Apakah Semesta Hanya Diisi Manusia Nyebelin?

Rabu, 3 Mei 2023 07:37 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sikap manusia yang kurang menerima perbedaan kebiasaan, adat, dan perilaku seseorang menjadi pemicu hubungan interaksi palsu. Segala komunikasi dan gotong royong hanya sebuah jadi kewajiban, bukan lagi cara bertahan hidup mengutamakan simbiosis mutualisme. Karena itu, mungkin di antara kita selalu merasakan lelah berlebih setelah bertemu orang banyak.

Akhir-akhir ini Tuhan sedang menguji kekuatan mental hambanya yang mageran seperti gue. Dalam sepekan ada aja kejadian atau hal kecil yang bikin mood gue hilang mendadak, entah ketika lagi baca buku atau santai di ruang tamu. Ada aja orang yang tidak emngerti kalau gue lagi me time di tengah keramaian. Ada juga yang sok asik mendekati gue yang menyendiri (mungkin dia kira gue mahkluk lemah yang engga sanggup hidup dalam kesepian). 

Konon memang manusia adalah makhluk sosial. Manusia berkomunikasi dan bergotong royong dengan manusia lainnya untuk bertahan hidup. Interaksi yang terjalin membuat manusia menjadi kuat menghadapi segala hal bersama-sama. Namun bukan berarti manusia bisa berlaku seenaknya untuk  sebuah interaksi, iya kan? Dan bukan berarti kita bisa menerobos batas otoritas manusia lain demi sesuatu yang kita namai sebagai kebersamaan? Gue kadang berpikir apakah setiap orang pengen menjadi sosok yang superior atau memang mereka sudah kehilangan pengakuan, sehingga mereka melakukan hal-hal tersebut. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hampir setiap hari gue harus menghadapi orang nyebelin seperti itu. Contohnya ada orang yang kadang memaksa kita untuk melakukan sesuatu atau mengikuti persepsi yang dimilikinya. Ada juga yang memaksa merespons/menanggapi sesuatu, padahal kita tidak punya kaitan apa pun. Dan atau ada orang yang memaksa miliki kesamaan atas nama solidaritas/keseragaman, padahal tidak berpengaruh dalam kehidupan kita, bahkan kadang sangat mengganggu. 

Bagi sebagian orang persoalan ini dianggap lebai dan gue si paling baperan, engga asik, kurang jauh maennya dan seterusnya. Menurut gue persoalan ini engga bisa dianggap enteng. Makin lama dalam suatu komunitas pertemanan atau lingkungan kerja sekali pun, jika dibiarkan maka akan menjadi lingkungan yang toksik. Orang-orang di dalamnya pun akan saling ingin mengendalikan satu dengan yang lain, dan rasa ingin mengendalikan itu akan terus menerus mengarah pada seseorang yang lemah. Pada akhirnya tanpa sadar kita menciptakan suatu dikotomi antara geng terkuat dengan geng terlemah. 

Sikap manusia yang kurang menerima perbedaan kebiasaan, adat, dan perilaku seseorang akan menjadi pemicu hubungan interaksi yang palsu. Segala komunikasi dan gotong royong hanya sebuah kewajiban yang perlu dilakukan sebagai manusia, bukan lagi menjadi cara bertahan hidup dengan mengutamakan simbiosis mutualisme. Karena itu, mungkin di antara kita (termasuk gue) selalu merasakan lelah berlebih setelah bertemu dengan orang banyak. Sebab sepanjang pertemuan itu kita hanya berpura-pura nyaman, tenang dan bahagia. Energi yang kita gunakan habis untuk menyenangkan orang lain, di saat orang lain melampaui batasan yang sudah kita tentukan. 

Manusia memang tidak dapat sepenuhnya ngendalikan segala sesuatu yang terjadi di luar dirinya, selain yang ada dalam diri sendiri. Sebab itu tidak aneh jika seseorang memilih jauh lebih baik menikmati kesendirian, dibanding dengan keramaian yang membuat perasaannya lelah atau terluka. Mencegah sesuatu yang tidak dapat dikendalikan adalah suatu kebodohan dan tidak rasional. Sampai di sini gue merasa kalau setiap manusia engga saling memahami satu dengan yang lain, selamanya semesta ini akan terasa dipenuhi manusia yang nyebelin. Akhirnya kita memiliki persepsi bahwa manusia diciptakan untuk nyebelin satu dengan yang lainya. 

2023.

Bagikan Artikel Ini
img-content
irvan syahril

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler