x

Kesmitikan agama terjadi. Karena disinyalir oleh akal, kemampuan mistik dan imajinasi tinggi

Iklan

Em Fardhan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Kamis, 4 Mei 2023 12:49 WIB

Kala Hilangnya Agama

Sebuah cerpen imaginer yang berangkat dari keresahan perpecahan karena agama.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Negeri yang diberkati oleh para Dewa itu bernama Taranusan. Negeri yang kaya raya akan sumberdaya alam, sukubangsa, dan kebudayaannya. Keindahan negerinya pun tiada tara, sehingga membuat negeri-negeri lain iri dan berebut ingin menguasainya. Namun, negeri Taranusan adalah negeri yang berjaya, berdikari, dan berdaulat. Sehingga susah untuk di tembus dengan senjata model apapun oleh negeri yang ingin memilikinya. Penduduknya pun hidup berkecukupan gemah ripah loh jinawi karena mempunyai Raja yang bijaksana lagi kuat berwibawa.

Meski terdiri dari berbagai suku bangsa dan kebudayaan, tapi negeri itu sangat menghargai perbedaan. Ketika kepercayaan yang satu tengah menggelar hari besarnya, kepercayaan yang lain ikut membantu mengamankannya. Begitulah saling bergantian. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan. Meski berbeda-beda tetapi sejatinya satu jua itu adalah prinsip mereka.

Namun, ada satu keluhuran sekaligus bisa jadi suatu kelemahan, karena saking terbuka, negeri Taranusan membolehkan segala jenis ajaran tumbuh di negeri itu. Tentu dengan satu catatan, tidak menimbulkan kegaduhan secara sosial kebudayaan maupun kenegaraan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, ternyata kelak itu bisa jadi celah bagi bibit-bibit penggerogot kedamaian negeri bertumbuh, yang kemudian mulai menggembosi kerukunan negeri Taranusan secara perlahan tapi pasti.

Negeri Taranusan benar-benar indah. Baik indah di dalam maupun di luarnya. Baik alamnya juga manusianya. Sehingga tak usah lagi menghayalkan surga atau nirwana di alam antah barantah, karena negeri itu sendiri adalah nirwana yang sesungguhnya.

Namun, itu dulu...

Sebelum pada akhirnya banyak gejolak perbedaan yang perlahan-lahan merontokkan ikatan-ikatan kedamaian dan kesejahteraan itu, hingga kini yang tersisa hanyalah para b*jing*n penghianat negeri serta tongga-tonggak permusuhan yang semakin terpancang kuat entah sampai kapan akan tumbang.

Jika dulu kala yang membuat takjub negeri lain bahkan para dewa adalah karena toleransinya yang tinggi, kini kebalikannya. Permusuhan terbesar adalah masalah kepercayaan, dan kedua adalah kekuasaan. Karena setiap pemeluk kepercayaan rela mati demi kepercayaannya, banyak kepentingan-kepentingan kekuasaan yang memanfaatkan celah itu untuk mereka tunggangi dan nyatanya itu sangat efektif.

Setiap penganut kepercayaan semakin lama merasa kepercayaan mereka lah yang paling benar, sehingga makin lama makin menimbulkan kekacauan. Saling debat dan sikut-sikutan pun tak terelakan setiap detik, setiap sudut, bahkan setiap hela napas mereka yang keluar digunakan untuk saling berebutan benar.

Setiap agama berlomba-lomba untuk mendominasi wilayah dan memperluasnya dengan kepercayaan mereka masing-masing. Kini, bahkan telah sampai di titik ekstrim, bahwa mereka percaya bahwa Tuhan mereka berbeda. Sehingga alasan untuk memusnahkan satu dengan yang lainnya pun semakin santar karena tak ada beban moralitas apapun lagi.

Kemanusiaan? Jangan tanya, ia sudah lama mati.

Energi kebencian dan kesombongan telah mengepung negeri itu begitu padat. Dewa kegelapan seolah terbahak-bahak di atas singgasananya. Kemenangan yang agung bagi raja diraja kegelapan. Terkutuklah ia! Energi kegelapan itu telah merasuki dan mengaliri darah-darah mereka para penduduk negeri, sehingga segala tindak pikiran dan tindak laku yang tercipta hanyalah kebencian dan permusuhan, kini hampir tiada tempat yang tersisa lagi untuk bertinggal barang secuil kedamaian.

Peninggalan leluhur baik melalui gugon tuhon, prasasti, serta jejak peradaban pun banyak di musnahkan karena dianggap sesat dan kolot. Beberapa terlihat terbengkalai tak terawat, beberapa tempat lagi masih mending tetapi kehilangan esensinya sebab hanya dijadikan rekreasi belaka. Menunggu waktu untuk terkubur dan kemudian terlupakan selamanya.

Sampai pada akhirnya para dewa semesta pun resah. Sebab energi gejolak kebencian-kebencian itu telah merusak sistem keseimbangan kosmik. Telah di luar batasnya. Para dewa harus segera ambil sikap untuk menyelamatkan umat manusia di negeri itu. Sebab negeri itu konon adalah negeri teladan dan yang mengawali peradaban. Kalau ia rusak, semua negeri pun akan terkena dampaknya. Akibatnya akan terjadi chaos secara besar-besaran sehingga akan musnahlah seluruh peradaban di bumi karena pasti akan saling menghancurkan.

Para dewan semesta pun akhirnya berembuk. Setiap dewan mengajukan pendapatnya masing-masing. Bahkan ada pendapat dari salah satu dewan agar peradaban di musnahkan saja, reset dari awal dan diganti dengan makhluk baru seperti masa-masa sebelumnya. Namun, ketua dewan semesta menolak. Pasti ada sebuah cara untuk menyelamatkannya dan mengembalikan kejayaan serta kedamaian masa lampau yang telah di capai leluhur-leluhurnya.

Akhirnya ada satu cara. Setelah berembuk untuk beberapa saat, akhirnya para dewan pun setuju. Ketua dewan semesta mengetuk palu. Dan cara itu akan segera di laksanakan.

Dewan itu bermaksud menemui Dewan Wahyu, yakni dewan spesialis penghantar wahyu ketuhanan kepada wakil Tuhan di bumi masa demi masa, peradaban demi peradaban. Dia dewan spesial yang hanya bertugas menyampaikan wahyu, makhluk mulia dari dimensi atas, sebut saja Brilgadar. Para dewan itu berpendapat bahwa Brilgadar satu-satunya makhluk yang paling bertanggung jawab atas kekacauan ini semua. Sebab ialah yang punya tugas menyampaikan kebajikan. Kalau yang disampaikan sama, kenapa akhirnya menjadi berbeda-beda seperti sekarang ini. Bahkan kini setiap kepercayaan punya Tuhan masing-masing.

Brilgadar pun bersedia. Karena ia juga merasa bahwa ini adalah tanggung jawabnya. Diam-diam ia punya cara tersendiri untuk menyelesaikannya.

Pada suatu malam purnama, Brilgadar turun ke bumi dan langsung menuju negeri Taranusan. Dia hinggap di atas puncak sebuah gunung yang menjadi poros negeri itu, sehingga kilauan sayapnya yang megah lagi gagah semakin tampak memesona kala tersiram cahaya bulan purnama.

Ia mendapati kini bumi demikian gersang. Baik gersang tempatnya juga gersang kesadaran manusianya. Ia sedikit menahan rasa marah, tetapi bukan marah angkara murka, tetapi marah yang suci adanya.

Dengan sorot mata yang tajam lagi tenang, ia mengibaskan sayapnya secara perlahan. Secara ajaib muncul asap putih yang cukup tebal keluar dari sela-sela sayapnya. Perlahan-lahan kabut itu menyebar ke segala penjuru negeri, ke segenap penjuru mata angin, sehingga terkepung lah negeri itu dengan asap dalam sekejap.

Setelah usai ia pun segera kembali melesat kembali ke asalnya.

Keesokan paginya negeri itu dibuat gempar. Gempar segempar-gemparnya. Sebab segala jenis rumah ibadah masing-masing penganut kepercayaan itu hilang. Segala kitab suci yang tertulis pun ikut musnah. Semua simbol yang berhubungan dengan kepercayaannya pun tak berbekas, kecuali hanya tersisa satu simbol saja yakni pakaian yang mereka kenakan.

"Tuhan hilang, Tuhan hilang!" Begitulah seru mereka panik hampir bersamaan.

Suara gaduh terdengar disetiap penjuru negeri itu. Aktivitas apapun lumpuh total. Sebab negeri itu napas utamanya adalah kepercayaan mereka, sehingga tak ada gairah untuk melakukan apapun lagi. Bahkan mereka tak perduli dengan keluarganya sendiri.

Bukankah mereka bisa membuat atau membangun lagi kepercayaan itu? Ini anehnya, segala pengetahuan akan kepercayaan masing-masing yang selama ini mereka genggam dalam pikiran pun musnah. Hilang. Mereka hanya ingat bahwa mereka pernah memiliki, tapi tak ingat isi-isinya lagi. Semua benar-benar lenyap tak berbekas.

 

Sebulan pun telah berlalu. Negeri itu semakin kacau tak karuan karena segala lini roda kehidupan berhenti. Semua hanya sibuk mencari dan menemukan kembali kepercayaan mereka. Baik rumah ibadah, kitab suci, ataupun simbol-simbol yang berhubungan dengan kepercayaan mereka.

 

Gelap, kalut, dan kacau.

 

Namun, satu hal yang terlihat mencolok. Yang tadinya mereka saling benci antar penganut kepercayaan lain, sekarang tidak ada atau tepatnya tidak sempat lagi untuk bertarung berebut benar. Mereka benar-benar sibuk dengan mencari kepercayaannya masing-masing yang telah hilang.

 

Sampai kemudian, setelah sampai di satu titik paling rendah dari mereka, ada bisikan yang sama di setiap relung hati mereka. Bahwa pemuka kepercayaan mereka harus mengambil kepercayaan yang hilang itu ke jauh di negeri seberang. Melewati lembah, bukit, dan samudra. Tepatnya di sebuah puncak gunung tertinggi di dunia. 

 

Setiap pemuka agama mendapat bisikan masing-masing, sehingga berangkatlah mereka ke tempat yang di tunjukan oleh bisikan itu, tentu tidak saling mengetahui satu sama lain dan berangkatnya pun berbeda jalur. Sejak kejadian hilangnya agama mereka itu, tak napsu lagi saling mengurusi satu sama lain. Mereka masing-masing benar-benar fokus dengan masalahnya sendiri.

 

Perjalanan itu bukanlah perjalanan mudah. Para pemuka kepercayaan itu berjumlah 4 orang, yang sudah jelas mewakili 4 kepercayaan terbesar di negeri Taranusan. Ada si pemuka kepercayaan Anting, si pemuka kepercayaan Gelang, si pemuka kepercayaan Cincin, dan ada satu yang paling banyak massanya meski ia bukan ajaran asli negeri Taranusan, kepercayaan Emas.

 

Setiap pemuka kepercayaan itu terus berusaha. Menurut bisikan dari setiap relung hati masing-masing, mereka dilarang untuk membawa teman. Jadi harus sendirian saja, kalau kepercayaan mereka mau kembali lagi.

 

Tentu bukan perjalanan yang mudah. Setiap pemuka punya tantangan dan rintangannya sendiri. Masing-masing punya jalurnya sendiri. Hingga setelah bertahun-tahun mereka berusaha akhirnya mereka sampai di tempat yang di maksud dalam bisikan itu: gunung Halyama, gunung tertinggi di dunia.

 

Entah suatu keajaiban atau memang sebab suatu kehendak yang satu, mereka pun tiba secara bersamaan. Benar-benar bersamaan. Di tempat yang sama di waktu yang sama.

 

Tentu mereka saling kaget satu sama lain, karena dari awal mereka memang tidak saling mengetahui bahwa dapat bisikan yang sama. Namun, rasa kaget itu bertahan sekejab saja, mereka mulai tidak saling memperdulikan lagi. Dalam benak masing-masing hanya agar kepercayaan mereka dan umatnya kembali. Tidak peduli hal yang lain.

 

Lama mereka menunggu, sampai sebuah sosok bercahaya bersayap megah turun perlahan dari langit.

 

Empat pemuka agama itu terpana, sebab seumur hidupnya tidak pernah menyaksikan penampakan demikian.

 

"Akulah yang telah mengambil agama kalian dan setelah urusan selesai akan segera aku kembalikan." Sosok bercahaya itu bersuara, terdengar sangat jauh tapi sanggup menggedor kuat lubuk hati terdalam para pemuka agama itu.

 

Setiap pemuka agama terlihat tersenyum, kemudian saling melirik satu sama lain. Ada sebuah hal dibanggakan masing-masing.

 

Dalam pandangan agama Cincin, sosok itu menyerupai simbol orang suci di agamanya. Dalam pandangan agama Gelang, sosok itu juga menyerupai simbol orang suci dalam agamanya. Begitu pula dalam pandangan pemuka agama Kalung dan Emas. Setiap mereka meliihat dengan konsepnya masing-masing. Satu sosok tapi punya empat rupa. Namun, tentu antara satu sama lain tidak saling mengetahui.

 

"Lihatlah, sosok yang mengambil agama itu adalah persis seperti orang suci dalam agamaku, pasti agamakulah yang paling benar," celetuk pemuka agama Emas spontan, karena tidak tahan dengan rasa paling benarnya.

 

"Apa kau buta, itu jelas sosok orang suci dari agamaku!" Terdengar pemuka agama Cincin menimpali.

 

Pemuka agama Gelang tidak mau kalah, "Barangkali kalian kelelahan sehingga pandangan kalian menjadi terganggu. Itu adalah sosok orang suci di agamaku."

 

"Kalian bertiga silahkan berbicara ngelantur, aku tidak peduli, di mataku ia jelas sosok orang suci di agamaku!" timpal pemuka agama Anting.

 

Debat pun tak terelakkan. Suasana yang sempat mereda sebab peristiwa kehilangan agama mereka kini muncul kembali. Gairah kebencian seketika meluap tak terkendali sampai kemudian sosok bercahaya yang mereka lihat berbeda-beda itu kemudian pecah menjadi 4 wajahnya, tetapi tetap satu tubuh saja.

 

Seketika semua diam. Lidah kelu. Semua terpana. Kini mereka berempat dapat melihat dengan jelas keempat wajah sosok orang suci di setiap agama mereka masing-masing secara bersamaan.

 

"Apa yang kiranya membuat kalian merasa berbeda? Sehingga harus terus-menerus bermusuhan. Ajaran Tuhan hanya satu, tidak pernah menciptakan ajaran-ajaran yang menimbulkan perbedaan! Kalau kalian sanggup menjawab pertanyaan ini, agama kalian akan aku kembalikan." Sosok bercahaya yang ternyata adalah Brilgadar itu bersuara lagi.

 

Tapi semua tak ada yang menjawab. Lidah masing-masing kelu.

 

"Apa kalian semua tuli?"

 

Hening. Suara mereka masih tercekat di tenggorokan.

 

Sampai kemudian pemuka agama Anting bersuara juga, dengan sangat berat, "Tuhan kami jelas berbeda. Karena segala puja-puji dan aturan agama juga berbeda. Nama agama berbeda. Pakaian kamu pun kami berbeda."

 

"Ya, kami berbeda. Tuhan kami berbeda!" seru tiga pemuka agama hampir bersamaan.

 

"Baiklah. Sekarang lepas baju kalian."

 

Bingunglah mereka semua.

 

Karena tak ada yang mulai menanggapi, sekali kibas dengan sayapnya, pakaian para pemuka agama itu lenyap entah kemana. Semua benar-benar bugil. Tapi bugil ini tidak menimbulkan malu tidak seperti bugil yang biasanya. Mereka justru masih bingung dengan tingkah laku Brilgadar.

 

"Kalau kalian merasa kalian punya Tuhan sendiri-sendiri, berarti Tuhan itu ada banyak. Coba lihat dengan seksama. Sekarang kalian tidak punya agama. Simbol. Bahkan baju. Sekarang kalian benar-benar polos bak bayi yang baru lahir ke dunia. Perhatikan. Apa yang membuat kalian beda? Kalian punya mata dua, hidung, mulut, tangan, juga kaki. Kalian makan, bersuara, berketurunan, apakah itu belum cukup menjelaskan bahwa kalian diciptakan oleh Tuhan yang sama!"

 

Bergetar lah hati para pemuka agama itu. Sangat dahsyat. Hingga mulai badannya berguncang- guncang.

 

"Tuhan tidak pernah membuat banyak ajaran, hanya satu saja. Kalian yang salah memahami. Kalian yang membakukan dan menyebarkannya dengan ego kalian. Tidak masalah kalau kalian membuat aturan dan membakukan, karena kalian juga diberi kehendak dan kecerdasan berkarya oleh Tuhan, tapi jangan hanya karena beda kulit kalian lupa akan esensinya!"

 

Makin terguncanglah para pemuka agama itu. Rasa bersalah menampar-nampar mereka.

 

"Kalian sebagai pemuka agama adalah orang yang paling bertanggung jawab atas segala segala permusuhan ini. Kalian menciptakan Tuhan kalian sendiri melalui konsep agama kalian lalu menyembahnya sendiri, sedangkan Tuhan yang sejati kalian lupakan. Kalian benar-benar keterlaluan!"

 

Kali ini sudah tidak kuat lagi para pemuka agama itu untuk mendengarkan. Mereka berempat pingsan secara bersamaan.

 

***

 

            Mata pemuka agama Gelang terbuka, begitu pula pemuka agama yang lain. Kini mereka masing-masinh sudah tidak lagi di tempat aneh dengan sosok bersayap yang aneh. Mereka telah kembali ke rumahnya masing-masing.

 

Sambil menata kesadarannya, rasa bersalah Yang sangat kuat itu masih berapi membakar dirinya. Seolah baru saja dinyalakan. 

 

Diluar terdengar suara-suara para umatnya melantunkan mantra-mantra agama mereka masing-masing. Apakah agama mereka telah kembali?

 

Buru-buru ia keluar rumah, suasana menjadi normal seperti biasa seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya. Tak ada kehilangan simbol, tempat ibadah, dan hapalan-hapalan. 

 

Namun, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari kejauhan, seperti biasa para umatnya saling berkelahi dengan umat agama lain. Para pemuka agama itu dengan pikiran masing-masing menjadi takut. Takut sekali. Bercampur dengan rasa sesal yang sedari tadi tak mau berhenti.

 

Para pemuka agama itu ingin mencegah, tapi gelombang umat yang tengah berkelahi makin deras. Kemudian hanya bisa bergeming, dalam hatinya merasa tak yakin bakal bisa memperbaiki ini semua dalam waktu yang singkat. Karena sudah terlalu parah. Alih-alih ia mampu menyadarkan kembali umatnya, justru ia sendiri yang bisa dibilang sesat oleh umatnya.

 

 

End.

 

*** 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Em Fardhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler