x

Ribuan tenaga kesehatan saat melakukan aksi damai di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, Senin 8 Mei 2023. Dalam aksinya 5 Organisasi Profesi Kesehatan yang terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia, dan Ikatan Bidan Indonesia melakukan penolakan atas RUU Kesehatan Omnibuslaw. TEMPO/Subekti.

Iklan

Yudhi Hertanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Januari 2023

Kamis, 20 Juli 2023 10:09 WIB

Perbedaan Kompas dan Tempo dalam Menyorot UU Kesehatan

Tulisan ini menganalisis Kompas dan Tempo, yang secara bersamaan dengan kehadiran UU Kesehatan menurunkan berbagai artikel mengenai keberadaan regulasi baru tersebut. Konstruksi wacana kedua media massa ini, berbeda dalam melihat permasalahan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pro-Kontra! Meski UU Kesehatan resmi disahkan pada paripurna DPR, riak gelombang penolakan masih tersisa. Berbagai kelompok organisasi profesi di bidang kesehatan tengah bersiap menyusun materi, mengajukan gugatan keberatan melalui jalur legal ke Mahkamah Konstitusi.

Proses yang terjadi seputar terbentuknya peraturan dengan skema omnibus law pada sektor kesehatan ini, juga memenuhi ruang berita media massa. Menarik dianalisis, karena pemberitaan itu termuat dengan beragam perspektif. Disini, agenda setting dan hierarchy of influence bekerja.

Tulisan ini menganalisis Kompas dan Tempo, yang secara bersamaan dengan kehadiran UU Kesehatan menurunkan berbagai artikel mengenai keberadaan regulasi baru tersebut. Konstruksi wacana kedua media massa ini, berbeda dalam melihat permasalahan,

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada edisi cetak, Kompas (13/7) menampilkan liputan investasi seputar praktek dokter, mulai dari halaman utama dengan headline, tajuk rencana, hingga dilengkapi dengan infografis penjelasanya. Beberapa judul termuat semisal: Jejaring Calo Memanipulasi Kompetensi Dokter, Ada Dokter Pakai Dokumen Palsu, Lulusan Luar Negeri Mengubur Cita-Citanya, Dokter Praktik Tanpa Izin, Beban Ganda Dokter-Dokter di Pedalaman.

Sementara itu, Tempo (13/7) juga membawa berita seputar UU Kesehatan, lengkap dengan ilustrasi halaman depan. Pemberitaan yang dilansir selain menjadi berita utama, juga diangkat menjadi tema editorial. Fokus sebagaimana cover story terkait mandatory spending kesehatan, dimana judul beritanya: Membesar Kewenangan Menteri Kesehatan, Sistem Baru Belanja Kesehatan, Bertentangan dengan Rekomendasi WHO, Hilangnya Belanja Wajib Anggaran Kesehatan.

Beda Cara dan Arah Memandang

Komparasi judul diantara keduanya, memperlihatkan bagaimana bingkai UU Kesehatan diteropong oleh media massa. Kompas meski tidak secara langsung memberikan dukungan pada regulasi, menjatuhkan titik tekan pemberitaan di persoalan internal profesi dokter.

Meski mendapatkan ruang cover both side alias keberimbangan, porsi klarifikasi IDI terbilang menjadi pelengkap pemberitaan dari headline Kompas. Klarifikasi itu mengenai perilaku curang mendapatkan sertifikat kompetensi dan kesulitan berpraktik yang seolah dikaitkan dengan keberadaan organisasi profesi.

Belum lagi menyoal para dokter yang bertugas di pelosok daerah. Mereka berhadapan dengan berbagai tantangan pelayanan. Terkendala keterbatasan aksesibilitas, suatu hal yang membuat persoalan pemenuhan kebutuhan administrasi keprofesian menjadi sebuah beban tambahan.

Pemaknaan pemberitaan Kompas menggambarkan bahwa IDI sebagai organisasi tunggal memiliki berbagai problematika dalam tubuhnya. Dikesankan jika kekacauan dalam pengelolaan tenaga dokter perlu dibenahi, untuk itu intervensi pemerintah dibutuhkan melalui regulasi.

Hal ini selaras dengan pernyataan Menkes, bahwa amanat UU Kesehatan antara lain mengembalikan fungsi regulator ke tangan pemerintah. Sebangun dengan tajuk Kompas, RUU Kesehatan Disahkan (13/7), perlu langkah bersama kedepan mengatasi kontroversi, pemerintah dan asosiasi profesi.

Beda Kompas, lain pula Tempo dalam mengusung berita mengenai UU Kesehatan. Bobot sentral pemberitaan, terletak pada hilangnya besaran kewajiban dalam anggaran kesehatan (mandatory spending). Hal itu dianggap menyalahi komitmen global, dan berpotensi berdampak pada pelayanan di daerah.

Meski demikian, Tempo memberikan ruang penjelas terkait opsi dari skema baru anggaran kesehatan yang diusung pemerintah. Membalik diksi, “program berbasis anggaran” menjadi “anggaran berbasis program”, guna menjaga efektifitas pembiayaan dengan mendorong aspek preventif serta promotif.

Kepastian anggaran, seturut pemberitaan Tempo, merupakan bagian dari upaya untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi publik. Selain itu, mengisyaratkan adanya keseriusan sekaligus keberpihakan dalam politik anggaran, bagi perbaikan sistem kesehatan nasional.

Bersamaan dengan pengesahan UU Kesehatan, Tempo menyoroti pula kewenangan Kementerian Kesehatan yang semakin membesar. Situasi ini, menghilangkan peran organisasi profesi. Ketergesaan ketuk palu undang-undang menjadi mengkhawatirkan, senafas komersialisasi kesehatan.

Peran dan tanggung jawab negara menjadi pangkal soal dari berita Tempo. Kehati-hatian perlu dikembangkan untuk memastikan agar UU Kesehatan yang baru ini, benar-benar memberi manfaat luas bagi masyarakat. Jangan sampai melayani kepentingan segelintir pihak, sebut Tempo.

Sudut Mikro-Makro Media

Tidak bisa dipungkiri, kedua media massa memiliki sudut pandang berbeda, dalam melihat UU Kesehatan. Kompas melihat aspek mikro, persoalan di level organisasi profesi, terbilang diantaranya mengenai kelangkaan tenaga kesehatan dan sulitnya berpraktik bagi dokter diaspora.

Sementara Tempo memandang cakupan makro, pada letak tugas kekuasaan, dalam hal ini pemerintah sebagai pengambil kebijakan, untuk memastikan perhatian yang menyeluruh bagi sektor kesehatan. Dengan begitu, amanat belanja anggaran kesehatan merupakan kewajiban.

Jelas tidak ada benar-salah, selayaknya hitam-putih dalam memandang UU Kesehatan. Media massa mendasarkan diri dalam lingkaran pengaruh saat membentuk suatu berita (Shoemaker, Reese, 1996), terkait pemahaman individu jurnalis, kerangka kerja redaksi, ekonomi-sosial-politik, hingga ideologi.

Selain itu, bagaimana membentuk berita menjadi sebuah agenda, dalam bingkai -framing dan menempatkan secara sirkuler agenda media, dalam mendorong agenda publik, menjadi sebuah agenda kebijakan, dapat diperankan serta dipertukarkan secara timbal balik (McCombs, Shaw, 1972).

Pada esensi terjauh, pembaca memiliki rasionalitas tersendiri untuk mengkonstruksi wacana yang ditawarkan oleh media. Seluruh premis yang dianggap mewakili kepentingan dan kehendak publik, semestinya mudah diterima. Kita akan melihat bagaimana akhirnya.

 

Ikuti tulisan menarik Yudhi Hertanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu