x

Iklan

Adetya Pramandira

Adetya
Bergabung Sejak: 23 Mei 2023

Selasa, 23 Mei 2023 18:18 WIB

Tradisi Lisan: Perlawanan Warga Desa Penawangan Melawan Tambang, Menggagalkan Transisi Energi Palsu

Tulisan ini mencoba memotret perjuangan warga Desa Penawangan dalam melawan tambang dan menggagalkan skema transisi energi palsu. Folklor atau cerita lisan yang turun-temurun disampaiakan lintas genderasi ternyata mampu menyulut api perjuangan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pendahuluan

            Di sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Ungaran, Jawa Tengah, seorang sesepuh desa (orang yang dituakan di suatu wilayah dan petuahnya dijadikan rujukan)  terheran-heran dengan adanya bencana tanah longsor yang menimpa perbukitan desa mereka. Desa itu adalah Desa Penawangan, desa paling ujung yang terdapat di Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang. Penawangan tergolong desa yang terpencil, dikelilingi oleh kawasan hutan milik Perum Perhutani, berada di puncak perbukitan, dengan hanya memiliki satu akses jalan keluar-masuk. Meski berada di perbukitan, untuk pertama kalinya pada Juli 2023 Penawangan mengalami longsor setelah diguyur hujan berhari-hari.

            Namun, yang membuat sesepuh desa atau bahkan seluruh penduduk desa terheran-heran bukanlah hujan berhari-hari yang berkahir dengan longsornya perbukitan melainkan, apa sesungguhnya penyebab longsor itu terjadi? Pasalnya, puluhan tahun penduduk tinggal di Penawangan berkali-kali juga mereka diguyur hujan deras yang tak kunjung henti—namun, tidak pernah terjadi longsor.  Dalam sekejap berita longsornya bukit telah tersebar ke penjuru desa. Bisik-bisik tentang penyebab longsor sesungguhnya mulai terdengar. Konon, penyebab utama terjadinya longsor adalah amarah mahluk ghaib yang mbahu rekso Desa Penawangan, ia mahluk tak kasat mata yang menunggu dan menjaga kelestarian serta ketentraman desa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Kemarahan ini, masyarakat duga akibat dari proyek pembangunan Bendungan Jragung yang berada di desa tetangga yakni, Dusun Kedung Glatik, Dusun Sapen, Dusun Borangan—yang ketiganya berada di Desa Candisari, masih satu kecamatan dengan Desa Penawangan. Tapi, mengapa pembangunan itu sampai menyulut amarah hyang mbahu rekso Penawangan dan tentunya amarah masyarakat Penawangan?

Proyek Penambangan di Tanah Subur dan Kaya Raya

            Proyek Strategis Nasional Bendungan Jragung telah mulai digarap pada tahun 2020 silam dengan memakan lahan seluas 873, 50 Ha. Proyek ini disebut-sebut sebagai solusi atas banjir yang terjadi di daerah hilir (Semarang dan Demak) sekaligus sebagai bendungan yang menyediakan konsumsi air bersih untuk daerah Semarang, Demak, Kudus dan Grobogan. Tidak hanya itu, bendungan ini juga diproyeksikan sebagai lokasi proyek energi terbarukan yaitu, Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hydro (PLTMH) Jragung.

Luasan 873,50 ha tidak hanya berada di satu titik melainkan tersebar di berbagai wilayah. 635,81 Ha sebagai area genangan dan green belt memakan lahan Perum Perhutani, lahan warga Dusun Sapen, dan seluruh lahan  Dusun Kedung Glatik (termasuk lahan pemukiman). Spoil area seluas 126,90 Ha, Borrow area seluas 101,02 Ha dan Jalan Akses seluas 9,77 Ha. Lokasi borrow area dan jalan akses inilah yang memberikan kerusakan langsung bagi Desa Penawangan. Loaksi borrow area terletak di dua desa yaitu, Desa Penawangan dengan luas borrow area 51,78 ha yang saat ini berupa lahan sawah tadah hujan milik warga serta tanah kas desa, dan Desa Candisari dengan luas borrow area 49,23 ha yang hari ini juga berupa sawah milik warga. Jarak lokasi borrow area di Penawangan dengan lokasi tapak Bendungan Jragung berjarak kurang lebih sepuluh KM dengan terhalang oleh perbukitan Penawangan. Proyek jalan akses seluas 9,77 ha inilah yang akan membelah perbukitan Penawangan untuk menghubungkan lokasi area dan tapak bendungan.

            Lokasi borrow area yang berada di puncak Desa Penawangan inilah yang mengalami penolakan serius dari warga desa. Penolakan ini dilakukan mengingat lokasi yang akan ditambang adalah lahan produktif yang menjadi sumber utama ekonomi warga. Lahan seluas 51,78 ha tersebut merupakan area sawah tadah hujan dan satu-satunya area lapang yang mampu ditanami padi.  

            Sebagai sawah tadah hujan, warga hanya mampu menanami padi sekali dalam setahun yakni, ketika musim penghujan tiba. Menurut penuturan warga biasanya, untuk ukuran sawah 250 meter persegi yang dimiliki mampu menghasilkan padi sebanyak satu samapii dua ton dalam sekali panen. Hasil ini bisa mencukupi kebutuhan pangan setahun penuh untuk satu kepala keluarga yang terdiri dari dua sampai empat jiwa. Sementara itu, jika musim kemarau tiba sawah yang semula ditanami padi beralih ditanami jagung. Namun, ada juga yang masih menanam padi dengan sebutan nggogo, istilah untuk menanam padi dilahan yang tidak banyak terdapat genangan air. Hal ini masih bisa dilakukan lantaran meskipun tidak terdapat air dipermukaan, di dalam tanah justru terdapat banyak sumber-sumber mata air. Bahkan, di titik-titik tertentu, dengan hanya sekali cangkul tanah akan mengeluarkan rembesan air.

            Meskipun berada di wilayah perbukitan dengan kecuraman lereng mencapai 100 derajat, Penawangan memiliki potensi air yang sangat melimpah. Dalam satu desa setidaknya terdapat enam sendang sebagai sumber mata air dengan debit yang cukup besar. Sendang-sendang ini digunakan oleh warga untuk mandi, mencuci, dan irigasi. Selain itu, sebelum masuknya PDAM pada tahun 2017 sendang-sendang ini juga dimanfaatkan warga untuk kebutuhan konsumsi. Kendati PDAM sudah ada, masih banyak warga yang memanfaatkan air sendang untuk sekedar mencuci dan mandi.

Kearifan Lokal sebagai Landasan Perjuangan

            Sulit dipahami bagi warga, mengapa bisa muncul sumber mata air dipuncak perbukitan Penawangan? Padahal, tidak ada aliran sungai besar yang melintasi wilayah desa. Konon, berdasarkan cerita lisan yang turun-temurun dan menjadi ingatan kolektif warga Penawangan, kekayaan sumber daya alam termasuk melimpahnya air di Desa Penawangan adalah berkah karamah dari waliyullah Simbah Raden Ageng Sudjono yang makamnya berada di Dusun Punden sekitar berjarak 250 meter dari lokasi penambangan. Termasuk sumber mata air yang begitu melimpah juga diceritakan sebagai janji Raden Ageng Sudjono ketika pertama kali membabat hutan untuk dijadikan sebuah desa, yang hari ini disebut Penawangan.

            Makam Raden Ageng Sudjono begitu dikeramatkan oleh warga Penawangan, konon siapa yang memiliki suatu keinginan dan meminta kepada yang maha kuasa serta meminta Raden Ageng Sudjono sebagai perantara maka, akan terkabul hajatnya. Meskipun begitu ampuh, hal ini tidak berlaku untuk warga Penawangan sendiri. Ketika warga desa meminta sesuatu dengan mendatangi makam, dipastikan tidak akan pernah terkabulkan. Hal ini, diyakini oleh warga karena Raden Ageng Sudjono telah memberikan lebih dari sekedar materi. Air dan kekayaan alam telah dicukupi oleh Raden Ageng Sudjono, begitupun dengan ketentraman dan keamanan desa.

            Bahkan, hal yang membuat warga begitu yakin untuk melakukan penolakan terhadap pertambangan adalah adanya semacam peringatan yang diterima oleh salah seorang warga—yang diyakini itu berasal dari Raden Ageng Sudjono. Pada suatu malam, seorang warga bernama Parman tergopoh-gopoh mendatangi temannya. Parman terkenal dikalangan warga sebagai orang tua yang tidak bisa membaca maupun menulis. Tiba-tiba ia menyuruh temannya untuk menuliskan sebuah kalimat yang ia sendiri tidak tahu, mengapa muncul kalimat itu dipikirannya? Kalimat itu bertuliskan sebagai berikut :

      Jaman ketekanan wali, adeg mejid kelaparan banyu telung dino telung bengi. Gunung Mundi, Gunung Gandul, Gunung Canting, Gunung Drembogo. Banyu wadahi keranjang mata era patang kranjang nang gunung gandul. Banyu sing ngalor saka Gunung Ungaran, nyatnyono. Saking nggone Nyatnyono Hasan Munadi Dipuro. Gunung Penawangan kui kanggo nyimpen banyu patang kranjang. Jaman kakek moyang Gusti Allah mekeki banyu Penawangan. Dirawat Kiai Ageng Raden Soejono kerabat kalih. Nek misal Gunung Penawangan jeblos, kelaparan banyu. Sumber garing utawa kekeringan, bahaya. Gunung Penawangan, pengayoman Desa Penawangan”

 

"(Zaman adanya wali, mendirikan masjid kelaparan [kekurangan] air tiga hari tiga malam. Gunung Mundi, Gunung Gandul, Gunung Canting, Gunung Drembogo. Air dikemas keranjang rumput [terdiri dari] empat keranjang di Gunung Gandul. Air yang [mengalir] ke utara dari Gunung Ungaran, Nyantnyono. Dari tempat Nyatnyono Hasan Munadi Dipuro. Penawangan itu tempat untuk menyimpan air empat keranjang. Zaman nenek moyang Allah memberikan air Penawangan. [yang kemudian] dirawat [oleh] Kiai Ageng Raden Sudjono [dan] dua sahabatnya. Missal Gunung Penawangan meletus [red. dirusak], kelaparan air. Sumber air akan kering atau kekeringan, itu bahaya. Gunung Penawangan, Pelindung Desa Penawangan)"

 

            Paska berita adanya wangsit tersiyar ke seluruh desa, warga berbondong-bondong mendatangi Parman. Namun, anehnya Parman justru bingung dan tidak mengingat apapun. Menurut Letong, salah seorang sesepuh desa. Peringatan yang diyakini berasal dari Raden Ageng Sudjono merupakan pertanda bahwa warga desa harus solid dan tegas untuk menyatakan penolakan terhadap pertambangan. Apabila bukit penawangan dirusak maka, bahaya hebat semacam kekeringan akan melanda Penawangan yang hari ini damai dan asri.

“Itu peringatan, semua warga harus turut menjaga kelestarian Desa Penawangan. Jangan sampai dirusak, pertambangan yang berujung merusak bukit, mengeruk bukit, harus ditolak. Itu wasilah Mbah Ageng”  Tutur Letong.

            Wangsit itulah yang kemudian menjadi alat perlawanan untuk menolak pertambangan, sembari menyatukan kekuatan dan konsolidasi antar warga. Wangsit yang telah dituliskan dicetak dan disebar ke seluruh warga, setiap warga wajib menempelkan itu di pintu-pintu rumah ataupun jendela.

Folklor dan pengalaman-pengalaman warga bagi sebagian orang mungkin dinilai sebagai hal yang metafisik dan jauh dari kajian ilmiah—yang rasional. Hal ini yang jarang sekali dilihat bahwa, nilai-nilai budaya yang melekat dalam ingatan dan sanubari setiap oranglah yang mampu menggerakkan orang untuk terus berjuang. Dilirik dari kaca mata culture studies dan membaca cerita serta pengalaman warga secara rasional, apa yang disampaikan juga bagian dari kewajiban untuk menjaga lingkungan dan alam. Termasuk menjaganya dari penambangan. Apabila alam penawangan yang kaya dengan sumber mata air sekaligus sebagai lahan produktif pertanian digusur dengan pertambangan tentu, kerusakan dan kelaparan akan terjadi.

Bencana yang Diundang : Sesat Pikir Transisi Energi dan Maruknya Industri Ekstraktif

            Pembangunan Bendungan Jragung yang mengambil tanah urug dengan menambang lahan pertanian di Penawangan tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan di Desa Penawangan. Di tapak, untuk membangun bendungan paling tidak terdapat satu dusun yang ditenggelamkan yaitu, Dusun Kedung Glatik, Desa Candisari. Dalam RKL-RPL yang dimiliki, salah satu tujuan pembangunan bendungan Jragung adalah untuk memfasilitasi proyek PLTMH Jragung dengan kapasitas 1.400 KW sebagai bagian dari mekanisme transisi energi Jawa Tengah.

            Jika ditarik benang merahnya, kasus penambangan yang berkelindan dengan adanya PLTMH sebagai mekanisme transisi energi yang dibayangkan oleh negara adalah salah satu contoh kegagalan negara dalam memahami konsep pembangunan yang berkeadilan dan konsep transisi energi yang bersih dan berkeadilan. Eksektif Nasional WALHI misalnya, menyebutkan bahwa konsep transisi energi yang bersih, berkelanjutan, dan berkeadilan tidak boleh terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan. Karena, pada dasarnya keadilan lingkungan, hak atas lingkungan sama dengan hak asasi manusia. Perihal pembangunan Bendungan Jragung dengan salah satu tujuan adalah adanya PLTMH Jragung, sekalipun PLTMH Jragung merupakan energi yang bersih namun, sisi kelanjutan dan berkeadilannya perlu untuk dipertanyakan. Pembangunan energi yang bersih, berkelanjutan, dan berkeadilan untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan harus dilakukan tanpa adanya penggusuran dan perenggutan ruang hidup.

            Jika dilihat dari kaca mata ekologi politik, kasus yang terjadi dalam Bendungan Jragung adalah salah satu mekanisme perenggutan ruang hidup sebagai syarat mutlak untuk kapitalisme melakukan ekspansi. Tiga syarat penting untuk kapitalisme mampu bertahan dan mengeruk keuntungan adalah adanya alat paksa negara, wilayah untuk melakukan ekspansi, dan buruh murah. Pada Bendungan Jragung, adanya pembangunan yang menenggelamkan pemukiman dan lahan pertanian untuk penambangan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menciptakan buruh murah. Warga dipaksa untuk tercerabut dari tanahnya dan alat produksinya. Paska itu, mereka akan menjadi barisan lontang-lantung. Alat paksa negara baik aparat penegak hukum maupun produk hukum diciptakan untuk melindungi kepentingan kapital. Sekalipun Penawangan adalah tanah pertanian, bukan Kawasan untuk pertambangan Perda Tata Ruang Kabupaten Semarang dengan senang hati diciptakan dengan memasukkan penawangan sebagai kawasan pertambangan.  

            Pola-pola pembangunan dengan kapitalisme sebagai nadi inilah, yang menyebabkan bencana ekologis termasuk longsor dan ancaman kekeringan di Desa Penawangan bukanlah bencana alam yang terjadi karena kehendak Tuhan semata melainkan, ada unsur campur tangan manusia di dalamnya. Meminjam istilah Bosman Batubara, bencana yang terjadi disebut sebagai man made disaster, bencana yang terjadi karena dibuat. Ada campur tangan pemerintah, dengan melalui kebijakannya menghasilan bencana.

            Lebih jauh, bencana dan krisis yang terjadi karena kebijakan yang salah kaprah bukanlah akibat yang lahir setelah kebijakan itu hadir. Melainkan, krisis dan bencana yang terjadi adalah sebuah syarat untuk kapitalisme itu ada. Bosman Batubara dalam buku “Maleh Dadi Segoro” memformulasikan krisis, ketidakadilan, dan keadilan-ekologis, yang di bawah panji kapitalisme krisis bukanlah akibat melainkan syarat. Seperti dalam kasus Bendungan Jragung, dalam hal pembangunan memerlukan tanah urug sebagai pondasi sehingga mensyaratkan adanya penambangan di Penawangan. Berbanding lurus dengan itu, penambangan melahirkan krisis ekologis. Ia (krisis) lahir bersamaan dengan kebijakan atau pembangunan itu dilakukan. Pun dengan, mekanisme transisi energi, selama dia diciptakan di bawah watak yang kapitalistik, ia akan tetap merusak dan menciptakan ketidakadilan.

Ikuti tulisan menarik Adetya Pramandira lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler