kata Ted Gioia,  juga lahir dari pertemuan tradisi bermusik seluruh etnis tersebut.

Nama Congo Square pernah diganti menjadi Beauregard Square tahun 1893. Beauregard adalah nama seorang jenderal yang memimpin pertempuran  Fort Sumter. Namun atas berbagai desakan masyarakat, pada 2011, Beauregard Square dikembalikan lagi ke nama tradisionalnya: Congo Square. 

Sejak 1970 pula, Congo Square melekat dengan Louis Amstrong Park seluas 12,8 hektar. Konsep taman ini sebenarnya tak terlalu jelas, bagian dari proyek ambisius pemerintah kota. Awal pembangunannya menuai banyak kritik dari warga, karena merobohkan beberapa bagian dari kampung Treme.  Yang membedakan taman ini dengan lainnya,  barangkali adalah tiga patung musisi jazz legendaris kota ini: Buddy Bolden, Sidney Bechet dan Louis Amstrong.

Gioia menyebut Bolden dan Bechet adalah musisi jazz awal yang melakukan Amerikanisasi terhadap musik Afrika. Sebaliknya, mereka juga melakukan Afrikanisasi atas musik Amerika. “Antropolog menyebut proses ini dengan singkretisme,” tulis Gioia yang juga seorang musisi ini. Namun, Louis Amstrong adalah musisi yang paling dikenang. Tak hanya sebagai taman, namanya disematkan untuk bandara New Orleans dan ulang tahunnya dirayakan oleh rakyat melalui  Satchmo Festival.

Patung Louis Amstrong di Louis Amstrong Park di New Orleans

Selain membangun Louis Amstrong Park, pemerintah New Orleans mendirikan The Mahalia Jackson Theater, sebuah gedung pertunjukan berkapasitas 2.100 kursi. Mahalia Jackson ini melengkapi gedung kebudayaan dan olahraga Municipal Auditorium yang lebih dulu dibuka pada 30 Mei 1930.

Bagi penggemar basket dan hoki barangkali tak asing dengan Municipal Auditorium. Gedung karya arsitek George A. Caldwell ersebut pernah jadi tuan rumah beberapa kejuaraan New Orleans Buccaneers dari American Basketball Association pada  1969-1970,  Basket New Orleans Jazz pada musim perdana 1974-1975, hoki liga kecil New Orleans Brass dari tahun 1997-1999.

Badai Katrina yang melanda New Orleans pada 2005 membuat kota ini berhenti sejenak. Infrastruktur, ekonomi, fasilitas umum lumpuh. Louis Amstrong Park sempat terbengkalai selama 6 tahun dan baru dibuka lagi pada 2011. Auditorium bahkan mengalami kerusakan lebih parah di beberapa bagian sehingga masih ditutup ketika saya menginjakkan kaki di sana.

Setelah menikmati taman hijau dengan air mancurnya, saya melangkah ke pintu bagian barat Louis Amstrong Park. Pintu keluar ini menghubungkan saya dengan Tremé Street. Tampak rumah-rumah bercat warna-warni, berjajar rapat di bagian kanan dan kiri jalan. Ya, inilah kampung Tremé yang tersisa setelah perjalanan panjangnya selama 300 tahun. “Kampung tersebut dibangun tahun 1800an,” kata Robert Freeland, sejarawan dari Museum on Louisiana History, melalui emailnya awal Mei.

Sore itu kampung ini lengang, hanya satu dua rumah yang penghuninya sedang bercengkerama di teras. Beberapa rumah masih bergaya “rumah senapan” yang dimodifikasi dari bentuk aslinya. Rumah senapan untuk menyebut jenis rumah kayu persegi panjang tanpa halaman depan, yang dulunya hanya seluas 3,5 meter.  Lalu munculah olokan untuk rumah sempit ini: bila ada tembakan di pintu depan, peluru akan langsung keluar dari pintu atau jendela belakang rumah.

Dalam perkembangannya, rumah-rumah di Tremé diperluas, diberi bangunan tambahan dan bahkan dipercantik dengan taman di halaman depan. Badai Katrina yang menyebabkan banjir besar di kota ini sempat mengurangi jumlah populasi di Tremé. Sensus pada 2010, populasi di Treme mencapai 4,155 orang dengan 1,913 rumah tangga, melorot dibandingkan sensus tahun 2000 yang berjumlah 8,853 jiwa dengan 3,429 rumah tangga. Banyak penduduknya yang meninggalkan kota untuk mencari pekerjaan ke kota lain. Gegap gempita New Orleans dengan musik jazz-nya berhenti sejenak.

Jalan Treme di Louisiana, New Orleans.

Menurut Robert, untuk menggeliatkan kembali kehidupan New Orleans, organisasi Habitat For Humanity berupaya mengajak para musisi jazz untuk pulang kampung. “Organisasi ini kemudian membangunkan 75 rumah baru untuk para musisi di dataran tinggi kawasan 9th Ward,” kata Robert. Lewat cara ini, Jazz kembali mengalun di setiap sudut di New Orleans.

Dekat dari Tremé Street, saya bertemu gereja Katolik St Agustine’s, gereja tertua yang didirikan komunitas Afrika-Amerika pada 1841. Gereja yang didesain oleh arsitek Perancis J. N. B. de Pouilly menjadi bagian Keuskupan Agung New Orleans. Di sini, Misa Jazz digelar tiap tahun, yang diselenggarakan bersamaan dengan perayaan ulang tahun Louis Armstrong.

Gereja ini nyaris ditutup karena mengalami kerusakan parah setelah badai Katrina. Namun setelah mendapatkan biaya perbaikan dari National Trust for Historic Preservation dan American Express, Keuskupan akhirnya membatalkan rencana itu.

Saya lalu melangkah ke Museum Jazz New Orleans yang menempati gedung tua bekas tempat pencetakan uang di jalan Esplanade Street. Museum berdinding merah tua ini menyimpan kisah dan berbagai alat musik yang dipakai musisi jazz ternama yang lahir di kota ini.

Perjalanan karir Louis Amstrong terekam di sebuah ruangan di lantai dua. Di dinding pertama, terdapat empat kotak telepon yang memperdengarkan suara khas Amstrong lewat sejumlah lagunya. Bagi penggemar musik Jazz tentu tak asing dengan karya-karya terbaik Amstrong  seperti Saint Louis Blues (1929), All of Me (1932), Hello Dolly (1964) atau What a Wonderful World (1967). Sejak 1920an, Armstrong telah merilis lebih dari 27 album dan ratusan single.

Selmer trumpet dan cornet dipamerkan terpisah di dalam kotak kaca. Selmer trumpet berwarna kuning keemasan pernah dimainkan Louis Amstrong di New Orleans tahun 1965. Sedangkan cornet dipakai saat tampil bersama Peter Davis di salah satu acara televisi bertajuk I've Got a Secret. Pada bagian dinding lain, tersaji foto-foto Louis Amstrong ketika masih kanak-kanak hingga tenar sebagai selebritis dunia.

Musisi kelahiran 1901, dari keluarga miskin ini begitu melekat di hati rakyat New Orleans. Multitalentanya sebagai peniup terumpet, penyanyi, komedian dan bintang film Hollywood akhirnya menerabas batas-batas rasial yang saat itu masih kental di Amerika.

Koleksi di ruangan lain adalah dua buah piano, masing-masing sumbangan Malcolm John Rebennack Jr dan Fats Domino. Dr John --panggilan Malcolm John Rebennack Jr,  memakai piano klasik  ini saat memproduksi album Goin Back to New Orleans. Album ini berhasil memenangi Grammy Award, 1992. Sedangkan piano putih milik Fats Domino, salah satu bintang rock and roll terbesar di tahun 1950an. Dominos juga dikenang sebagai artis R&B pertama yang populer di kalangan kulit putih, sehingga turut memecah segregasi rasisme saat itu.

Selain piano, klarinet milik Pete Fountaine dipamerkan di sini. Musisi bernama lengkap Pierre Dewey LaFontaine, Jr  itu adalah peniup klarinet yang bermain jazz, pop dan musik creole. Dia dikenang sebagai pendiri Half-Fast Walking Club, sebuah parade musik yang mengiringi perayaan Hari Mardi Gras sejak 1970an.

Musik, khususnya jazz memang menjadi ikon New Orleans. Di sini, jazz dinyanyikan di mana-mana, segala acara, dan tak kenal waktu. Mulai di gereja, café, hotel, klub malam, bahkan di jalanan. Sepanjang 10 kilometer melangkahkan kaki, beberapa kali saya menjumpai pengamen yang sedang beraksi. Mereka tampil solo maupun grup. Yang membedakan dengan di Indonesia, pengamen di sini nampak lebih serius. Karena membawa peralatan musik lengkap dengan mini soundsystem-nya.***

(Pernah dipublikasikan di Koran Tempo, Mei 2017).

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Ika Ningtyas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler