Nias Pulau Impian, Yaahowu Fefu
Jumat, 19 Mei 2023 15:57 WIBPulau impian, pulau Nias, pulau yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera. Pulau ini pernah dihantam oleh tsunami dan gempa bumi pada tahun 2004 dan 2005. Hal ini tentu berpengaruh pada jumlah kunjungan wisatawan dan merupakan salah satu ketakutan banyak orang untuk berkunjung ke pulau Nias.
HORAS!
Ketika mendengar sapaan tersebut, yang ada dalam benak seseorang adalah Batak, Medan, Sumatera Utara. Sumatera Utara adalah provinsi dengan jumlah penduduk terbesar keempat setelah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Tidak hanya dihuni oleh suku Batak, Sumatera Utara merupakan provinsi multietnis, ada suku Jawa, Melayu, Minang, Nias, Aceh, Tionghoa dan India.
Kali ini saya akan bercerita tentang salah satu suku yang ada di Sumatera Utara. Saya akan sapa para pembaca dengan salam kebanggaan suku tersebut. Ya'ahowu...
Pulau impian, pulau Nias, pulau yang terletak di sebelah barat pulau Sumatera. Pulau ini pernah dihantam oleh tsunami dan gempa bumi pada tahun 2004 dan 2005. Hal ini tentu berpengaruh pada jumlah kunjungan wisatawan dan merupakan salah satu ketakutan banyak orang untuk berkunjung ke pulau Nias.
Kalau kamu, apa yang masih membuatmu ragu untuk berkunjung dan menikmati pesona pulau Nias? Jangan katakan alasannya tidak punya uang ya, karena selain jalur udara, transportasi ke pulau Nias sudah pasti melalui laut (silahkan tertawa berjamaah hahaha, namanya juga pulau yang dikelilingi laut).
Oke, dari Pelabuhan Sibolga menuju pelabuhan Teluk Dalam, Nias Selatan hanya menempuh 10-12 jam dan dengan tiket VIP kurang dari Rp.300.000,-. Wah, murah meriah bukan? VIP itu sudah pakai AC dan hanya berdua 1 kamar. Untuk tiket bisnis hanya Rp.170.000.
Nah, coba hitung sendiri kira-kira berapa biaya yang akan kamu persiapkan untuk ke Nias jika kamu bepergian melalui transportasi laut. Ah, saya mabuk laut, malas dong ke Nias. Eittsss, di Gunung Sitoli ada bandara Binaka.
Dari Medan, kamu bisa tiba di Nias dengan waktu tempuh kurang dari 55 menit dengan harga tiket di bawah Rp.1.000.000 menggunakan maskapai Garuda. Ayo, tunggu apa lagi? Menabunglah dari sekarang agar kemudian hari bisa berlibur ke pulau Nias.
Marak terdengar kabar miring tentang suku Nias. Jika hal ini yang membuat kamu takut berkunjung ke Nias, maka kamu keliru. Faktanya, dimanapun, suku apapun, pasti akan selalu ada yang jahat dan ada yang baik.
Selama pikiran kita jahat, maka hidup kita dikelilingi si jahat. Untuk itu, miliki kebiasaan berpikir positif dan bijak menggali informasi. Saya pernah mendengar bahwa suku Nias itu, sebelum anak lelakinya menikah, maka sang mertua lelaki terlebih dahulu akan behubungan intim dengan menantunya untuk memastikan apakah calon menantunya tersebut masih perawan atau tidak.
Ini salah satu HOAX yang masih ditelan mentah-mentah oleh masyarakat awam. Berita negatif lainnya adalah asumsi bahwa suku Nias itu pembunuh sesama.
Mungkin hal ini dikaitkan dengan Nias kuno zaman peperangan dahulu, sementara di zaman modern ini Nias sudah mengubah jiwa warrior menjadi tari perang. Baiklah, saya mau bertanya di Indonesia ini suku apa yang sama sekali tidak ada seorangpun yang pernah membunuh?
Tindak kriminal seharusnya jangan langsung dikaitkan dengan suku karena itu adalah kejahatan yang dilakukan oleh oknum sehingga tidak mencemarkan suku tertentu. Yang benar adalah, suku Nias itu cantik-cantik dan tampan-tampan karena menurut penelitian, secara genetika nenek moyang suku Nias berasal dari Taiwan.
Mengapa harus ke Nias? Untuk kamu penikmat senja di tepi laut, di pesisir, di atas pasir pantai, maka Nias Selatan adalah tempat yang harus kamu kunjungi. Destinasi wisata pantai di Nias Selatan ada pantai Sorake, Pantai Lagundri, Pantai Laduha dan masih banyak pantai lainnya yang masih belum terjamah, sungguh asri.
Jangan khawatir jika tidak memiliki keluarga di Nias, kamu bisa menginap di penginapan yang cukup murah, salah satunya penginapan Humaga. Di lantai 3 penginapan Humaga, kamu akan dikenakan tarif Rp. 50.000 per malam dengan kapasitas 2-3 orang, dilengkapi dengan kipas angin, meja dan kursi. Kamu akan dimanjakan dengan pemandangan laut jika kamu memilih menginap disini.
Saya bukan suku Nias dan tidak sedang berdomisili di Nias tetapi saya bangga pernah tinggal di Nias dengan segala keramahan kehangatan penduduknya.
Saya ke Nias Selatan pada Juni 2019 lalu karena sebuah tugas, saya seorang guru pedalaman. Saya mengajar di salah satu SD Negeri di Desa Hilimbuasi, Kecamatan O'o'u, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara. Nias, how wonderful it is.
Tinggal di pegunungan tepatnya di salah satu ruang kelas yang kosong di sekolah, mobilitas terbatas, jaringan sulit, setiap hari menanti hujan untuk dimasak dan dikonsumsi, mandi ke sungai dan hidup berdampingan dengan suku Nias merupakan hadiah berharga yang telah diberikan oleh Indonesia kepada saya.
Sebagai seorang pendidik, saya tidak ingin menutupi fakta dan berkata bahwa kualitas pendidikan di Nias Selatan di atas rata-rata, tidak. Pendidikan di Nias Selatan jauh tertinggal. Saya tidak sedang ingin membahas apakah faktor penyebabnya ini adalah korupsi atau faktor lainnya.
Melainkan , saya rindu para pejabat di Dinas pendidikan ataupun Kemendikbud menyelesaikan PR nya ini, adakan kunjungan lapangan dadakan, evaluasi kesesuaian fakta dan data dan bekerjalah karena cinta untuk Sumatera Utara.
Undangan terbuka ini,
Teruntuk kamu suku Nias lulusan sarjana keguruan bangsa ini,
Lihatlah pelosok Nias menjerit-jerit minta segera diajari,
Mampirlah, setahun mengabdi,
Seumur hidup menginspirasi.
Kisah pengalaman mengajar saya di Hilimbuasi ini mewakili banyak kisah guru di Nias Selatan karena karakter siswa yang sudah lama tidak dijamah pengajaran dan pendidikan hampir sama di kabupaten ini. Rumit, hariku sulit. Langit biru bersembunyi, hujan enggan berhenti, banjir sana sini, emosi sulit dikendali, kain kering tinggal sepasang lagi, akhirnya menguatkan hati berkali-kali.
Saya pikir, saya sedang berbohong pada diri sendiri, berkata saya baik-baik saja meski sebenarnya jenuh dan dilema. Jenuh menghadapi siswa yang uniknya nomor juara.
Mengajar mereka tak lagi sama rasanya seperti triwulan sebelumnya. "Astina, pelosok Indonesia tidak butuh sarjana yang manja, ceritakan lelahmu setelah nanti anak didikmu jadi permata" kira-kira demikian suara hati yang memenuhi ruang kepala.
Saya sudah hapal di luar kepala bagaimana mereka memukuli meja, bergendang di lemari, bersembunyi di laci, mematahkan kursi, merobek buku yang baru dibeli, tidur di lantai, menguap pagi-pagi, membuang kapur tulis, membasahi penghapus dan papan tulis, berteriak histeris, menertawai hal yang sebenarnya garing tiada duanya layaknya orang kesurupan, gentayangan di luar kelas pada jam pelajaran, berkerumun dengan bisingnya seperti aksi demo turunkan presiden, belum lagi kotoran Anjing yang tiap hari jadi penghuni gelap di kelas, ditambah suara bising renovasi dan pembangunan sekolah, lengkaplah sudah, SEMPURNA.
Tak jarang, kepala saya sakit menghadapi kelas yang sungguh berisik ini. Semua guru mengakui kedua kelas ini kelas yang paling suka mengundang amarah di hati. Mau bagaimana lagi, guru lokal sangat jarang datang, akhirnya saya gabung kelas III dan IV, 26 siswa dengan 20 tingkat kemampuan berbeda, papan tulis terbagi.
Siswa belajar sesuai kemampuan diri, beberapa sudah tahap pembagian, beberapa tak kenal huruf sama sekali, beberapa lagi menulis angka dengan terbalik. Tetapi guru, harus lihai membagi cinta dan menata rapi pada puluhan hingga ratusan siswa yang silih berganti menetap di hati.
"Tidak ada siswa yang nakal, yang ada hanya guru yang gagal" gumamku menghibur diri.
Saya sangat percaya diri, suatu hari nanti rindu pada mereka ini akan berkepanjangan, entah apalagi yang pantas saya keluhkan, bagiku mendidik mereka adalah sebuah kemewahan. Atau mungkin, mereka adalah salah satu alasan Tuhan agar saya berdoa tiap malam.
Benar saja, semenjak dengan rutinitas papan tulis terbagi, sayamenjadi pemijit kepala yang handal karena tak mungkin minum paracetamol 3x sehari dengan dosis tinggi. Saya menjadi terlatih meminimalisir kata TUNGGU pada anak agar saya tidak melewatkan sesuatu, mungkin saja cerita tentang neneknya yang punya Kerbau.
Saat ini mereka ahli membuat guru sakit kepala sekaligus mengernyitkan dahi karena tingkah yang terlalu. Sesekali saya tegaskan pada mereka kalau saya tidak baik-baik saja, tolong volume suara dan disiplin diri. Mengingat bahwa tetap saja mereka ini usia anak-anak, tak mungkin kelas saya sulap menjadi ruangan segi empat yang sunyi senyap.
Berbicara dengan diri sendiri alih-alih menyemangati, "saya tak ingin jadi guru yang dikalahkan keadaan, guru yang manja bukan kepalang, apalagi menjadi guru tanpa tujuan, anak muridku harus lulus ujian sekolah kehidupan, yang berkarya tanpa tapi tanpa banyak rebahan."
Menjadi guru pedalaman memang banyak seninya. Pendidikan di Nias Selatan menmprihatinkan siapa saja yang nuraninya menangis melihat para buta aksara tidak ditemani guru di gedung rusak maupun gedung mewah disana.
Jadi, Nias itu kaya di sumber daya alam dan miskin di sumber daya manusia. Meski salah satu menteri kabinet Indonesia maju adalah seorang suku Nias, tidak menjamin bahwa pendidikan di Nias akan berkembang pesat dalam sekejap. Ini tugas kita bersama, terlebih putera-puteri Sumatera Utara, kita Indonesia.
Kira-kira apa yang menggerakkanmu untuk berkunjung ke Nias? Destinasi wisata, budaya atau kondisi pendidikannya?
Sebuah puisi untuk kita nikmati bersama:
Aku ingin
(Karya Astina Hotnauli Marpaung)
Aku ingin menjadi petinggi
Tiap sajak dari mulutku dipuja bak bilanglala
Tetapi
Aku ingin jadi petani
Kubajak, kurawat semua angkara
Sudah kuputuskan
Aku ingin di Sumatera Utara
Jadi lentera para buta aksara
Bersama atma yang mendamba bahagia
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Jati Diri Pendidikan non-Formal
Rabu, 24 Januari 2024 18:03 WIBPuisi untuk kau, aku dan Tuhan
Rabu, 14 Juni 2023 11:27 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler