x

John Rawls: Theory of Justice,1971

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Selasa, 4 Juli 2023 14:57 WIB

Menyederhanakan Theory of Justice dengan Persamaan Matematis

Hanya dalam matematika, yang komunis dan yang liberal menemukan ruang untuk berdamai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seperti Musa, John Rawls bukanlah manusia yang fasih bicaranya. Juga seperti Musa yang menyeru Firaun untuk kembali kepada Tuhan, Rawls menyeru Amerika untuk kembali menghidupkan moral dan keadilan. Tidak dengan tongkat yang bisa berubah menjadi ular, tetapi dengan sebuah gagasan. Melalui bukunya "Theory of Justice" yang diterbitkan untuk pertama kali pada tahun 1971, Rawls menggugat liberalisme, juga sekaligus sosialisme.

Rawls lahir di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat. Dia adalah anak kedua dari lima bersaudara yang merupakan anak dari seorang pengacara terkemuka. Ketidakfasihanya dalam berbicara tidak menghalanginya untuk lulus dari Universitas Princeton dengan predikat summa cum laude pada tahun 1943. Tiga tahun setelahnya dia kembali ke Princeton untuk mengejar gelar doktor dalam bidang falsafat moral dan menyelesaikan desertasinya tahun 1950. Selama dua tahun berikutnya dia mengajar di sana. Pada pertengahan 1952, dia pindah ke Universitas Harvard untuk menjadi dosen tetap sampai masa pensiun.

Theory of Justice banyak disebut sebagai salah satu teks primer tentang falsafah politik barat. Dalam pengantar bukunya, Rawls mendefinisikan keadilan sebagai nilai utama dalam insitusi sosial yang menjadikan kebenaran sebagai suatu sistem berpikir. Dia mengaku bahwa teorinya dipengaruhi oleh teori kontrak sosial John Locke, Immanuel Kant dan J.J Rousseau yang telah ada sebelumnya. Namun, uniknya sudut pandang yang diambil oleh Rawls adalah sudut pandang kaum yang terpinggirkan, orang marginal, si miskin atau dalam istilahnya "the least-advantaged people".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemilihan sudut pandang ini bukannya tanpa alasan, menurut Rawls, korban paling banyak dari ketidakadilan adalah si miskin. Maka dari itu sudut pandang "the least-advantaged people" lebih mendekati kebenaran atau setidaknya mendekati realitas sosial yang selama ini menimpa mereka. Realitas sosial dapat dilihat dengan apa adanya oleh mereka yang bukan apa-apa dan tidak berhasrat untuk menjadi siapa-siapa. Tanpa bias. Rawls menyebutnya sebagai original position—posisi asali masyarakat yang pandangannya belum dipengaruhi oleh jabatan, status sosial, dan kekayaan yang dimiliki.

Mungkin karena basisnya adalah filsafat moral, kadang istilah yang digunakan Rawls sulit dimengerti dan cinderung metaforik. Misalnya, veil of ignorance—selubung ketidaktahuan. Istilah ini digunakan Rawls hanya untuk menjelaskan bahwa dalam kondisi tidak tahu apa-apa, orang akan cinderung memihak orang yang tersakiti. Karena bisa jadi dia sendiri adalah yang tersakiti itu, ketika suatu saat dia mengetahui. Menurutnya, diskriminasi terhadap wanita dan kulit hitam yang tidak boleh memegang jabatan publik adalah sesuatu yang tidak rasional. Alasannya sederhana: setiap orang tidak tahu dia akan dilahirkan sebagai siapa, sebagai perempuan atau kulit hitam. Rawls membela hak-hak perempuan dan kulit hitam karena bisa jadi dia dilahirkan sebagai perempuan atau kulit hitam.

Selain itu, keadilan biasanya didefinisikan sesuka hati oleh si kaya —yang telah dipengaruhi doktrin dan status sosial tertentu. Pada dasarnya, menurut Rawls, orang jahat sangat mencintai ketidakadilan karena melalui cara itulah mereka memperoleh kekuasaan. Lalu dengan kekuasaan, definisi dikukuhkan. Akibatnya, lama-kelamaan ketidakadilan diartikan sebagai keadilan. Ketika masyarakat sudah terbiasa dengan ketidakadilan, maka keadilan akan dianggap sebagai diskriminiasi. Masyarakat terlanjur tunduk pada pengertian itu.

Justice as Fairness—Keadilan adalah kesamarataan. Ini adalah gagasan pokok yang ingin disampaikan Rawls dalam bukunya. Saya melihatnya sebagai kritik tajam terhadap liberalisme yang menjunjung tinggi kebebasan atas nama keadilan (justice) sekaligus sosialisme yang memuji-muji kepemilikan sosial atas nama kesetaraan (fairness). Menurutnya pertentangan antara keadilan dan kesamarataan adalah sebuah ilusi. Mewujudkan salah satu dengan menampik yang lainnya merupakan kenaifan.

Dalam mendefinisikan teorinya, Rawls sampai harus kembali ke definisi tertua tentang keadilan dari para filsuf Yunani antara lain Plato dan Aristoteles. Plato berpendapat bahwa keadilan adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara terlalu banyak dan terlalu sedikit. Aristoteles menyederhanakannya dengan satu kata: pas. 

Sedangkan pendapat Sokrates menurut saya mustahil untuk dijadikan referensi mengingat tidak ada satu pun definisi yang pasti tentang keadilan yang tergambar melalui dialog-dialognya dalam Politea (diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai The Republic). Ketika orang-orang menjelaskan apa itu definisi keadilan, Sokrates selalu menunjukkan kesalahan mereka.

Dalam Theory of Justice setidaknya ada tiga prinsip dasar yang membuat kebebasan-liberalis dan kesetaraan-sosialis tidaklah bertentangan:  

Pertamaequal liberty principle. Artinya bahwa setiap orang memiliki kesetaraan hak untuk memperoleh kebebasan. Setiap orang memiliki hak setara untuk bebas berpolitik, bebas berpendapat, bebas berpikir, bebas memiliki harta pribadi dan bebas dari kesewenang-wenangan. Prinsip ini berhasil meleburkan antara "yang bebas" dan "yang setara" menjadi satu. 

Keduaequal opportunity principle. Prinsip ini menekankan bahwa setiap orang tidak peduli ras, etnis dan status sosialnya—sesuai posisi asalinya—memiliki kesempatan yang setara untuk memegang jabatan publik apa pun. Kualitas seorang untuk mengisi jabatan publik tidak tergantung pada jenis kelamin ataupun warna kulitnya, tetapi murni pada kompetensi dan kapabilitasnya dengan syarat diberikan kesempatan yang sama.

Ketiga, the difference principle. Yang terakhir ini menghasilkan perbedaan (baca:kesenjangan) sosial dan ekonomi yang tak terhindarkan, dampak dari kebebasan dan kesempatan yang setara. Kesenjangan ini merupakan hal yang alamiah mengingat potensi manusia memang berlainan satu sama lain. Sejak dulu selalu ada si kaya dan si miskin. Kita tidak bisa mengelak dari fakta sejarah yang demikian. Merupakan tugas negara untuk mengelola kesenjangan ini sehingga tidak keluar dari pengertian justice as fairness. Dalam ekonomi modern: menjaga koefisien rasio gini agar tidak terlampau besar. 

Bagaimana caranya? Menurut Rawls sederhana saja, yaitu memastikan bahwa jabatan publik, pangkat, hartanya orang kaya diperoleh dari prinsip persamaan kesempatan dari persaingan yang adil dan sekalipun harus ada, kesenjangan itu ditujukan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tanpa mengorbankan hak-hak individu.

Pengelolaan kesenjangan itu, seberapapun elegan dan efisien secara ekonomi, kalau tidak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat maka harus ditolak dan direvisi. Ini berlaku juga untuk hukum. Juga merupakan satu hal yang harus ditolak, jika tercapainya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat itu mengorbankan hak-hak individu. Keadilan tidak memungkinakan adanya kejadian semacam itu. Karena hak-hak individu adalah yang pertama-tama dijamin oleh keadilan itu sendiri, lepas dari pengaruh negosiasi politik dan hitungan untung-rugi ekonomi.

Menurut saya, di dunia ini hanya ada satu bahasa yang lepas dari pengaruh politik dan hitungan ekonomi. Bahasa Matematika. Jika bahasa Inggris adalah bahasa internasional, maka matematika adalah bahasa universal. Ia bahasa yang senantiasa tegak dan bebas dari pengaruh. Dua ditambah dua, mau umur berapa pun, punya jabatan politik atau sekaya apa pun, dijawab orang dari mana pun, jawabnya tunggal: empat.

Keadilan dalam sejarahnya dilambangkan dengan seorang dewi yang membawa timbangan dengan mata tertutup, Themis. Timbangan sebagai simbol kesetaraan, dan mata yang tertutup merupakan simbol netralitas. Baru di akhir tahun 1500-an dewi ini diberikan atribut baru yaitu pedang yang mengarah ke bawah sebagai wujud bahwa hukuman itu merupakan ultimatum remidium. Di Romawi, Themis sering disamakan dengan Justitia, seorang dewi yang sekaligus menjadi akar kata keadilan itu sendiri (justice)

Apakah keadilan itu harus sama? Ya, dan sebuah kebohongan kalau saya mengatakan tidak demikian. Lalu, apakah hukuman pencuri ayam dan koruptor itu sama? Tentu tidak. Namun keadilan adalah baik pencuri ayam maupun koruptor mendapatkan perlakuan—juga hak-hak—yang sama di depan hukum dan di muka peradilan. Tentu dalam menimbang pun, sekilo emas pada satu sisi dan sekilo besi di sisi lainnya memiliki keseimbangan yang sama walaupun nilai dari kedua logam tersebut bagai langit dan bumi. Satu-satunya bahasa yang mempunyai simbol kesetaraan dan netralitas adalah matematika, ditulis dengan tanda"=" —sama dengan. Sisi kiri "=" selalu sama dengan sisi kanannya.

Selama ini, dalam belajar matematika kita diajari pengetahuan yang tidak utuh semisal:

x + 2 = 8, tentukan nilai x.

maka cara yang diajarkan guru kita untuk menyelesaikan persamaan ini adalah dengan menggeser angka +2 di sebelah kiri "="  ke sebelah kanan "=". Dan kita selalu diajari karena melompati "=", nilai yang semula +2 berubah menjadi -2. Maka nilai x dapat ditentukan dengan cara:

 x + 2 = 8, tentukan nilai x.

x = 8 - 2

x = 6, saya sebut ini sebagai cara pertama.

 

Padahal cara yang benar adalah:

x + 2 = 8, tentukan nilai x. Cara paling logis untuk menentukan nilai x adalah dengan menambahkan  angka -2 di sebelah kiri "=" dan agar adil dan setara kita juga harus menambahkan angka -2 di sebelah kanan "=":

 x + 2 = 8, tentukan nilai x.

x + 2 +(-2) = 8 +(-2)

x = 6, ini adalah cara kedua.

Sejalan dengan teori John Rawls, meskipun sama-sama menghasilkan angka 6, cara pertama tidak mencerminkan keadilan karena untuk memperoleh x angka 8 harus meminta angka 2 dari sebelah kiri "=". Dalam teori keadilan, ini sama saja dengan memperoleh sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetapi mengorbankan hak-hak individu.

Lain halnya dengan cara kedua. Cara ini mencerminkan keadilan yang tidak mengorbankan hak siapa pun karena perlakuan antara sebelah kiri "=" dan sebelah kanannya sama yaitu sama-sama ditambah dengan -2. Yang mengejutkan, hasilnya sama. Caranya adil, hasilnya setara. Hanya dalam matematika, yang komunis dan yang liberal menemukan ruang untuk berdamai.

Selain itu, manusia biasanya berhenti pada x dan tidak melampauinya. Kita lupa bahwa setelah x ditemukan maka persamaannya menemukan keseimbangan, dari x + 2 = 8 menjadi 6 + 2 = 8 atau 8 = 8. Setelah kita menemukan keadilan pada 8 = 8 maka kita mengukuhkannya. Kita menegakkan keadilan sebagaimana menegakkan matematika. Dengan kokoh, sekokoh-kokohnya. 

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu