x

Presiden Jokowi: Sikap Saya Tak Berubah, Tidak Ada Niat Jadi Presiden Tiga Periode

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 12 Juli 2023 22:06 WIB

Maaf, Bapak Presiden, Jumlah Sekolah Negeri Kurang, PPDB Menjadi Kambing Hitam

Jumlah sekolah negeri di setiap kecamatan kurang. Tidak sebanding dengan jumlah penduduknya. Jumlah SMPN tidak sebanding dengan jumlah SD. Jumlah SMAN/SMKN tidak sebanding dengan jumlah SMPnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Maaf, Bapak Presiden. Jumlah sekolah negeri di setiap kecamatan kurang. Tidak sebanding dengan jumlah penduduknya. Jumlah SMPN tidak sebanding dengan jumlah SD. Jumlah SMAN/SMKN tidak sebanding dengan jumlah SMPnya. Ujungnya, PPDB dimanfaatkan menjadi kendaraan bagi pihak yang punya wewenang dan kepentingan. Jadi, kambing hitam.

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang diatur sesuai peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia (RI), menurut hemat saya, bila dihubungkan dengan amanah Pembukaan UUD 1945, adalah sistem yang paling adil sepanjang sejarah pendidikan Indonesia usai lepas dari penjajahan kolonialisme. Namun, seperti tahun-tahun sebelumnya, proses PPDB tahun ajaran 2023/2024 di berapa kota/kabupaten di Indonesia, tetap saja mengalami peristiwa dan kasus yang sama. Ada akal-akalan. Ada kecurangan. Ada manipulasi. Ada yang berdalih karena kebijakan sekolah. Ada yang berdalih karena sudah sistem , dan modus-modus lainnya.

Masalah yang sama

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa PPDB yang setiap prosesnya di awal tahun ajaran selalu terjadi masalah yang sama, seolah dibiarkan saja oleh pemerintah kota/kabupaten/provinsi/pusat? Bila sudah terbukti ditemukan masalah, maka akan ramai di bahas di media massa. Ujungnya, masing-masing pihak berpendapat. Masing-masing pihak berteriak menyuarakan alternatif solusi. Tetapi, saat proses PPDB dimulai lagi, kisah dan masalah yang sama terulang lagi. Apa bedanya masalah PPDB ini dengan bau kentut di ruang ber-AC yang tertutup? Percuma, ruang ber-AC yang nyaman menjadi ruang yang pengap dan bau. Tahu ada yang kentut, dan pasti orang yang kentut ada di dalam ruang ber-AC itu, tetapi ACnya tidak segera dimatikan. Pintu dan jendala ruang tidak dibuka, orang-orang yang ada dalam ruangan tidak diminta ke luar dari ruangan.

Analogi kentut di ruang berAC ini, bisa dipahami sebagai peresoalan yang sama dalam PPDB. Setiap tahun ajaran baru terjadi berulang dengan masalah dan probelmatika yang sama. Di antaranya:

Pertama, jumlah sekolah negeri di setiap kecamatan pincang. Sudah tahu, jumlah sekolah negeri di setiap Kecamatan tidak merata, wali kota/bupati di kota/kabupaten bersangkutan seolah menutup mata dengan kondisi ini. Padahal secara demografi, lahirnya sebuah kecamatan, memiliki aturan, minimal ada berapa kelurahan. Di setiap kelurahan, minimal ada berapa RW. Dalam RW, minimal harus ada berapa RT. Serta, di setiap RT minimal wajib terdiri dari berapa KK.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, demografi adalah ilmu tentang susunan, jumlah, dan perkembangan penduduk. Secara etimologi, demografi adalah istilah yang berasal dari kata "demos" yang berarti penduduk dan "grafein" yang berarti gambaran.

Dapat di cek melalui Badan Pusat Statistik (BPS), di setiap kota/kabupaten di Indonesia, mana kecamatan-kecamatan yang memiliki sekolah negeri dari tingkat SD, SMP, SMA/K dan yang sederajat, dapat mengakomodir calon peserta didik berdasarkan demografinya. Faktanya, yang terjadi sesuai masalah yang muncul dalam PPDB, banyak kecamatan yang keberadaan sekolah negerinya tidak dapat menampung peserta didik, padahal domisili peserta didik berada di kecamatan yang dimaksud. Ada, sekolah yang bahkan kekurangan peserta didik, tetapi di bandingkan sekolah yang tidak dapat menampung peserta didik, meski peserta didik berasal dari kecamatan yang sama dengan keberadaan sekolah, ini tetap yang lebih mendominasi di Indonesia.

Kedua, pemerintah pusat memprioritaskan membangun tol dan lainnya? Kendati pengadaan atau pendirian sekolah negeri menjadi kewenangan pemerintah kota/kabupaten. Tidak meratanya keberadaan sekolah negeri di suatu kecamatan, tidak mengikuti perkembangan demografi wilayahnya. Lalu, wali kota atau bupati seolah tutup mata dan sibuk dengan urusan pribadi dan partai yang mengusungnya. Setali tiga uang, pemerintah pusat pun menggeber pembangunan infrastrukur seperti jalan tol dan kereta, yang hanya melayani bisnis para pemodal yang telah mendukung partai politiknya.

Siapa yang menikmati jalan tol? Siapa yang nanti akan menikmati kereta cepat? Siapa yang menikmati fasilitas-fasilitas lain yang anggarannya dari uang rakyat? Jawabnya, rakyat jelata yang diperas dari upeti pajak, hanya menjadi penonton, siapa yang menggunakan fasilitas infrastruktur tersebut. Sementara, sekolah negeri, yang setiap tahun menjadi dambaan para orangtua rakyat jelata, tidak dipikirkan dengan serius pemerataan keberadaannya di setiap kecamatan di kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Malah, rakyat yang bukan jelata karena dalam hidupnya mengakali rakyat jelata, dan bangga digolongkan sebagai rakyat menengah ke atas, justru dengan posisi dan kedudukannya, ikut memanfaatkan sekolah negeri untuk kepentingan dirinya, golongannya, dan oligarkinya, dengan masuk menjadi perusak PPDB dengan jalur istimewa yang sudah bukan rahasia lagi.

Ketiga, terbatasnya sekolah negeri menjadi lahan korupsi, KPK ke mana? Fakta bahwa kecamatan-kecamatan kota/kabupaten di Indonesia, jumlah sekolah negeri tidak sama dengan demografinya, hal ini justru terus dijadikan celah oleh berbagai pihak untuk melakukan tindakan korupsi melalui kendaraan PPDB. Bukan hanya PPDB jalur zonasi yang bermasalah. Tetapi semua jalur dalam PPDB, semua menjadi lahan korupsi. Seharusnya, KPK sudah bertindak, lho? Tetapi, hingga detik ini, kecurangan dan akal-akalan PPDB, hanya ramai dalam perbincangan di media massa dan teleivisi. Kapan akan ada tindakan pidananya?

Keempat, yang licik memanfaatkan, karena tidak diawasi, degradari mentalitas-moralitas. Keberadaan sekolah negeri yang tidak sama atau tidak standar sesuai demografi penduduk, di kecamatan-kecamatan seluruh kota/kabupaten Indonesia, yang tidak dipikirkan. Lalu, semua jalur PPDB yang penyelenggaraan proses, realisasi, hingga praktiknya tidak diawasi dengan ketat dan sesuai standar dari setiap pemerintah kota/kabupaten/provinsi hingga pusat, sepertinya, kondisi ini memang disengaja. Pemerintah pusat selalu berdalih, pelaksanaan PPDB diserahkan fleksibilitasnya ke pemerintah daerah. Lalu, pemerintah daerah menerjemahkan fleksibilitas Permendikbud yang digariskan dengan nama kebijaksanaan.

Bila demikian apa bedanya dengan kentut di ruang ber-AC yang pintu dan jendelanya tidak dibuka, orang-orang yang ada di dalamnya juga dibiarkan bebas untuk dapat kentut lagi? Inilah peta besar masyarakat bangsa kita. Terus tercecer dalam pendidikan. Sebab, yang sudah terdidik dan pintar, malah menggunakan kepintarannya untuk licik. Memperdaya rakyat yang belum terdidik. Rakyat yang belum terdidik, ikut meneladani perbuatan licik, dari orang-orang yang seharusnya menjadi teladan perbuatan tidak korupsi. Semua menjadi ikutan dalam degradasi mentalitas dan moralitas.

Masalah PPDB dan keterbatasan sekolah negeri, bagaimana Bapak Presiden?

Dari berbagai masalah PPDB yang terus terjadi. Padahal akar masalah untuk membuat PPDB tidak bermasalah mudah diurai dan diatasi, nyatanya, di mana sikap wali kota/bupati/gubernur/presiden dalam menyikapi keberadaan sekolah di setiap kecamatan Indonesia tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang menjadi peserta didik? Padahal PPDB dengan berbagai jalur yang disiapkan, salah satu tujuannya adalah untuk rakyat Indonesia agar mendapat keadilan dalam hal pendidikan.

Jadi, terus diabaikannya ketersediaan sekolah negeri yang sebanding dengan jumlah penduduk di satu kecamatan, oleh pemerintah, maka, sekolah negeri yang ada dan terbatas, akan terus menjadi lahan bagi pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan kepentingan dengan akal-akalannya. Terus mengorbankan keadilan bagi rakyat yang sejatinya lebih berhak.

Sebagai contoh, saya kutip dari Republika.co.id, pernyataan Kabid Pembinaan SMP Disdik Kota Depok, Joko Soerisno di kantornya, Senin (5/6/2023), menyebut bahwa sekolah negeri untuk tingkat sekolah menengah pertama (SMP) di wilayahnya masih minim. SMP negeri yang hanya berjumlah 33, disebut tidak mampu menampung ribuan siswa dari 214 sekolah dasar (SD) negeri. "SMP itu sampai saat ini memang masih kurang banyak, dari sisi jumlah rombel, jumlah sekolah. Karena SD saja itu, 214 itu yang Negeri, belum swasta. Kebayang kan 400-an sekolah (SD) sementara jumlah sekolah SMP negeri yang ada itu hanya 33," kata Joko Soerisno.

Peta Kota Depok, berbatasan dengan Jakarta, lho. Bagaiamana dengan kota dan kabupaten yang lain?

Bagaimana ini, Bapak Presiden? Hanya menyoal rakyat mendapat kesempatan sekolah di sekolah negeri, yang dapat meringankan kehidupan dan pembiayaan bagi rakyat serta mendapatkan keadilan di negeri yang merdeka ini, mengapa seperti tidak pernah diprioritaskan. Apa susahnya memetakan kecamatan-kecamatan yang rakyatnya belum terakomodir oleh keberadaan sekolah negeri? Lalu, memikirkan dan bertindak, membuat sekolah-sekolah negeri di kecamatan-kecamatan dengan menyesuaikan perbandingan jumlah penduduknya.

Bila menyangkut keberadaan sekolah negeri di setiap kecamatan ini tersolusikan, baru dipikirkan bagaimana sekolah negeri yang sesuai standar. Guru sekolah negeri yang sesuai standar. Fasilitas dan prasarana sekolah negeri yang sesuai standar. Dll. Sebab, masalah sekolah negeri yang sesuai standar dan guru sekolah negeri serta sekolah swasta yang sesuai kompetensi saja, masih menjadi barang mahal di Indonesia. Banyak sekali guru yang baru memenuhi satu syarat, yaitu memiliki ijazah sarjana/magister. Memiliki sertifikat sertifikasi guru pun, masih dapat diuji, apakah guru bersangkutan benar-benar kompeten?

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu