x

Ilustrasi pajak. Sumber foto: klikpajak.com

Iklan

nur mazidah nafala

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2023

Rabu, 26 April 2023 22:04 WIB

Wujudkan Nilai Kokoh Spiritual dalam Transaksi Pajak yang Baik dan Benar

Pajak merupakan kontribusi aktif dari masyarakat. Tapi masalahnya ada bahwa persepsi bahwa membayar pajak berarti memberi makan para koruptor, para bedebah yang berkedok rapi menjadi petinggi pemerintahan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seperti yang sudah diketahui, APBN adalah pilar utama perekonomian dalam kelangsungan hidup bernegara. Salah satu sumber pendapatan negara tersebut adalah pajak. Pajak sendiri merupakan kontribusi aktif dari masyarakat. Yang berarti kewajiban masyarakat dalam memenuhinya. Dan masalah sebenarnya adalah persepsi masyarakat tentang membayar pajak. Opini buruk jika membayar pajak berarti memberi makan para koruptor, para bedebah yang berkedok rapi menjadi petinggi pemerintahan. Belum lagi opini yang satu ini, “Tidak cukupkah utang-utang negara yang setinggi puncak Jaya tersebut? Kok masih minta uang ke kita?”

Inilah masalah sesungguhnya yang kita hadapi bersama. Ya, masalah itu ada pada diri kita sendiri. Masalah mekanika sistem perekonomian di negara ini bukan seratus persen salah pemerintah. Percuma saja, bila secanggih apapun sistem kita, secerdik apapun kaum elite kita dalam mengatur, dan sebijak apapun presiden kita memutuskan kebijakan baru, tidak akan berhasil membawa negara kita ke arah yang jauh lebih baik. Bagaimana tidak? Bayangkan saja dalam benuk sederhananya. Misalkan anda adalah seorang psikolog senior ternama. Datang seseorang yang ingin curhat kepada anda mengenai masalah pribadinya dan tentu meminta anda agar memberinya solusi. Setelah panjang lebar dia bercerita dan anda beri solusinya, dia tidak mau menerima solusi anda. Serta merta dia menjelaskan kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi jika dia menuruti solusi yang anda berikan. Tentu saja anda sudah berhitung dengan cermat  sebelum anda memutuskan solusi tersebut. Seseorang tadi belum mencobanya dan sudah mundur. Lalu pertanyaannya “Untuk apa dia meminta solusi agar masalahnya selesai jika ternyata dia tidak mau untuk kemudian diberi solusi?”. Itulah gmbaran sederhana dari realitas sosial yang terjadi di bumi pertiwi tercinta kita saat ini.

Membayar pajak sendiri esensinya adalah membeli kenyamanan. Baik itu dari segi fasilitas, hingga sosial masyarakat. Dapat dimengerti pula, tidak ada kenyamanan gratis di muka bumi ini. Semua perlu konsekuensi atau pengoorbanan.  Dengan pajak yang terpenuhi, semua kenyamanan itu akan terbeli-diluar konteks takdir Tuhan. Semua fasilitas umum nyaman dan aman. Lalu dari sana kita akan kembali menggunakan angkutan umum. Dari sana jumlah kendaraan bermotor pribadi akan terkurangi. Semua jalanan terbebas dari polusi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ayolah, mari cerdas membaca realitas! Semakin kita rajin bayar pajak, semakin sedikit beban utang negara kita. Minimal, dari rajin membayar pajak, tidak akan bertambah lagi utang negara. Cukuplah pemerintah memikirkan solusi membayar utang yang telah lalu dengan tanpa beban utang hari ini juga hari-hari kemudian. Lagi pula, dengan mekanisme transaksi pajak yang baik, kita bisa mendapat nilai spiritual yang selama ini tidak kita sadari.

  1. Wujud Syukur Kita pada Tuhan YME

Tuhan telah melimpahkan rahmat-Nya di negara kita. Lantas balas jasa kita adalah dengan mengorbankan berpeser uang kita dalam rangka agar rahmat yang telah diwujudkan ke dalam bentuk fasilitas umum, dan sebadainya tersebut tetap terjaga dan lebih berkembang manfaatnya untuk kepentingan kita bersama.

  1. Wujud dari Iman Kita terhadap Tuhan YME

Sekali lagi. Dengan mekanisme transaksi pajak yang baik dan benar,kita juga akan mendapat nilai spiritual berupa Iman. Di atas sudah dikatakan, bahwa masalah ketidakmajuan tersebut adalah bukan seratus persen kesalahan pemerintah. Dan bukan juga seratus persen salah masyarakat. Boleh jadi  fifty-fifty. Nah, dalam konteks ini, kita singgung sedikit mengenai pemerintah. Tentulah kita semua manusia biasa. Wadah khilaf juga lupa. Kadang kalau sudah lihat si Licin Mulus ini sedang berkumpul, kadang suka lupa daratan, lupa itu bukan milik kita seorang. Kita telah tahu si Licin Mulus yang satu ini lebih licin dan mulus dari paha cicak manapun. Lalu tiba-tiba dia ada di hadapan kita. Dari situ kita telah mengamalkan yang namanya ‘iman’. Saat detik-detik paling menegangkan hampir saja terperangkap dalam jebakan mulus licinnya, kita telah sadar, dia bukan segalanya. Tuhanlah Maha Segala-galanya. Tuhanlah yang Maha Penolong dan Pemberi kenikmatan. Bukan si Licin Mulus tadi yang bisa memberi segala kenikmatan. Masih ada Yang Maha Segalanya di atas sana yang juga Maha Melihat menatap kita jenaka kalau kita terpeleset sedikit. Kalaupun iya, itu hanya kenikmatan fana. Maka, di detik-detik licin paling menegangkan tersebut, kita akan mengamalkan iman tersebut di hati dan perilaku kita.

  1. Wujud Peduli terhadap Sesama

Tentu kita semua telah diajarkan kepedulian dalam apapun kepercayaan kita. Perintah untuk bersikap toleran dan peduli telah ditanamkan pada diri kita bahkan sejak kita masih pada tahapan sosialisasi Prepatory. Tentunya jika memang seperti itu, logikanya kita mengamalkan sikap tersebut dengan stimulus dari alam bawah sadar kita. Tak perlu lagilah adanya prosesi keberatan dalam membayar pajak. Karena kita sudah pasti tahu, dari membayar pajak, berarti kita sudah peduli terhadap sekolah rusak di daerah tertinggal, fasilitas kesehatan di daerah tertinggal,dan bila mungkin dari kontribusi kita, tidak akan ada lagi daerah terbelakang. Tidak aka nada lagi yang namanya kesenjangan konstruksi di Bumi Pertiwi ini. Dalam konteks ini, kita tidak hanya peduli pada sesama, pun pada pemerintah juga. Kita akan sedikit membantu mengurangi beban utang negara. Setidaknya, utang negara tidak akan bertambah. Banyak alasan yang membuat Indonesia memiliki utang sampai sekarang. Mulai dari peninggalan pemerintahan sebelumnya hingga struktur APBN yang defisit menjadi alasan terus bertambahnya jumlah utang Indonesia. Juga perlu diketahui, bahwa rasio utang Indonesia masih tergolong rendah dari negara lain. Indonesia dengan rasio utang rasio 27,9%. Jepang yang merupakan negara dengan PDB terbesar ketiga di dunia memiliki rasio utang dengan PDB sebesar 229,2%, Yunani dengan 176,9%, bahkan Amerika dengan predikat negara adidaya dan penguasa ekonomi dunia memiliki rasio utang sebesar 104,17%, utang Indonesia juga terhitung cukup rendah jika dibandingkan dengan Singapura (104,7%), Malaysia (53,2%), Filipina (42,1%), dan Thailand (44,4%) (sumber: http://www.anggaran.depkeu.go.id/  Menghapus Opini Negatif Masyarakat terhadap Utang Indonesia)

  1. Nilai Jujur dan Sabar

Dalam sistem perpajakan, negara kita menganut sistem self-assessment. Dimana dalam membayar pajak, kita diberikan kepercayaan dalam menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri (sumber: http://www.anggaran.depkeu.go.id/ Inklusi Kesadaran Pajak melalui Penguatan Pendidikan Karakter

 Tentunya kita akan belajar mengenai kejujuran, juga kesabaran dalam bentuk sabar menahan menyentuh si Licin Mulus yang bukan hak kita, sabar dalam menahan amarah ketika sudah jatuh tempo untuk membayar pajak.

Baiklah, setelah kita ketahui dampak mekanisme transaksi pajak yang baik dan benar, kita akan sadar di sisi mana kesalahan kita masing-masing. Dan yang paling penting dari semua itu adalah  kita satu sama lain harus bekerja sama (pemerintah dan masyarakat). Bagaimanapun, kepercayaan masyarakat adalah poin utama dalam setiap kebijakan yang diberikan pemerintah. Dari kepercayaan tadi, timbullah keselarasan dalam membentuk dan mengembangkan segala macau upaya kita bersama yang tidak lain tidak bukan hanyalah demi kemajuan Bumi Khatulistiwa tercinta ini. 

Ikuti tulisan menarik nur mazidah nafala lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler