x

sumber foto: duniatambang.co.id

Iklan

Khaerul Fadlilah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 12:21 WIB

Entah Sampai Kapan Pabrik Semen Mengeruk Ruang Hidup Masyarakat Sekitar Pegunungan Kromong Cirebon

Terjadinya krisis air tidak lepas dari eksploitasi gunung yang berada di Desa Cikeusal secara terus menerus oleh beberapa pihak, termasuk PT. Indocement Tunggal Prakarsa Unit Palimanan. Masyarakat Desa Cikeusal juga mengenal beberapa sumber-sumber mata air yang pernah ada dan mata air-mata air yang sekarang dimanfaatkan. Diantara mata air-mata air yang telah mati tersebut ialah sumber mata air Cicariu, Cidadap dan Kalen Gronggong dan sumber mata air yang sekarang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar seperti Mata air Cihaneut, Mata air Cikadoya dan Mata air Sumur Entog.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tambang Karst di area Gunung Kromong tidak dapat dipisahkan dengan aspek historis masyarakat lokal dalam memanfaatkan sumber daya karst sebagai penopang kebutuhan hidup. Secara historis pemanfaatan karst di area Gunung Kromong sudah berlangsung dari tahun 1700 dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang mempunyai keragaman potensi yang besar dibidang sumber daya alam (Wahid et al., 2021). Salah satu kekayaan sumber daya alam di Indonesia adalah bentang kawasan batu gamping (karst)(Ribeiro & Zorn, 2021) yang tersebar hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia (Aulia et al., 2019). Morfologi sebaran kawasan perbukitan karst di Indonesia lebih mudah ditemui di Pulau Jawa dari total kawasan karst kurang lebih seluas 15,4 juta hektar yang tersebar di seluruh Indonesia (Irianto et al., 2020)

Salah satu kawasan karst di Pulau Jawa tepat di Provinsi Jawa Barat terletak di kawasan Perbukitan Kromong yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Gempol Kabupaten Cirebon (Adji et al., 1999). Karakteristik utama perbukitan karst di kawasan ini adalah titik persebaran goa kapur yang terletak di sepanjang area perbukitan kapur di Desa Cikeusal dan Desa Palimanan Barat. Berdasarkan wawancara dengan salah satu aparatur Desa Cikeusal, kuantitas keberadaan Goa Kapur di Desa Cikeusal sangat banyak (Amalia et al., 2016). Sumber daya di dalam Goa Karst meliputi stalaktit dan stalagmite yang difungsikan sebagai cadangan air untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat (Aulia et al., 2019). Seperti yang diceritakan oleh Raksabumi Desa Cikeusal, bahwa; di Desa Cikeusal terdapat banyak Goa, salah satunya Goa Topang, dan Goa Lawa. Pada zaman dahulu goa tersebut memiliki banyak sumber mata air.

Eksistensi perbukitan karst dimanfaatkan oleh masyarakat yang hidup di sekitar lereng untuk kebutuhan air maupun pemenuhan kebutuhan hidup (Prasetyo w, 2019). Bentuk pemanfaatan masyarakat lokal terhadap potensi batu kapur (limstone) salah satunya adalah tambang karst yang difungsikan sebagai bahan bangunan (Saepulloh et al., 2017). Berlangsungnya pemanfaatan karst secara tradisional sudah diwariskan secara turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi. Berdasarkan salah satu penelitian yang dilakukan pada tahun 2002 pertambangan di area perbukitan kapur wilayah Palimanan dan sekitarnya sudah dimulai sekitar tahun 1700-an (Sutrisno, 2002).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akan tetapi pada tahun 1973 terjadi perubahan pengelolaan tambang kapur yang berdampak pada mengecilnya area tambang masyarakat sekaligus menjadi sebab urbanisasi di Cikeusal(Sari et al., 2013). Mengecilnya zona pemanfaatan tambang kapur masyarakat yang dimaksud adalah area bukit Curi atau yang disebut masyarakat lokal sebagai Gunung Curi. Menurut Bapak ED (2022) pada tahun 1971 survei area karst dilakukan oleh Ibu Tien Soeharto dengan indikasi eksplorasi tambang kapur. Terhitung dua tahun kemudian setelah survei tersebut (1973) dilakukan pematokan area tambang yang kelak menjadi area tambang PT. Tridaya Manunggal Prakarsa Cement yang diakuisisi pada tahun 1991 oleh PT. Indocement Tunggal Prakasa, Tbk.

Berangkat dari kenyataan tersebut dampak yang timbul dan dirasakan masyarakat Desa Cikeusal yang berprofesi sebagai penambang Batu Gamping secara tradisional kian tergerus posisinya dan semakin sulit untuk memperoleh pendapatan (Brasilya et al., 2022). Sebagian para penambang beralih profesi dari sektor tambang ke profesi non tambang dengan menjadi seorang pedagang, pengrajin dan perantau ke kota-kota besar. Pada situasi ini, sektor pertambangan yang telah berlangsung di Desa Cikeusal sudah eksklusif dan terbatas sehingga muncul ragam sektor ekonomi alternatif berupa pemanfaatan hasil bumi seperti Singkong, Talas dan Kembili (Turasih, 2019).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian Kualitatif dengan menggunakan pendekatan Studi Kasus (case study). Metode studi kasus merupakan metode yang bertujuan untuk meneliti fakta-fakta khas di lapangan (Dewi Nur’aini, 2020). Teknik pencarian data yang digunakan oleh peneliti adalah teknik wawancara open-ended yaitu teknik wawancara yang dilaksanakan dengan pertimbangan-pertimbangan terhadap informan tertentu dan meminta rekomendasi informan penelitian (Yin, 2021). Adapun Metode analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik analisis deret waktu sederhana (Yin, 2021). Peneliti mendeskripsikan temuan-temuan lapang berdasarkan kronologis dari fase tambang hingga kemunculan sektor ekonomi alternatif serta upaya pemberdayaan sektor ekonomi alternatif tersebut.

Sejarah Pengelolaan Tambang Karst di Desa Cikeusal

Secara geografis letak Desa Cikeusal didominasi area berbukit (hill) dan sebagian besar area Desa Cikeusal juga masuk ke area hutan. Jarak antara pemukiman Desa Cikeusal dengan aktivitas pertambangan PT. Indocement Tunggal Prakasa atau yang selanjutnya disebut sebagai PT. ITP hanya kurang lebih 1 Km diukur dari pemukiman terdekat dengan lokasi Quarry . Artinya Desa Cikeusal masuk pada kategori pedesaan yang paling dekat dengan perbukitan kapur dan lokasi pertambangan. Secara administratif sebelah barat Desa Cikeusal berbatasan langsung dengan Kawasan PT. Indosemen Tunggal Prakasa (Tbk) unit Palimanan dan Area Perhutani; sebelah timur berbatasan dengan Desa Balerante; sebelah utara berbatasan dengan Desa Palimanan Barat; dan sisi selatan Desa Cikeusal berbatasan langsung dengan Desa Cilukrak (Desa Cikeusal, 2022).

Pemukiman awal masyarakat Desa Cikeusal berada di kaki bukit Pegunungan Kromong lokasinya di sekitaran Gunung Kidang. Namun pada saat itu kayu yang ada di hutan banyak yang ditebangi oleh masyarakat sekitar akhirnya kemudian masyarakat dipindahkan ke bawah namanya Bukit Sijering. Dinamakan Sijering karena masyarakat saat menempati wilayah tersebut masyarakat sering sakit-sakitan. Setelah banyak orang yang sakit akhirnya masyarakat turun lagi ke wilayah bawahnya dan mendiami wilayah sekitar Buyut Mulangi dan sekitarnya (Wawancara dengan Bapak END, Juli 2019).

Di Desa Cikeusal terdapat empat leluhur yang dikenal oleh masyarakat Desa Ciekusal yakni Buyut Selawiguna, Buyut Kawis, Buyut Mulangi, Buyut Jabar. Buyut Jabar makamnya berada di Desa tetangga yakni Desa Balerante sedangkan keturunannya di Desa Cikeusal yakni di Blok Citotok. Menurut Bapak END, semua Buyut tersebut ada dalam waktu yang sama akan tetapi memilki bidangnya masing-masing. Dalam segi pemerintahan dipegang oleh Buyut Selawiguna, sedangkan Buyut Jabar dan Buyut Mulangi dalam segi keagamaan (Wawancara dengan Bapak END,  Juli 2019).

Hal tersebut dibuktikan dengan 3 pemakaman yang sampai sekarang masih ada di sekitar bukit dan cerita-cerita dari berbagai informan. Kemudian pemukiman masyarakat Desa Cikeusal berpindah ke tempat yang sekarang menjadi wujud pemukiman Desa Cikeusal sekarang.

Pertama, makam Buyut Kawish yang terletak di area perhutani. Makam tersebut berada di dibawah pohon pornis. Beberapa masyarakat Desa Cikeusal masih sering berziarah di makam tersebut. Makam tersebut dikenal dengan Makam Gede. Seperti yang dikatakan oleh Bapak SB, makam Buyut Kawish biasanya di ziarahi oleh setiap Calon Kuwu Desa Cikeusal pada saat pemilihan kuwu tiba. Dulunya, lokasi sekitar Buyut Kawish merupakan pemakaman warga, sedangakan wilayah pemukimannya berada di bawah pemakaman Buyut Kawish. Buyut Kawish juga biasa disambat (dipanggil secara spritual) ketika orang Cikeusal saat sedang berada di luar kota agar aman dari marabahaya (Wawancara dengan Bapak SB, Mei 2018).

Kedua, pemakaman Buyut masyarakat Blok Karang Anyar berada di area tambang PT. Indocemenet. Di sekitar makam Buyut Mulangi dulunya adalah pemukiman masyarakat Blok Karang Anyar. Pada tahun 1930 pemukiman masyarakat Blok Karang Anyar dipindahkan oleh seorang warga Etnis Tionghoa yang bernama Lianpun. Bapak END mengatakan bahwa:

Karang Anyar itu dulunya di Buyut Mulangi, tahun 30 karena ada tembakan yang dikelola oleh cina itu kena dinamit maka dipindahkan ke Karang Anyar. Tapi disana pada saat itu disana masih tetap milik kita, disini (Karang Anyar) tinggal menempati, bukan di proses oleh kita. Tanah Karang Anyar itu oleh perusahaan. Tetapi disana warga Karang Anyar masih memilki tanah (Wawancara dengan Bapak END, Mei 2018).

Peneliti pernah berziarah ke makam Buyut Mulangi bersama masyarakat Desa Cikeusal pada Bulan Mei 2018. Lokasi pemakaman tersebut berada di sekitar area tambang PT. Indocement. Jarak antara pemukiman dengan makam tersebut sekitar 15 menit jalan kaki. Akan tetapi kini makamnya telah dipindahkan oleh pihak Indocement ke tempat yang jauh dari area tambang.

Ketiga, Pemakaman masyarakat Blok Citotok yang berada di dekat area tambang PT. Indocement. Blok Citotok digusur oleh PT. Indocement sekitar tahun 2007/2008 akan tetapi pemakamannya tidak digusur karena penolakan warga. Orang yang pertama kali membabad alas tanah Citotok bernama Buyut Jabar

KapasitasTabel.  Produksi Semen Per Tahun

Tahun Produksi

Kapasitas Produksi

1996

1.300.000

2000

2.000.000

2006

3.800.000

2018

4.000.000

Sumber: Laporan Tahunan PT. Indocement

Dari tabel di atas, kapasitas produksi PT. Indocement Tunggal Prakarsa Unit Palimanan tiap tahunnya selalau meningkat. Peningkatan produksi semen berdampak pada wilayah Desa Cikeusal yang wilayahnya paling dekat dengan area tambang.

Sumber mata air yang menjadi sumber kebutuhan air bersih masyarakat Desa Cikeusal terancam oleh kegiatan penambangan yang ada di sekelilingnya. Saat ini, mata air utama yang masih ada untuk memenuhi masyarakat Desa Cikeusal ialah Mata air Cikadoya, Mata Air Cihaneut, dan Mata Air Sumur Entog. Masyarakat Blok Desa mengambil airnya dari mata air Cikadoya, Blok Karang Anyar mengambil air dari mata air Cihaneut, sedangkan Blok Kapling mengambil air dari mata air Sumur Entog. Semua mata air tersebut berada di Gunung Kidang wilayah perhutani.

Proses Sumber Mata Air sampa ke Pemukiman Warga

Pengalaman peneliti saat menuju sumber mata air Desa Cikeusal harus berjalan kaki karena memang harus melewati tanah yang dimilki oleh PT. Indocemnet Unit Palimanan. Adapun waktu untuk sampai menuju mata air Desa Cikeusal dari pemukiaman memerlukan waktu sekitar 25-30 menit.

Menurut Bapak END, kalau di pikir-pikir Desa Cikeusal yang merupakan daerah lereng pergunungan pantasnya tidak kekurangan air dan hal tersebut pasti ada sebabnya. Pak END bercerita saat  dia masih kecil mengatakan bahwa:

Dulu saat saya SD tentang air apalagi musim hujan sampai musim kemarau itu air di sungai dekat Karang Anyar itu masih mengalir. Malahan  banyak orang yang cari ikan di sungai tersebut tapi setelah adanya perubahan zaman  dan perubahan potensi yang perlu digarap maka terjadilah masalah air ( Wawancara dengan Bapak END, Mei 2018).

Bukan hanya gunung, masyarakat Desa Cikeusal juga mengenal beberapa nama goa yang sekarang sudah tidak lagi ada karena telah di tambang. Sebelum adanya eksploitasi skala besar, masyarakat mengenal goa-goa yang berada  di daerahya tersebut.

Ya pirang-pirang, gua lawa, gua babi, gua saka, luh ya sampe kulone kuburan kah goa melululu (Wawancara dengan Bapak END, Juli 2019)

Terjadinya krisis air tidak lepas dari eksploitasi gunung yang berada di Desa Cikeusal secara terus menerus oleh beberapa pihak, termasuk PT. Indocement Tunggal Prakarsa Unit Palimanan. Masyarakat Desa Cikeusal juga mengenal beberapa sumber-sumber mata air yang  pernah ada dan mata air-mata air yang sekarang dimanfaatkan. Diantara mata air-mata air yang telah mati tersebut ialah sumber mata air Cicariu, Cidadap dan Kalen Gronggong dan sumber mata air yang sekarang dimanfaatkan oleh  masyarakat sekitar seperti Mata air Cihaneut, Mata air Cikadoya dan Mata air Sumur Entog. Pak SB mengatakan bahwa:

Sebelum gunungnya habis, air masih banyak, air di Tuk masih banyak. Tuk yang berada di sekitar Buyut Mulangi namnaya Tuk Ciriu yang sekarang dialirkan ke salah satu mushola yang berada di Blok Karang Anyar. Sebelah selatan kuburan Citotok ada Tuk Kalen Cidadap, sedangkan di sebelah utaranya ada Tuk Kalen Gronggong. Kesemuanya itu alirannya sama. Tetapi Tuk tersebut sekarang sudah mati setelah gunungnya habis (Wawancara dengan Bapak  SB, Mei 2018)

Diketahui bahwa penambangan yang ada di Desa Cikeusal sudah ada sejak dulu, sekitar tahun 1700 an. Perusahaan semen skala besar masuk tahun 1970 an dan proses produksinya pada tahun 1980 an mulailah awal krisis air. Semakin tahun dampak akan krisis air semakin di rasakan oleh masyarakat.

Sejak mulai operasi  pabrik semen kebutuhan air untuk masyarakat masih normal baru awal  air masih normal, di Citotok ya normal, disini ya normal  tetapi setelah  lanjut demi lanjut pohon habi,  batu habis sampai dalam. Mungkin sumber mata air yang daya penampunagnnya pohon-pohon tidak ada kemudian agak mengering dan mengering. Sehingga kedalamannnya kalau dilihat dari sini lihat masih tinggi, tinggi dari arah sana, kalau dari sini ya suda datar. Semkain tahun dampak semakin dirasakan, terutama dampak air (Wawancara dengan Bapak END, Mei 2018)

Pada tahun 1997, Desa Cikeusal terjadi kemarau panjang, kemudian masyarakat Blok Karang Anyar bermusyawarah bersama tentang masalah air. Kemudian masyarakat Blok Karang Anyar mengambil air dari wilayah perhutani yakni mata air Cibedug dan Cihaneut. Sebelumnya masyarakat Blok Karang Anyar mengambil air dari mata air yang berada di Cicariu, dekat dengan wilayah pemukiman.

Awal-awalnya yang kesana dulu pernah mengukur dari sana ke  gubuk kita (masjid) ini itu sekitar 2870 meter. Jadi hampir 3 kilo pengambilan airnya. Karena pada saat itu merasa kesulitan, kemudian mencoba untuk memakai paralon yang kecil. Tapi alhamdulillah ketika merasa cukup air, kemudian masyarakat bermusywaarah tentang masalah air tersebut. Pada saat itu, belum ada bantuan darimanapun. Alhamdulillah karena masyarakat butuh (Wawancara dengan Bapak END, Mei 2018. )

Sebelum mengambil bersih untuk kebutuhan masyarakat, masyarakat Blok Karang Anyar mengambil air dari sumur Cicariu yang lokasinya di samping makam Buyut Mulangi, akan tetapi karena sumber mata air yang ada di Cicariu sudah mati karena gunung yang di dekatnya sudah rata karena ditambang maka masyarakat Blok Karang Anyar terpaksa mengambil air dari sumber mata air Cihaneut yang berada di gunung Kidang

Di Karang Anyar mengambilnya kalau dari jauh dari Cihaneut perhutani, kalau yang dekat mengambilnya dari Cicariu. Tetapi sekarang, Cicariunya fatal sekitar tahun 2014/15/16 ini tidak keluar air. Dikarenakan jalur mata air kan dari gunung, gunungnya kan sekarang habis. Bisa iya tertutup karena pengambilan padat di injak-injak alat berat, akhirnya jalur air fatal dan tidak ada ( Wawancara dengan Bapak END, Mei 2018).

Masyarakat yang menempati Blok Kapling adalah kebanyakan dari masyarakat yang tanahnya tekena dampak pembebasan PT. Indocement tahun 2006/007. Masyarakat Blok Citotok sebelum berpindah ke Blok Kapling, masyarakat Blok Citotok cukup dalam masalah air. Akan tetapi setelah berpindah mengalami kesusahan air.

Airnya adanya di Kalen Gronggong. Akan tetapi dulunya sebelum di gusur sama PT. Air di Cototok itu airnya sangat melimpah, walupun itu musim ke 3. Kejagan ngopeni sekarang itu, malah bisa kebuang airnya. Akan tetapi sumber mata air Citotok sekarang sudah tidak ada lagi. Bukan hanya di Citotok, tetapi dimakam Buyut Mulangi juga banyak yang bernama Ciriu (Wawancara dengan Bapak ASY, 2017).

Profil Desa Cikeusal

Secara demografis Desa Cikeusal terdiri dari 3065 penduduk dengan 1139 Kepala Keluarga yang tersebar di wilayah 3 RW dan 16 RT. Jumlah penduduk terpadat di Desa Cikeusal adalah wilayah RW 03 yang dikenal masyarakat sebagai area Blok Karang Anyar dan Blok Kapling dengan total populasi sebanyak 1332 Jiwa yang terdiri dari 399 Kepala Keluarga. Sebagian besar keluarga di Desa Cikuesal menggantungkan pendapatannya dari sektor pertanian, pertambangan dan armada pengangkut hasil tambang.

Jumlah petani di Desa Cikeusal pada tahun 2022 sebanyak 1095 petani. Sektor pertanian di Desa Cikeusal masih menjadi sektor ekonomi andalan masyarakat meskipun hanya bisa produksi saat musim penghujan (Desa Cikeusal, 2022). Selain pertanian, mata pencaharian yang paling dominan digeluti masyarakat Desa Cikeusal adalah penambang (Mijiarto et al., 2014), umumnya penambang di Desa Cikeusal dapat dibedakan menjadi dua jenis yakni penambang Batu Kapur dan Batu Alam. Banyaknya masyarakat yang berprofesi sebagai penambang juga menuntut kebutuhan akan kuli bongkar muat dan sopir yang akan mendistribusikan hasil tambang ke konsumen dari berbagai daerah.

Profesi sebagai penambang di Desa Cikeusal umumnya diwariskan secara turun temurun mulai dari pengetahuan tata cara membelah batu, memecahkan batu, hingga teknik peledakan (blasting) dalam menambang batu kapur. Profesi sebagai penambang Batu Karst di Desa Cikeusal didukung dengan lanskap wilayah Desa di bawah kaki perbukitan. Sehingga sektor pertambangan karst tumbuh beriringan dengan pengetahuan masyarakat Desa Cikeusal dalam menjalani kehidupan. Hingga sampai saat ini masyarakat Desa Cikeusal lebih cenderung untuk menggeluti profesi yang dibayar per hari baik itu mata pencaharian sebagai penambang maupun non-tambang (Turasih et al., 2016).

Berdasarkan hasil penelitian aktivitas pertambangan karst di perbukitan kromong sudah berlangsung sejak tahun 1700 M secara tradisional. Bukit karst yang ditambang pertama kali oleh masyarakat Desa Cikeusal adalah Bukit Curi atau sebutan masyarakat lokal adalah Gunung Curi. Pada tahun 1700 sektor tambang karst di Perbukitan Kromong sudah dimasuki oleh etnis tiong hoa yang menetap di wilayah Jamblang (Sutrisno, 2002). Para penambang karst di Desa Cikeusal menyebut bahwa hasil tambang kapur akan dikirim menggunakan gotrok ke wilayah Jamblang, penguasaan individu asing terhadap distribusi tambang karst di Desa Cikeusal dikenal masyarakat lokal sebagai Liangpun.

Hingga awal tahun 1970 masyarakat lokal masih mempunyai kontrol penuh atas penguasaan area tambang karst yang dilakukan secara tradisional (Wati & Kurniawati, 2019). Setahun kemudian pada tahun 1971 menurut penambang Gunung Curi, diadakan survey bahan baku semen oleh Ibu Tien Soeharto untuk perubahan pemanfaatan karst menjadi bahan baku untuk industri semen (Suharko, 2013). Menindaklanjuti hal tersebut, tepat ditahun 1973 PT. Tridaya Manunggal Prakarsa mematok area tambang karst masyarakat lokal sebesar 289 Ha dan hanya menyisakan sebesar 28 Ha yang masih diperuntukan penambang local (Reinhart, 2017).

Eksklusifnya area tambang karst masyarakat lokal di Gunung Curi menyebabkan adanya perpindahan area tambang masyarakat Desa Cikeusal ke area Gunung Perahu, tepat di sebelah selatan area Gunung Curi yang sebagian besar wilayahnya telah dikuasai oleh PT. ITP, Tbk. Rentang waktu pemanfaatan karst di Gunung Perahu berlangsung dari tahun 1984 hingga 1986 dengan tetap menggunakan sistem tambang tradisional. Menjelang akhir 1986 para penambang di Desa Cikeusal berpindah area tambangnya ke perbukitan karst di Blok Citaman, Kecamatan Taman Sari Kabupaten Karawang.

Menurut masyarakat sekitar, banyak masyarakat yang bekerja sebagai penambang batu kapur, begitu pun di Gunung Curi, namun penambangan tersebut hanya berlangsung sebentar saja karena tanah/gunung tersebut sudah diberi patok/ tanda. Pada tahun 1984 terjadi pembukaan penambangan di Gunung Perahu, akan tetapi aktivitas tersebut juga tidak berlangsung lama karena pada tahun 1986 kuantitas kapur sudah mulai habis. Mulai saat itu, aktivitas penambangan pindah ke Kabupaten Karawang.

Perpindahan wilayah tambang kapur hingga ke Kabupaten Karawang oleh masyarakat Desa Cikeusal berlangsung hingga tahun 2000 an. Sebagian besar penambang karst kembali ke Desa Cikeusal saat pembukaan area tambang Batu Alam Gunung Suminta pada tahun 2000 kemudian dilanjutkan ke wilayah Gunung Petot. Di fase ini para penambang karst banyak yang sudah tidak lagi memungkinkan untuk berprofesi sebagai penambang. Para penambang karst yang sudah tidak aktif menambang beralih profesi umumnya menjadi petani penggarap lahan perhutani dan peternak Kambing.

Konstruksi pengetahuan masyarakat Desa Cikeusal yang tidak dapat dipisahkan dengan profesi tambang dibuktikan melalui adanya konsistensi masyarakat Cikeusal yang selalu berpindah wilayah dengan profesi yang serupa yakni sebagai penambang. Akan tetapi sector pertambangan secara tradisional bukan tanpa resiko yang tinggi, khususnya dalam hal keselamatan kerja maupun kesehatan. Beberapa insiden yang tercatat pada bulan November Tahun 2002 sebanyak 3 penambang asal Desa Cikeusal tewas tertimbun reruntuhan tambang di Gunung Petot (liputan 6, 2002), selain itu beberapa kepala keluarga penambang kapur mempunyai riwayat penyakit gangguan pernafasan dan gangguan penglihatan. Kondisi tersebut mendorong para penambang karst untuk mencari profesi non tambang dengan karakteristik pendapatan yang sama yakni pendapatan perhari. Meskipun pendapatan hasil tambang jelas, tetapi juga resikonya sangat besar. Misalnya terjadi longsor dan bencana alam lainnya. (Wawancara dengan Ibu RK, 2023)

Sejak terbatasnya akses masyarakat terhadap tambang karst karena perubahan eksploitasi karst sebagai bahan baku industri pada tahun 1973 sudah menampakkan gejala perubahan sosial dan menyebabkan urbanisasi para penambang ke berbagai daerah. Umumnya perpindahan masyarakat Desa Cikeusal ke kota-kota besar adalah untuk menjadi penambang karst kembali ataupun menjadi pedagang (Saputri, 2012).

Bagi penambang yang sudah tidak memungkinkan untuk  melanjutkan profesi sebagai penambang akan kembali menggeluti sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Akan tetapi, karakteristik lahan pertanian di Desa Cikeusal didominasi area lahan tadah hujan menjadi stimulasi untuk mendorong masyarakat dalam menanam berbagai jenis tanaman palawija sebagai optimalisasi lahan pertanian di samping tanaman prioritas berupa padi.

Berbagai jenis tanaman Palawija yang ditanam oleh masyarakat di Desa Cikeusal pada saat panen akan melimpah dan dimanfaatkan oleh para istri keluarga penambang di Desa Cikeusal untuk dijadikan aneka olahan makanan yang berbahan dasar dari hasil tanam. Jenis olahan tersebut antara lain Kripik Pisang, Kripik Singkong, dan Opak Singkong. Salah satu produsen pengolah tanaman singkong menuturkan bahwa produksi Opak di Desa Cikeusal berpotensi untuk diproduksi secara intensif akan tetapi minimnya ketersediaan bahan baku masih menjadi kendala produksi karena Singkong hanya tersedia pada saat menjelang musim kemarau. Hingga pada saat penelitian dilakukan mantan keluarga penambang karst di Desa Cikeusal yang intensif dalam memanfaatkan tanaman Singkong dijadikan aneka olahan makanan ada 5 keluarga. Sebaran kelima keluarga produsen tersebut sebanyak 4 produsen di RW 02 atau Blok Desa dan 1 produsen di RW 03 atau Blok Karang Anyar. Sektor ekonomi alternatif non tambang menjadi ekonomi satu-satunya para keluarga mantan penambang di Desa Cikeusal.

 

Ikuti tulisan menarik Khaerul Fadlilah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler