x

Kampus UGM Yogyakarta. Foto: Tulus Wijanarko

Iklan

Puguh Prayogi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 Juni 2023

Jumat, 30 Juni 2023 08:20 WIB

Romantika Pendidikan dan Cinta di Kampus Biru

Salah satu yang membuat saya mengalami gegar budaya saat masuk UGM adalah kebebasan yang sangat terasa, baik di kelas maupun luar kelas. Sebagai alumnus salah satu sekolah kedinasan di kawasan Jurangmangu, kebebasan akademis di Kampus Biru ini sempat membuat saya tak habis mengerti. Bagaimana mungkin begitu masuk UGM, sudah jadi hal umum kalau mahasiswa me-roasting kampus sendiri?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagai mahasiswa setengah tua yang cuma mampir kuliah S2 di UGM kurang dari dua tahun, saya sempat berfikir kenapa kampus ini disebut sebagai Kampus Biru. Saya iseng bertanya ke sesama rekan mahasiswa asal usul sebutan “kampus biru” dan meminta mereka mencari jawaban tanpa melihat internet.

Hasilnya didapat sejumlah jawaban ngawur berbau cocokologi. Dua jawaban terbanyak yaitu bahwa sebutan kampus biru berawal pada zaman dahulu banyak mahasiswa yang belajar di UGM berasal dari kalangan bangsawan (darah biru). Sebagian menjawab karena dulu yang belajar di UGM adalah orang-orang Londo yang memiliki mata berwarna biru. Dua jawaban tersebut tepat jika pertanyaan yang diajukan adalah kenapa Eropa disebut sebagai benua Biru. 

Asal sebutan kampus biru untuk UGM yang katanya tempat orang intelek belajar justru datang dari kisah cinta mahasiswa setengah ababil bernama Anton. Pemuda ini punya kisah cinta rumit dengan beberapa mahasiswi bahkan dosen yang mengajar dia. Kisah mereka ada di novel karya Ashari Siregar berjudul Cintaku di Kampus Biru yang terbit tahun 1974 dan diadaptasi jadi film dengan judul yang sama pada 1976.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nah, lokasi kisah cinta Anton dan para crush-nya ada di sekitar kampus UGM. Jadilah UGM populer dengan sebutan kampus biru. Andai dulu Ashari Siregar sudah mengenal kombinasi jenis-jenis warna, judul novelnya mungkin jadi Cintaku di Kampus Sage. Jadinya julukan UGM jadi kampus sage agar makin populer di kalangan emak-emak dan hijaber, terlebih di momen lebaran.

Empat dekade berselang, tepatnya tahun 2015, civitas UGM merilis lagu berjudul Kampus Biru. Tak jauh beda dengan versi novelnya, lagu tersebut juga berisi cinta dan romantika mahasiswa. Kalau melihat setiap bait dalam lirik lagunya, sangat terasa aroma cinta dan perjuangan mahasiswa pada kampus dan segala problematikanya.

Kalau bicara soal dosen yang pintar dan kampus yang gagah, sepertinya UGM sudah tidak diragukan lagi. Akan tetapi, kisah cinta mahasiswa dan kampus sepertinya lebih masuk ke genre love-hate relationship. Yang membuat emosi terikat dengan kampus justru kisah-kisah getir seperti hari-hari penuh spam tugas dari dosen, UKT yang sundul langit dengan beberapa fasilitas ngirit, tugas dan nilai dosen yang kadang di luar prediksi, dan biaya hidup di Jogja yang katanya murah tapi ternyata mahal.

Salah satu hal yang membuat saya mengalami culture shock saat masuk UGM adalah kebebasan yang sangat terasa, baik di kelas maupun di luar kelas. Saya adalah alumnus salah satu sekolah kedinasan di kawasan Jurangmangu, Tangerang Selatan, yang segala sesuatu dari posisi duduk sampai seragam kuliah diatur pihak kampus. Begitu masuk UGM, sudah jadi hal umum kalau mahasiswa me-roasting kampus sendiri.

Saat isu uang pangkal dan UKT yang kelewat tinggi mencuat ke permukaan, ratusan atau mungkin ribuan mahasiswa melakukan demo di kampus. Dalam hati saya bergumam, ini konsepnya bagaimana, buat kebijakan sendiri, kok, terus didemo sendiri. Selama saya menjalani pendidikan di kampus kedinasan, jangankan mengkritik kebijakan kampus, masuk kampus pakai kaki kiri dulu saja rasanya bersalah setengah mati. Lah ini, kok, berani-beraninya mahasiswa mengkritik rektor dan kampus sendiri?

Satu kondisi yang mengalahkan culture shock saya  waktu pertama kali di Jogja di mana minimarket jam 08.00 pagi belum buka dan semua masakan beraliran rasa manis. Seiring berjalannya waktu saya mulai menerima kenyataan.

Ini namanya kebebasan dalam dunia akademik. Kebebasan akademik bukan cuma diwujudkan dengan debat dan berbalas opini dengan dosen di dalam kelas, tapi juga langsung mengusik kebijakan kampus yang dirasa tidak relevan. Mahasiswa harus dapat berpikir kritis dan kalau bisa bukan cuma memberi kritik, tapi sekalian memberi solusi. Sepertinya filosofi ini yang dipakai di balik kebijakan KKN, kuliah kerja nyata. Kebijakan itu jadi salah satu tren kampus saat ini selain Universitas Indonesia, dalam upaya mendidik mahasiswa bukan cuma pintar ngomong, tapi juga langsung memberi solusi di masyarakat.

Di antara sekian banyak ajaran yang ditanamkan di kampus, satu hal yang sangat ditekankan yaitu integritas akademik. Secara sederhana integritas berarti jujur, konsisten apa yang disampaikan dan apa yang dikerjakan, dan selalu berbuat baik dan benar walaupun tidak ada yang melihat. Di UGM, integritas benar-benar jadi nilai yang ditekankan di semua aspek. Aturan akademik dengan tegas menyebutkan bahwa mahasiswa yang terbukti melanggar integritas dengan melakukan plagiat otomatis dapat nilai E, kasta terendah dalam dunia pernilaian.

Tahun 2022 kemarin saya mengalami sendiri dosen saya tidak meluluskan satu kelas anak-anak S1. Pasalnya satu kelas kompak kerja-sama waktu ujian masih dilakukan secara daring. Dosen juga tidak mau menerima tugas dari mahasiswa kalau hasil cek turnitin masih di atas 20%, yang artinya banyak isi tugas yang ngepek dari tugas orang lain.

Untuk kebijakan integritas ini, levelnya setara dengan kebijakan dilarang mencontek yang ada di kampus kedinasan saya sebelumnya. Integritas memang harus ditanamkan sejak dini, karena para mahasiswa yang duduk di bangku kuliah saat ini, dalam 10-20 tahun ke depan yang akan duduk di kursi-kursi empuk pejabat baik di lembaga publik maupun swasta.

Terakhir, hal yang selalu ditekankan dan diucap berulang-ulang oleh dosen yaitu kontribusi mahasiswa dan alumni ke masyarakat. Manfaat dari semua proses pendidikan berbiaya mahal dan melelahkan, yaitu bermanfaat bagi masyarakat dan negara.

Merujuk pada Hymne Gadjah Mada, lagu Kampus Biru, dan lagu tema FEB UGM, Ultimate goal dari serangkaian proses pendidikan, pengabdian, dan penanaman nilai-nilai luhur adalah senyuman dari ibu pertiwi. Proses pendidikan berkelanjutan dan penekanan integritas oleh UGM diharapkan terus melahirkan para pemimpin berkarakter yang berintegritas dan diharapkan memberi kontribusi optimal UGM sebagai kampus biru dapat dirasakan seluruh masyarakat luas.

Bukan sebuah kebetulan ada empat nama alumni UGM yang siap maju dalam kontes pemilihan presiden 2024. Bukan kebetulan juga presiden yang saat ini menjabat di juga merupakan alumnus dari kampus biru. Proses pendidikan dengan romansa cinta pada kampus, dengan bumbu integritas, memang nyata memberikan kontribusi pada negeri.

Sebagaimana penggalan awal lirik lagu Kampus Biru, “Di sini di Kampus ini kita mengawali,  Berjuang bekali diri sepenuh hati, Di sisni di Kampus ini kitapun telah berjanji, Tuk memenuhi panggilan Ibu Pertiwi”. Kampus ini adalah tempat mengawali, berjuang, dan memberikan senyuman pada ibu pertiwi.

Ikuti tulisan menarik Puguh Prayogi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB