x

Kekerasan terhadap perempuan

Iklan

pormadi simbolon

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 3 Juli 2023 07:14 WIB

Sadisme, Kodrat Manusia dan Pendidikan

Sadisme sangat berhubungan dengan kodrat manusia, untuk itu dibutuhkan pembelajaran seumur hidup untuk menjadi manusia yang baik

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Baru-baru ini kita menyaksikan fenomena kesadisan manusia jamak diberitakan media massa. Sebut saja fenomena yang masih hangat dibahas media, kasus penganiayaan Cristalino David Ozora (17), dan yang teranyar peristiwa tabrak lari di Cakung. Patut menjadi refleksi bersama, apakah fenomena tersebut menyiratkan bahwa kodrat manusia tetap sama sepanjang sejarah? Lalu apa hubungannya dengan pendidikan?

Kabarnya, tabrak lari dilakukan secara sengaja oleh OS (26) pada Rabu (14/6). Korban Moses Bagus Prakoso/MBP (33) tewas. Lewat CCTV, pelaku tampak menabrak korban dengan mobilnya yang melaju kencang dan melarikan diri. Ironisnya, ia menyerahkan diri setelah Ibunya memintanya menyerahkan diri (Detik, 16/06/2023).

Betapa memilukan, tindakan sadis tersebut mengakibatkan istri MBP dan 4 anak yang masih kecil kehilangan sosok ayah dan tulang punggung keluarganya. Kasus masih dalam penanganan kepolisian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Contoh kasus lainnya, Cristalino David Ozora dianiaya hingga koma dan tak sadarkan diri oleh Mario Dandy Satrio/MDS (20). Penganiayaan tersebut diduga direncanakan tersangka MDS bersama Dandy Shane Lukas (19). Berdasarkan rekonstruksi yang dilakukan, penganiayaan diduga direncanakan. Mario meminta Shane untuk mengikuti dan merekam aksinya (Kompas.id, 10/03/2023).

Sungguh, kedua fenomena tersebut merupakan sebagian dari sekian banyak kasus kesadisan manusia dengan catatan disengaja dan direncanakan. Gejala kesadisan semacam itu, bahkan lebih mengerikan juga terjadi di era klasik, abad pertengahan, modern/posmodern hingga era kontemporer. Kisah Brutus yang membunuh ayahnya, kisah balas dendam Gengis Khan, tindakan Hitler yang membunuh ras Yahudi, pembunuhan anggota jamaah Ahmadiyah merupakan beberapa contoh.

Kodrat manusia

Bagi kita orang modern, gejala penganiayaan dan pembunuhan dengan kesengajaan dan terencana tersebut mengundang akal sehat kita untuk bertanya apakah kodrat manusia (the human nature) itu sama, tidak berubah, meskipun zaman dan konteks berubah?

Merujuk pada Freud (1856-1939), pada dasarnya manusia hidup didorong oleh prinsip kesenangan (pleasure principle). Manusia memiliki kecenderungan mencari apa yang menyenangkan, dan menghindari rasa sakit (pain principle) dan berusaha untuk memuaskan hasrat biologis dan psikologis (Snyder, C.R., Lopez, Shane J. (2007). Menurut Freud, ada 3 komponen yang membentuk kepribadian seseorang yaitu id (dorongan naluriah), ego (keadaan sadar), dan superego (kerangka moral atau etika yang mengatur ego bekerja). Relasi konflik dan interaksi ketiga unsur tersebut membentuk kepribadian manusia, dimana salah satu dari ketiganya bisa lebih dominan.

Dalam konteks filsafat sejarah spekulatif, sudah sejak zaman klasik (sesudah abad 5 SM) manusia mulai sadar bahwa ia memiliki akal budi dan mampu berpikir rasional. Manusia adalah “binatang” berpikir (rasional). Aristoteles (384-322 SM) mengatakan bahwa manusia itu bukan binatang buas, tetapi juga bukan dewa. Maknanya, manusia memiliki keutamaan-keutamaan seperti sifat para dewa yaitu berbelas kasih, berbela rasa, adil, berani dan lain sebagainya. Manusia seutuhnya bukan “allah”, juga seutuhnya bukan binatang. Manusia mencintai keluarga dan tanah airnya; namun manusia bisa juga menjadi sadis, serakah, cemburu dan melakukan kekerasan. Manusia mampu berbuat adil, tetapi juga mampu membalas dendam. (Lemon, 2003: 40-41). Sebagai makhluk sosial, ia berkembang dalam kebersamaan dengan manusia lain di polis (negara-kota).

Itulah kodrat manusia. Sebagian sejarawan berkesimpulan bahwa memang kodrat manusia itu tetap sama. Dengan demikian, manusia diajak untuk mengenali kodrat manusia melalui pembelajaran dari sejarah manusia. Sebab sejarah merupakan hasil perbuatan dan kehendak manusia itu sendiri yang dapat menjadi pelajaran di masa depan. Namun sebagian sejarawan klasik (misalnya, Polybius, 203-120 SM) melihat manusia justru mengalami kemerosotan, kodratnya tidak sama, alias berubah sepanjang sejarah.

Terlepas dari kontroversi tersebut, kita patut merefleksikan sejauh mana pendidikan (moral) membentuk kepribadian diri dan anak-anak kita?

Pendidikan Moral

Bercermin pada pendapat John Lock (1632-1704), filosof Inggris, manusia ketika berusia anak-anak,  dipandang atau disamakan dengan sebuah kertas putih (tabula rasa).  Oleh karena itu, dalam konteks pendidikan, apa yang “ditulis” orang tua sejak kecil itulah yang tertulis dalam diri si anak. Apa yang “ditulis” oleh pendidik (termasuk guru pendidikan agama) itulah yang ada dalam diri si anak. Demikian pula, apa yang menjadi “teladan” di tengah masyarakat, itu akan tertera dalam diri anak.

Dalam perjalanan waktu, berbagai ajaran, wejangan, khotbah, tradisi, adat-istiadat, ideologi tertentu, patokan dan kumpulan peraturan entah lisan atau tertulis diberikan kepada si anak agar menjadi manusia yang baik. “Tulisan-tulisan” tersebut membentuk pribadi si anak menjadi bermoral. Dengan akal budi, yang membedakannya dari binatang, si anak dididik untuk mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Guru agama mengajarkan nilai-nilai agama agar anak menjadi religius atau manusia saleh. Anak-anak diajarkan mengamalkan ajaran agama dan taat pada perintah Tuhan.

Dapat dikatakan, orang tua, pendidik, masyarakat dan lembaga (negara) yang berwenang menjadi sumber dan pelaku utama dalam pembentukan diri anak-anak agar memiliki tanggung jawab moral. Tanggung jawab moral dimaksudkan untuk memanusiakan manusia dan mengupayakan kebaikan bersama sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Patut menjadi renungan kita bersama, meskipun manusia sudah mendapat “pendidikan dari orang tua, guru, masyarakat dan lembaga-lembaga yang berwewenang, lalu mengapa fenomena kesadisan dan kekerasan terhadap sesamanya masih terjadi?

Pembelajaran seumur hidup

Seperti sudah disebutkan, kodrat manusia adalah bukan sungguh “allah” dan bukan sungguh binatang. Ia adalah manusia rapuh, dan pelupa. Di satu sisi ia mampu melakukan keutamaan-keutamaan, di sisi lain ia dapat melakukan kekerasan dan kesadisan. Manusia juga cenderung mencari kesenangan diri dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak menyenangkan dan rasa sakit.

Tidak heran, fenomena kesadisan seperti dalam kasus Mario Dandy dan kasus tabrak lari di Cakung merupakan fenomena yang terjadi sepanjang sejarah manusia. Wajarlah kalau kita bertanya, bagaimana hal itu mungkin terjadi? Manusia hidup tergantung konteks dan perkembangan zamannya (zeitgeist). Dapatkah kita melalukan sesuatu?

Sudah menjadi pengetahuan umum, pendidikan dan pembelajaran (baik formal, non-formal maupun informal) harus dilakukan secara terus menerus (long life learning). Pendidikan dan pembelajaran menjadi hal mendasar bagi manusia. Pendidikan dan pembelajaran berlangsung seumur hidup (ongoing formation) sampai pada titik kematian manusia.

Mengingat kodrat manusia seperti disebutkan di atas (pandangan Freud dan manusia sebagai pelupa), maka pendidikan seumur hidup menjadi keharusan karena adanya perkembangan pesat bidang pengetahuan dan kehidupan sosial sesuai dengan konteks zamannya. Zaman menuntut manusia harus beradaptasi dan memperbaiki tingkah lakunya demi kebaikan sesama manusia (public good).

Yang tidak kalah pentingnya, peran lembaga dan pemuka agama sangat penting. Sebagai orang beriman dan beragama, umat manusia dipanggil untuk mengamalkan ajaran iman dan agama, baik secara vertikal kepada Tuhan maupun secara horizontal, melalui perbuatan kebaikan bagi sesama manusia. Agama terbukti menciptakan kehidupan sosial yang kohesif dan semakin religius.

Sebagaimana pandangan Aristoteles, negara-kota (baca: negara modern) merupakan tempat idealnya perkembangan peradaban manusia. Dalam konteks era modern, negara hadir melalui penegakan hukum yang berlaku tanpa diskriminasi. Penegakan hukum menjadi sarana edukasi bagi warganya.

Terakhir, menurut hemat penulis, individu, orang tua, pendidik, dan masyarakat memiliki tanggung jawab moral untuk menghargai manusia sebagai manusia, bukan sebagai objek emosi sesaat belaka.

 

Ikuti tulisan menarik pormadi simbolon lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu