x

Iklan

Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Marhaenisme
Bergabung Sejak: 1 April 2023

Minggu, 14 Mei 2023 13:10 WIB

Konflik Agraria dan Kekerasan yang Masih Menjadi Alat Penyelesaian

Konflik agraria pada era reformasi ini masih menjadi permasalahan bangsa. Rezim era reformasi masih menggunakan kekerasan dalam penyelesaiannya. Apakah reforma agraria adalah solusi dari kekerasan? Memang tidak semua penanganan menggunakan kekerasan, tetapi beberapa kasus telah menyimpulkan bahwa metode yang dilakukan oleh rezim pasca-Soeharto masih serupa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kekerasan dalam kasus sengketa kepemilikan hak atas tanah di Indonesia masih tinggi pasca reformasi. Lebih parah lagi, apabila sengketa agraria tersebut sudah berubah menjadi konflik kepemilikan dan penguasaan. Kekerasan digunakan sebagai alat untuk mempertahankan klaim hak atas tanah tersebut.

Berdasarkan angka yang didapatkan dari riset Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), kasus paling banyak terjadi di 5 provinsi, yaitu: Jawa Barat terdapat 25 kasus, Sumatera Utara (22) , Jawa Timur sama dengan Kalimantan Barat dengan jumlah 13 kasus, dan Sulawesi Selatan (12). KPA juga mencatat dalam kasus konflik agraria, rakyat mendapatkan kriminalisasi dengan 497 kasus, yang selanjutnya mengakibatkan 38 kasus penganiayaan, 3 kasus mengalami luka tembak, dan 3 korban tewas.
 
Jika melihat angka-angka itu, telah membuktikan bahwa rezim pasca kepemimpinan Soeharto telah gagal menyelesaikan konflik agraria dengan pendekatan humanis. Rezim pemerintahan pasca-reformasi masih gagal mencegah langgengnya aksi kekerasan kepada rakyat petani yang memang membutuhkan tanah. Rezim-rezim pasca-Soeharto ini juga telah gagal membuat suatu instrumen hukum yang dapat melindungi rakyat/tani dari kekerasan oleh negara atau aktor bukan negara.
 
Memang tidak semua penanganan menggunakan kekerasan, tetapi beberapa kasus telah menyimpulkan bahwa metode yang dilakukan oleh rezim pasca-Soeharto masih serupa dan hampir sama dengan metode yang dilakukan oleh pendahulunya itu. Ada beberapa alasan kekerasan dalam konflik agraria itu masih terjadi dan dilakukan, yaitu:
 
Pertama, rezim kepemimpinan masa reformasi masih menggunakan pendekatan militerisme dalam menghadapi dan menyelesaikan sengketa/konflik agraria yang terjadi. Sementara, di sisi lain, kekuatan perlawanan rakyat sudah meningkat cukup signifikan.
 
Kedua, tidak adanya suatu instrumen kebijakan yang jelas dari pemerintah masa reformasi dalam mengatasi sengketa-sengketa agraria yang sudah terjadi pada masa lalu, tetapi belum menemukan titik penyelesaiannya, dan sengketa agraria yang terjadi pada masa sekarang.
 
Ketiga, politik hukum kebijakan agraria masa reformasi tidak jauh berbeda dengan masa kepemimpinan Soeharto. Pola penguasaan agraria di era reformasi masih menitikberatkan pada monopoli penguasaan tanah besar-besaran dan mendepankan kepentingan penguasa. Sementara di sisi lainnya, tuntutan rakyat/tani akan tanahnya dan tuntutan pengembalian tanah yang telah dirampas pada masa yang lalu semakin mengeras gelombangnya.
 
Keempat, rezim era reformasi mengabaikan himbauan dan peringatan dari ornop-ornop dan koalisi masyarakat sipil terkait dengan penyelesaian sengketa agraria setelah pergantian kekuasaan. Begitu pula pengabaian tentang agenda reformasi agraria di Indonesia yang telah ditawarkan ornop-ornop dan organisasi tani agar segera diwujudkan pasca-reformasi menjadi faktornya.
 
Tuntutan-tuntutan untuk mewujudkan reforma agraria di Indonesia bukanlah sekadar tuntutan yang tidak memiliki dasar, bukan tuntutan yang hanya angan-angan saja. Tuntutan tersebut didasari oleh beberapa alasan, yaitu:
 
Pertama, tidak pernah diselesaikannya kasus sengketa/konflik agraria secara benar-benar tuntas dan tidak terlihatnya keadilan dalam menyelesaikannya. Hal itu terlihat tidak adanya keberpihakan kepada rakyat, terkhusus kaum tani, padahal kaum tani sangatlah membutuhkan tanah untuk hidupnya.
 
Kedua, telah terjadinya ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia, yang telah mengakibatkan kemiskinan di perdesaan dan di sisi lainnya memicu terjadinya konflik agraria. Tidak hanya itu, pembangunan di perkotaan pun seperti kejam kepada rakyat miskin kota. Mereka tergilas dengan pembangunan yang mementingkan gengsi internasional dan tidak mempertimbangkan esensi dan fungsinya bagi rakyat secara keseluruhan. Tanah mereka dengan mudah dirampas dengan dalih pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
 
Ketiga atau terakhir, tidak beresnya implementasi hukum agraria nasional oleh pemerintah atau pihak perusahaan yang berkepentingan. Mereka menggunakan hukum agraria nasional dan produk turunannya untuk kepentingan dan ambisi segelintir pihak dan kepentingan investasi, baik investasi nasional maupun dunia, dengan tujuan menguasai sumber-sumber agraria di Indonesia.

Tambang batubara di hamparan tanah negeriku

Konflik agraria masih menjadi permasalahan mendasar bagi bangsa ini. Kita sebagai bangsa, harus merenung kembali, memikirkan dan mencarikan solusi. Lalu, apakah reforma agraria adalah jawabannya? Merombak dan menyusun kembali tatanan kepenguasaan agraria dengan adil dan merata?

Referensi:
Noer Fauzi Rachman, Bersaksi untuk Pembaruan Agraria Dari Tuntutan Lokal Hingga Kecenderungan Global (Yogyakarta, INSIST Press, 2016).
 
 
Konsorsium Pembaruan Agraria, Catatan Akhir Tahun 2021 Penggusuran Skala Nasional (PSN) (Jakarta, KPA, 2021).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler