Berapa Food-Miles Emissions yang Dihasilkan dari Konsumsi Pangan Impor?

Selasa, 13 Juni 2023 15:29 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika produksi suatu barang dan/atau jasa masih belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri, impor diperlukan. Meski impor diperlukan sebagai solusi atas keterbatasan sumber daya alam, faktor produksi atau tenaga kerja ahli, ketergantungan pada impor bukan hanya buruk dari sisi perekonomian nasional, melainkan juga dapat menimbulkan masalah lingkungan. Gaya hidup masyarakat negara maju yang gemar mengonsumsi berbagai macam makanan impor ternyata menghasilkan jejak karbon hingga 46%. Padahal populasi mereka hanya 12,5% dari total populasi dunia. Jejak karbon yang dihasilkan dari perjalanan bahan pangan sejak ia diproduksi hingga sampai ke meja makan konsumen inilah dikenal sebagai "food-miles emissions". Apa saja temuan para peneliti terkait "food-miles emissions" dari aktivitas perdagangan antarnegara ini?

Kemajuan di bidang teknologi dan transportasi tak dapat dipungkiri turut mendorong berkembangnya perdagangan internasional. Hal ini mempermudah antar negara dalam melakukan pertukaran barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya.

Ketika produksi suatu barang dan/atau jasa masih belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri, impor diperlukan. Meski impor diperlukan sebagai solusi atas keterbatasan sumber daya alam, faktor produksi atau tenaga kerja ahli, ketergantungan pada impor bukan hanya buruk dari sisi perekonomian nasional, melainkan juga dapat menimbulkan masalah lingkungan.

Sebuah riset berjudul Global Food-Miles Account for Nearly 20% of Total Food-Systems Emissions (2022) yang dilakukan oleh sejumlah peneliti dari University of Sydney mengkaji secara lebih rinci mengenai jumlah emisi jangkauan makanan (food-miles emissions) yang dihasilkan dari sistem perdagangan pangan global. Perhitungan food-miles emissions diperoleh dengan mempertimbangkan faktor negara dan sektor asal, negara tujuan, jarak yang ditempuh dalam pengangkutan lokal maupun internasional dan komoditas pangan di sejumlah rantai pasok.

Konsep food-miles (jangkauan makanan) sendiri sering digunakan untuk mengukur jejak karbon yang dihasilkan oleh perjalanan bahan pangan dari fasilitas produksi hingga tempat di mana makanan tersebut akan dikonsumsi.

Hasil studi menyebutkan bahwa proses pengangkutan bahan pangan ataupun makanan jadi antarnegara menghasilkan seperlima dari total emisi sektor pangan.

Karena sayur dan buah bukan bahan pangan yang tahan lama, penyimpanan dengan temperatur tertentu diperlukan dalam proses pengangkutannya. Apalagi kalau hendak dibawa ke tempat yang lebih jauh. Itu sebabnya emisi yang dihasilkan dari pengangkutan sayur dan buah tinggi, mencapai sekitar 36% emisi atau nyaris dua kali lipat lebih tinggi ketimbang emisi dari aktivitas produksinya.

Negara-negara maju berkontribusi lebih besar dalam menghasilkan jejak karbon dari aktivitas tersebut, yaitu mencapai 46%. Padahal secara populasi, jumlah penduduk di negara-negara maju hanya 12,5% dari total populasi penduduk dunia.

Sementara negara-negara berkembang yang populasinya mencapai separuh populasi dunia hanya menyumbang sekitar 20% dari pengangkutan makanan.  Menurut penelitian mereka, hal ini tidak lepas dari gaya hidup masyarakat negara-negara maju yang sering menginginkan berbagai macam makanan yang diproduksi dari luar negeri. Tak jarang, makanan—terutama buah-buahan—yang mereka inginkan sedang tidak musim di negaranya sehingga harus dipenuhi dari impor. Bahkan, tingkat konsumsi pangan impornya bisa lebih tinggi dari pangan lokalnya.

Mengukur emisi dari proses pengangkutan pangan tidak lengkap rasanya jika tidak mempertimbangkan moda transportasi apa yang digunakan. Dalam studi Weber dan Matthews (2008) berjudul Food-Miles and the Relative Climate Impacts of Food Choices in the United States, moda transportasi untuk pengangkutan pangan dibagi menjadi 10 macam, yaitu perairan pedalaman (inland water), kereta api, truk, transportasi udara (lokal), pipa minyak, pipa gas, transportasi udara (internasional), tiga jenis transportasi air untuk pengangkutan internasional. Dari sepuluh moda transportasi tersebut, transportasi udara (baik pengangkutan lokal maupun internasional) menyumbang emisi paling tinggi dalam pengangkutan pangan, yaitu mencapai 680  t CO2e/t-km x .

Kita dapat melihat contoh pola konsumsi ini dari data food-miles di Amerika Serikat--sebagai salah satu negara maju yang menjadi importir terbesar beberapa bahan pangan nabati—melalui infografis yang dilansir oleh situs teletracnavman.com berikut.

Infografis food-miles emissions di AS-sumber gambar: teletracnavman.com

Locally grown yang digambarkan dengan garis hijau adalah bahan pangan yang tumbuh dan diproduksi di daerah setempat sedangkan garis berwarna ungu (conventional sources) menggambarkan darimana ritel biasa mendapatkan bahan pangan.

Ambil contoh konsumsi kacang-kacangan (beans) yang sebagian besarnya berasal kawasan North Dakota dan Cina. Jarak rata-rata yang ditempuh oleh bahan pangan kacang-kacangan dari tempat tumbuh dan produksi hingga ke konsumen (garis hijau) adalah 65 mil (untuk produksi lokal). Sementara itu, jarak rata-rata bahan pangan yang biasa didapat oleh ritel hingga ke konsumen adalah 1.313 mil (garis ungu), dengan moda transportasi kapal untuk pengangkutannya.

Artikel Global Food-Miles Account for Nearly 20% of Total Food-Systems Emissions (2022) pun memberi panduan mengenai jarak ideal pangan dapat dikatakan bersifat ‘lokal’. Menurutnya, pangan yang bersifat ‘lokal’ setidaknya diproduksi dalam radius 161 kilometer (km) dari rumah kita.

Jika mengacu pada ketentuan tersebut, pengangkutan kacang-kacangan yang menempuh jarak rata-rata 1.313 mil (garis ungu) atau lebih dari 2.000 km, bisa jadi menghasilkan jejak karbon yang lebih tinggi.

Solusi untuk Meminimalkan Emisi Karbon dari Sektor Pangan

Impor pangan memang diperlukan untuk mencegah kerawanan pangan, terutama di negara-negara berkembang. Selain itu, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri.

Para ahli menyarankan masyarakat di negara-negara berpendapatan tinggi untuk mengurangi konsumsi pangan impor dan beralih pada pangan lokal. Mereka juga menyarankan untuk mencari alternatif pengganti pangan lain yang memiliki nilai dan manfaat gizi yang sama dengan pangan yang bersifat musiman (biasanya pada buah-buahan). Kemudian, mengurangi konsumsi daging merah dan meningkatkan konsumsi pangan nabati sebagai alternatif sumber protein.

Dampak lingkungan pada konsumsi pangan impor sejatinya tidak hanya berasal dari sistem pengangkutan. Proses pra-produksi dan produksi juga tidak kalah penting untuk diperhatikan. Konsumsi pangan impor yang proses pra-produksi, produksi sampai pengangkutannya dijalankan secara berkelanjutan bisa jadi lebih baik ketimbang konsumsi pangan lokal yang tinggi emisi di setiap prosesnya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Luna Septalisa

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Menulis Sejarah Perempuan

Selasa, 8 Agustus 2023 15:53 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
img-content
Lihat semua