x

Pemerintah perlu bertindak mengantisipasi kamar rumah sakit penuh dikarenakan penumpukan pasien Covid-19

Iklan

Dony P. Herwanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 Juli 2023

Senin, 24 Juli 2023 13:21 WIB

Senja untuk Mata Menguning

Tulisan ini saya kerjakan saat Jakarta menerapkan PSBB untuk mengurangi tingkat paparan Covid-19 yang kala itu benar-benar menakutkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di tubir dipan ruang IGD Anak, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, tangan Ivan Berkat Tama Gulo memegang kepala mungil Nadine Sohaga Gulo.

Ivan tak kuat melihat anak keduanya yang terbaring menahan sakit itu. Sesekali, Ivan mencium kening Nadine yang didiagnosis Atresia Bilier.

Mata Nadine menguning, seperti senja. Tapi senja yang kesakitan. Di ruang IGD Anak itu juga, Erna Wati Gulo, ibu Nadine, berdiri tak jauh dari Ivan. Sekuat tenaga, Erna menahan air mata.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ivan turun dari dipan, mengambil sikap jongkok. Dengan nafas tak beraturan, Ivan memegang kepala Nadine. Memejamkan mata, kemudian berdoa :

Tuhan, tolong jangan sakiti anak saya kalau ada salah dan dosa kami, karena ada salah saya ke anak saya, juga maafkan anak saya jika ada salah, tolonglah dimaafkan dan saya mengikhlaskan anak saya ini untuk berpulang kepada engkau.

Begitu Ivan selesai berdoa, di situ juga Nadine mengembuskan nafas terakhir. Bayi 6 bulan lebih 16 hari itu menutup mata untuk selama-lamanya, pada Senin, 10 Agustus 2020, pukul 23.17 WIB, di RSCM, Jakarta.

***

Nadine Sohaga Gulo, lahir 25 Januari 2020 di Gunung Sitoli, Kepulauan Nias, Sumatera Utara. Dua minggu setelah kelahiran, ada kuning di mata dan seluruh tubuh Nadine.

Melihat kondisi putri keduanya itu, Erna Wati Gulo tidak panik, lantaran, bayi kuning setelah lahir itu sudah biasa di Desa Baruzo, Kecamatan Sogaeadu, Kabupaten Nias.

Tubuh dan mata Nadine yang menguning hanya dijemur di halaman rumah setiap hari selama sebulan.

Nadine — saat itu — juga terlihat sehat dan gemuk. Sekilas tumbuh normal seperti bayi pada umumnya.

Sebagai ibu, Erna menyimpan kekhawatiran akan kondisi Nadine. Rasa penasaran yang terus membuncah, membawa Erna pergi ke Puskesmas Sogaeadu yang berjarak 1 kilo meter dari rumahnya untuk diperiksa.

Di Puskesmas, Nadine, yang waktu itu baru berumur 1 bulan, langsung diperiksa oleh dr. Fadli, dokter umum di Puskesmas Sogaeadu. 

Menurut diagnosis dokter Fadli, Nadine kekurangan cairan. Dokter Fadli pun menyarankan Erna untuk membawa Nadine ke rumah sakit.

Kuning di tubuh dan mata Nadine tak kunjung membaik. Malah sebaliknya. Erna semakin khawatir dengan kondisi Nadine yang setiap hari merintih kesakitan.

Berbekal niat mencari kesembuhan, Erna akhirnya membawa Nadine ke RSUD Gunung Sitoli yang berjarak sekira 28 kilo meter dari rumah Erna.

Dengan mengendarai sepeda motor, Erna menghabiskan waktu perjalanan sekira 45 menit untuk sampai di RSUD Gunung Sitoli. 

Sesampainya di rumah sakit, Nadine langsung ditangani oleh dokter spesialis anak, dr. Tati K. Ziliwu, M.Sc, Sp.A.

Dokter Tati mendiagnosis bahwa Nadine kelebihan warna Urine. Nadine diminta opname.

“Selama 2 minggu kami di rumah sakit. Nadine terus merintih kesakitan. Setiap malam saya menangis melihat kondisi Nadine,” kata Erna.

Perawat di rumah sakit yang merawat Nadine menyarankan, Nadine diberikan air mineral yang banyak, dan konsumsi air gula.

“Kalau anak kurang cairan memang menguning. Kalian kasih banyak air putih dan air gula,” kata Erna menirukan apa yang dikatakan perawat di RSUD Gunung Sitoli.

Sepulang dari rumah sakit, anjuran perawat tak pernah putus dilakukan. Nadine diberi air gula dan air mineral. Lewat beberapa hari, sakit Nadine semakin parah. Nadine demam.

“Matanya menguning parah, seperti kuning kunyit,” ucap Ivan – ayah Nadine – mengingat kejadian itu . Setiap kencing, lanjutnya, ada semacam lumut. Lumut warna kuning.

Dua minggu setelah keluar dari rumah sakit, Erna membawa Nadine ke Gunung Sitoli lagi. Tetapi kali ini, Erna tidak ke rumah sakit. Erna menilai diagnosis dari pihak rumah sakit tidak menjawab kekhawatirannya.

Erna menemui dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang selama masa kehamilan memeriksanya, dr. Sim Romi Sp.OG di Jalan Diponegoro no. 174, Kelurahan Ilir, Gunung Sitoli.

Di tempat dr. Romi, Erna seperti tersambar petir di siang bolong. Dengan menggunakan USG, dokter Romi memeriksa Nadine.

“Ah kenapa kamu baru bawa ke sini, kenapa kamu nggak bawa ini ke rumah sakit umum. Hati anak ini sudah bengkak, terus empedunya tidak nampak, tidak ada,” kata Erna menirukan ucapan dr. Romi.

Dokter Romi menyarankan Erna membawa Nadine ke dokter spesialis anak. Penyakit Nadine harus ditangani lebih serius. Sayangnya, di Kepulauan Nias, hanya ada 2 dokter spesialis anak.

Berbilang hari, Erna akhirnya menemui dr. Dewi M. Pasaribu M.Ked (Ped). Sp.A, dokter anak kedua yang ditemuinya.

Dari dokter Dewi-lah, Erna mengetahui bahwa ada organ tubuh di sebelah kanan yang tidak terlihat. Selain itu, ada pembengkakan di hati Nadine.

Keadaan Nadine-lah yang membuat Erna tak menyerah begitu saja. Demi kesembuhan Nadine, apapun dilakukan.

Erna membawa Nadine ke sejumlah tempat di Pulau Nias untuk mencari alternatif penyembuhan.

Erna tak mengetahui dengan pasti, sakit apa yang diderita Nadine. Pun dengan 2 dokter anak itu.

Banyak orang tua di Desa Baruzo menyarankan Erna untuk mencoba obat-obatan tradisional, seperti daun mutiara, daun kunyit dan bajakah (kayu dari Kalimantan).

Daun mutiara dan bajakah dimasak kemudian airnya diminum. Daun kunyit juga dimasak, bukan untuk diminum, melainkan dioleskan di perut Nadine.

Hanya upaya-upaya alternatif itulah yang dilakukan Erna sambil menunggu kabar baik datang dari RSUD Gunung Sitoli.

Dengan obat-obatan itu, kuning di mata dan tubuh Nadine berkurang sedikit. Akan tetapi, terkadang, keluar darah segar dari pusar Nadine.

Makin lama, tubuh Nadine tinggal kulit dan tulang. Erna, berkali-kali menangis melihat kondisi Nadine yang semakin memburuk dengan penyakit yang tidak diketahui Erna dan Ivan.

Dua hari setelah Iduladha, Erna dan Ivan membawa Nadine ke Medan, ke Rumah Sakit Murni Teguh.

Di sinilah, Ivan mulai terlihat patah semangat. Biaya kesembuhan bagi Nadine yang menjadi pangkalnya.

Tetapi, Erna adalah ibu yang kuat. Dia terus meyakinkan Ivan agar terus mendampingi Nadine sampai batas takdirnya.

Jumat, 7 Agustus 2020, Erna, Ivan, Nadine dan sejumlah pendamping dari Nias, terbang ke RSCM Jakarta, rumah sakit yang menjadi rujukan anak-anak atresia bilier untuk mendapatkan hati yang baru.

 

***

Sejak Muhammad Khalid Arsya didiagnosis Atresia Bilier, oleh dokter di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek, Bandar Lampung, Sartiani — Ibu Arsya — tak menunggu waktu lama untuk mencari tahu tentang penyakit yang baru kali pertama didengarnya itu.

Saat itu, Arsya baru berumur 4 bulan. Sartiani harus meminjam telepon pintar milik tetangga untuk mengetahui penyakit Atresia Bilier, mulai dari penyebab, sampai biaya yang dikeluarkan untuk proses penyembuhan anak ketiganya itu.

Setelah mengetahui besaran biaya yang akan dikeluarkan, Sartiani meminta kepada pihak rumah sakit agar pengobatan Arsya bisa dilakukan di Lampung.

Meski waktu tempuh dari rumah menuju rumah sakit sekira 3 jam menggunakan bus, Sartiani mengaku rela jika harus setiap hari pergi ke Bandar Lampung.

“Demi kesembuhan Arsya,” kata Sartiani.

Kenyataan tak sesuai dengan harapan. Pihak rumah sakit mengaku kurang memiliki peralatan yang memadai untuk penanganan penyakit Arsya. Pada akhirnya, Arsya tetap dirujuk ke RSCM, Jakarta.

“Saya tidak ada keluarga di Jakarta. Banyak yang menakut-nakuti soal Jakarta. Tapi ada juga yang memberi kabar baik tentang Jakarta. Katanya, masih banyak orang baik di Jakarta. Saya semangat lagi,” kata Sartiani.

Pada 28 Mei 2019, Sartiani, Arsya dan suami memutuskan untuk pergi ke Jakarta dengan menyewa travel. Itupun dengan meminjam uang saudara.

Di tengah perjalanan Lampung — Jakarta yang memakan waktu sekira 9 jam, Sartiani berpikir, begitu sampai RSCM, Arsya langsung ditangani, operasi, perawatan beberapa bulan, kemudian pulang.

Kenyataan — sekali lagi – berkata lain. Semua jauh dari perkiraan. Sartiani, Arsya dan suami sudah hampir 2 tahun tinggal di Rumah Singgah milik Yayasan Rumah Satu Hati yang tak begitu jauh dari RSCM. Kini, usia Arsya sudah 1 tahun 7 bulan.

“Aku juga belum tahu kapan anakku akan dioperasi. Semoga pandemi ini cepat berlalu,” ucap Sartiani.

Sebelum pandemi, ayah Arsya baru memulai tahap awal screening: rontgen dada (torax), USG Abdomen atau perut untuk melihat perlemakan di hati, dan vibroscan CAP untuk mengetahui tingkat kekerasan hati dan tingkat ketebalan perlemakan di hati.

Setelah wabah masuk, ayah Arsya tidak tahu lagi harus berbuat apa. Barangkali, hanya menunggu kabar baik dari RSCM.

Memang sejak wabah Covid-19 masuk Indonesia, RSCM praktis menunda program transplantasi hati.

Dari Januari-Agustus 2020, RSCM tercatat baru 1 kali melakukan transplantasi hati.

Meski tak lama setelah operasi, pasien atresia bilier meninggal sebelum sempat dibawa pulang ke rumah.

Ketua Transplantasi Organ dan Jaringan RSCM — FKUI, Prof. DR. dr. Hanifah Oswari SpA(K), mengakui memang sejak Februari — Juli 2020, RSCM belum melakukan operasi transplant hati.

“Itu (penundaan transplant hati) bukan kemauan kami (RSCM). Masalahnya, di waktu awal-awal pandemi, kami perlu hati-hati,” kata Prof. Hanifah.

Menurut Prof. Hanifah, operasi bedah yang memiliki resiko tinggi terpapar Covid-19 sengaja ditunda dahulu. Semata-mata untuk menjaga dokter, tenaga medis, pasien dan keluarga pasien dari Covid-19 yang tidak terlihat.

Selain itu, lanjut Prof Hanifah, operasi transplant hati membutuhkan waktu yang lama.

Kemungkinan terpapar tinggi, pasien di bius, pasien juga tanpa perlindungan di pernafasan. 

Dari segi tenaga medis, APD yang dipakai saat operasi di saat pandemi juga membuat kurang nyaman serta menyulitkan.

Dari perawatan usai operasi, pasien harus di ruang khusus, tidak boleh terkena infeksi. 

Tidak hanya saat operasi, tapi setelah operasi juga. Pasien setelah operasi juga harus minum Imunosupresan. Ini untuk menekan respon imun.

“Dalam kondisi ada covid, susah prosedurnya. Khawatir kena infeksi. Kalau gagal akan merugikan semua. Tidak transplant bisa meninggal, transplant juga bisa meninggal,” ucap Prof Hanifah.

“Kalau ada yang meninggal kami juga sedih, karena transplant tidak berhasil,” katanya.

Yayasan Rumah Satu Hati mengeluarkan data, sekitar 40-an anak atresia bilier meninggal dari Januari — Agustus 2020.

“Itu yang terdata di kami. Kemungkinan, angkanya bisa lebih,” kata Hery Aldian, pengurus Yayasan Rumah Satu Hati.

Juli 2020, kemarin, lanjutnya, anak-anak atresia bilier banyak yang meninggal. Bahkan Ambulance milik Yayasan Rumah Satu Hati belum sampai Jakarta, sudah ada yang meninggal lagi. “Sampai kami harus pinjam ambulance,” kata Hery.

Yayasan Rumah Satu Hati — untuk saat ini — memang menjadi satu-satunya lembaga yang concern mendampingi anak-anak dengan atresia bilier.

Bahkan yayasan tersebut sudah memiliki rumah singgah khusus anak-anak atresia bilier. Rumah ini diberi nama, Rumah Singgah Pejuang Hati.

Saat ini, ada 5 anak atresia bilier yang tinggal di Rumah Singgah Pejuang Hati. Total kamar yang dimiliki ada 7. Bangunan ini memiliki 2 lantai. Di lantai 1 ada 3 kamar, dan di lantai 2 ada 4 kamar.

Salah satu penghuni Rumah Singgah Pejuang Hati adalah Arsya dan kedua orangtuanya.

 

Tantangan di Masa Pandemi Covid

Sejak Indonesia dilanda wabah Covid-19, satu per satu anak-anak atresia bilier berguguran. Pemandangan itulah yang membuat Sartiani sempat berpikir apakah Arsya sampai transplant atau tidak, atau sampai pandemi selesai, anaknya tertolong.

“Saya selalu cari tahu informasi tentang program transplant, kapan program itu dibuka. Dan pihak rumah sakit juga belum ada kepastian,” kata Sartiani.

Sebelum pandemi, Sartiani selalu rajin ke RSCM untuk pemeriksaan Arsya, meningkatkan nutrisi, dan pemeriksaan yang lain-lain. Saat pandemi, tentu aktivitas itu dibatasi.

Sebisa mungkin, Sartiani mengurangi bepergian ke RSCM jika itu tidak urgent.

“Yang penting, obatnya tidak putus. Saya usahakan sebulan sekali pergi ke RSCM,” ucapnya.

Setiap hari, saat pandemi, Sartiani merasa waswas. Program transplant hati adalah jalan terakhir yang akan menyelamatkan hidup anak atresia bilier. Jika program ini ditunda, artinya harapan hidup pun kecil.

“Saya maklum, memang anak kami butuh penanganan, Cuma covid ini kan seluruh dunia, jadi saya tidak mungkin egois, saya berpikir positif,” jelasnya.

“Saya ingin anak saya sehat, hanya saja yang lain juga ingin sehat, seluruh dunia juga ingin sehat, ingin terbebas dari covid dan saya ikhlas,” kata Sartiani.

Karena sudah melihat perjuangan anak-anak yang lain, imbuh Sartiani, dan sudah sejauh ini, sudah selama ini di sini kalau dirinya masih egois alangkah malunya.

Sartiani mengaku sangat terdampak dengan adanya pandemi Covid-19. Ini terkait proses penyembuhan Arsya.

Anak-anak atresia bilier tak bisa lepas dari selang Nasogastric Tube (NGT) di hidung untuk minum susu. Selang NGT per satu minggu harus diganti. Itu normalnya.

Dengan adanya pembatasan pergi ke rumah sakit, penggunaan selang NGT harus benar-benar dihemat. “Setiap kontrol di RSCM, selang NGT hanya diberikan 4 selang,” ucap Sartiani.

Dari data Yayasan Rumah Satu Hati, per Januari — Agustus 2020 tercatat sebanyak 82 anak yang mengalami atresia bilier.

Dyah Putri Ambarwati, pengurus Yayasan Rumah Satu Hati mengaku banyak orang tua yang memiliki anak atresia bilier ingin pergi ke Jakarta di tengah pandemi.

Tetapi, Dyah selalu memberi informasi bahwa akan sangat banyak resiko jika harus pergi ke Jakarta di saat pandemi.

Persoalannya, sejak Februari — Agustus 2020, RSCM menunda program transplantasi hati. 

“Kami arahkan untuk persiapkan diri di daerah masing-masing. Kalau di sini, di rumah singgah hanya perbaikan gizi anak saja,” kata Dyah.

“Banyak yang sudah sampai Jakarta tanpa menghubungi kami juga ada, tapi kondisinya sudah mengkhawatirkan,” imbuhnya. Nadine salah satunya.

Nadine datang dengan kondisi yang sudah mengkhawatirkan. Akhirnya tidak lama di Jakarta terus berpulang. Nadine masih beruntung, ada yang mendampingi dari Nias. Ada yang memberi biaya. Resiko sudah ada yang tanggung.

“Banyak juga orangtua yang pergi ke Jakarta dengan modal semangat saja. Di Jakarta — saat ini – tidak ada apa-apa loh gitu. yang dicari di sini masih belum ada,” jelasnya.

Ini jelas berbeda saat sebelum pandemi, ketika program transplant rutin bergulir. Ada harapan hidup di Jakarta.

“Saat ini harapan di Jakarta dan di daerah itu sama. Sama-sama belum ada,” katanya.

Ruginya, lanjut Dyah, lebih banyak jika harus ke Jakarta untuk saat ini. Karena orangtua harus meninggalkan pekerjaan. Banyak resikonya untuk saat ini ke Jakarta.

Menurut Prof. Hanifah, RSCM sudah mencari yang siap untuk transplant. Sampai Juli 2020 RSCM memang masih meraba.

“Kalau sekarang sudah ada yang siap, kami akan kerjakan,” katanya. Tentunya, lanjut Prof. Hanifah, akan berubah dari segi protokol.

Kesiapan pasien itu mencakup, ada tidaknya pendonor hati, biaya, pendonor dalam keadaan sehat, anak tidak boleh gizi buruk. “Sebelum transplant, anak harus sudah divaksin,” jelasnya.

Kata Hery Aldian, dengan penundaan transplant saja anak-anak atresia bilier sudah berat. Selama pandemi, imbuhnya, jalan terbaik adalah mempersiapkan kesehatan anak dan ketersediaan donor hati.

“Jadi ketika program transplant sudah siap, tinggal masuk,” ucap Hery.

 

Sebuah Solusi dari Pandemi

Ketua Transplantasi Organ dan Jaringan RSCM — FKUI, Prof. DR. dr. Hanifah Oswari SpA(K) tengah merancang satu program untuk mendeteksi dini kemungkinan anak-anak atresia bilier.

Prof. Hanifah akan menggandeng Kementerian Kesehatan untuk program yang bisa menunda transplantasi hati anak-anak atresia bilier melalui warna BAB ini.

Operasi transplant hati membutuhkan biaya besar. Kisaran angkanya Rp 600-800 juta. Sementara itu, BPJS hanya sanggup menanggung biaya kurang lebih sebesar Rp 261 juta.

“Sisanya, siapa yang akan bayar? Ya pihak rumah sakit. Makanya, hanya RSCM yang sementara ini sanggup melakukan program transplant,” ucap Prof. Hanifah.

Untuk mengurangi pengeluaran biaya yang besar, Prof. Hanifah mengusulkan anak-anak atresia bilier untuk mengikuti program operasi kasai.

Operasi ini dilakukan dengan memotong bagian saluran empedu yang tertutup, lalu menggantinya dengan bagian dari usus halus.

Menurut Prof. Hanifah, operasi kasai dilakukan sebelum bayi berusia 2 bulan. Angka harapan hidup sampai menjalani transplant hingga 80 persen. Kasai jauh lebih murah secara biaya. Dan semua anak atresia bilier bisa kasai.

“Selamatkan anak atresia bilier tanpa transplantasi,” kata Prof. Hanifah.

Rentan Didiagnosis Reaktif Covid-19

Awal-awal wabah Covid-19 dan Jakarta dinyatakan zona merah, Arsya sempat demam, dan muntah darah. Masih ditambah lagi sesak. Prosedur RSCM, jika ada sesak harus tes swab.

Akhirnya, usai menjalani serangkaian prosedur, Arsya dinyatakan PDP dan dibawa ke Gedung Kiara, tempat penanganan pasien Covid-19 di RSCM.

Akan tetapi, Arsya tidak disatukan dengan pasien yang sudah dinyatakan positif.

Selama 1 minggu, Arsya dirawat di Gedung Kiara. Setelah hasil tesnya keluar, Arsya dinyatakan non reaktif. Kemudian, Arsya dirawat di Gedung A, tempat perawatan biasa.

Waktu Jakarta menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Sartiani hanya sebulan sekali pergi ke RSCM. itupun untuk mengambil obat Arsya yang habis dan cek lab bulanan.

Obat yang dikonsumsi Arsya: Asam Urso, Spironolakton, Apialis, SantaE, Propranolol, Omeprazol, dan Furosemide.

Itu obat yang kini menjadi teman Arsya, yang kini 1 tahun 5 bulan tinggal di Rumah Singgah Pejuang Hati menunggu program transplantasi hati dibuka kembali.

Juni 2020, kawasan Cikini — tempat Rumah Singgah Pejuang Hati — dinyatakan zona merah. Karena prosedur kebersihan yang ketat, tempat anak-anak atresia bilier justru dinyatakan aman. Sementara, banyak warga di sekitar rumah singgah yang dibawa ke rumah sakit.

Menurut Hery Aldian, banyak anak atresia biliar yang terindikasi suspect Covid-19. Alasan utamanya, pneumonia.

 

Senja Bagi Nadine

Usai menjalani perawatan di RS Murni Teguh di Medan, Erna dan Ivan membawa Nadine ke RSCM untuk mendapatkan perawatan yang maksimal. RSCM menjadi satu-satunya harapan bagi Nadine untuk sembuh.

Di dalam pesawat terbang, sambil menggendong Nadine, Erna mengulang ucapan dokter kepada Ivan.

Percakapan suami istri itu terkait siapa di antara mereka yang akan mendonorkan hati untuk Nadine. “Dan kami semuanya siap,” kenang Erna.

Tetapi jika di antara keduanya tidak sehat? “Itulah yang membuat kami pusing,” kata Erna.

Saat masih di pesawat, Ivan memiliki keyakinan 70% terhadap kesembuhan Nadine. Tetapi begitu sampai RSCM, harapan Ivan mulai pudar.

Kondisi Nadine semakin memburuk. Memang sebelum dirujuk ke RSCM, kondisi Nadine sudah begitu mengkhawatirkan. “Saya tidak menyalahkan RSCM,” ucap Ivan.

Selepas Nadine mengembuskan nafas terakhir, RSCM mengeluarkan Sertifikat Medis Penyebab Kematian.

Awalnya, sertifikat itu menunjukkan gejala kematian Nadine akibat Covid-19, meski bukan gejala mayor. Alasan utamanya, Nadine memiliki paru-paru basah.

Melihat isi sertifikat medis penyebab kematian, Ivan lantas protes. Dengan amarah yang meluah, Ivan menolak isi sertifikat itu.

Pasalnya, diawal pemeriksaan, pihak RSCM tidak ada diagnosis yang mengarah Covid-19. Tetapi setelah meninggal, pihak rumah sakit justru menulis sebab kematian Nadine, salah satunya karena Covid-19.

“Janganlah anak ini meninggal karena covid, kami yang bertiga, berempat ini pulang nanti kami ke Nias belum tentu kami diterima,”

“Nggak masalah kalau betul covid anak saya ini, nggak masalah dikubur di Jakarta ini, tempat pemakaman covid,”

“Keluarga kami mendengar ini di Nias bagaimana nasib kami bakal tidak diterima lagilah kami tiga orang ini. Sudah kena covid orang itu,” cerita Ivan.

Erna sempat tidak sadarkan diri saat mendengar Nadine meninggal — salah satunya — disebabkan karena suspect covid-19. Itu artinya, Nadine tidak bisa dimakamkan di Nias.

“Kalau Nadine tidak bisa pulang, saya juga tidak pulang. Sempat khawatir. Saya tidak mau meninggalkan Nadine. Saya sempat berpikir untuk tinggal di Jakarta selamanya,” kata Erna mengenang peristiwa 10 Agustus 2020 itu.

Hery Aldian yang mendampingi Ivan menemui pihak RSCM mengatakan, alasan pihak rumah sakit menulis suspect covid-19 adalah, pihak rumah sakit tidak ingin ada penularan dikemudian hari saat hasil rapid tesnya keluar dan reaktif Covid-19. “Rumah sakit juga dilema,” ucap Hery.

“Tujuannya adalah untuk keluarga agar tetap menjaga dan tidak ada penularan,” kata Prof. Hanifah menguatkan upaya preventif yang dilakukan pihak rumah sakit.

 

Diskriminasi dan Masa Depan Arsya

Erna sempat khawatir ada perlakuan diskriminatif di Nias akibat sertifikat medis penyebab kematian Nadine terkait suspect covid-19.

Erna tidak tahu lagi harus berbuat apa jika pada akhirnya, Nadine harus dimakamkan di Jakarta, sementara dirinya dan suami kembali ke Nias.

Bahkan, Erna sudah membayangkan akan adanya penolakan dari masyarakat Nias saat dirinya kembali.

Tapi, kekhawatiran itu buru-buru ditepis ketika pihak RSCM berkenan mengubah isi sertifikat medis penyebab kematian Nadine.

Jumat, 14 Agustus 2020, Nadine dimakamkan di tempat pemakaman umum di Desa Baruzo, Kecamatan Sogaeadu, Kabupaten Nias, Sumetera Utara.

Di Jakarta, Arsya dan kelima anak atresia bilier yang kini tinggal di Rumah Singgah Pejuang hati hanya bisa berharap, pihak RSCM kembali membuka program transplantasi hati. Karena bagi mereka, hanya itu alasan utama datang ke Jakarta.

Di masa pandemi seperti ini, tak banyak kegiatan yang dilakukan penghuni Rumah Singgah Pejuang Hati.

Setiap hari jika tidak ada jadwal kontrol ke RSCM, hanya berdiam diri di kamar. “Terkadang, saya isi kekosongan kegiatan dengan senam dan memasak,” kata Sartiani.

Jumat, 24 April 2020, saat Jakarta menerapkan PSBB, Dyah Putri Ambarwati mengirim pesan ke penulis, “Pasienku terpenjara akibat PSBB di Jakarta. Nggak ada yang bisa keluar. Aku waswas saja kalau ada yang meninggal, bagaimana nih?”

“Yang tertahan di Jakarta menjadi tanggungan kami (Yayasan Rumah Satu Hati). Mereka makan saja susah, biaya hidup juga mahal. Mata publik semua fokus ke covid-19,” katanya.

“Sekarang, selama program transplant belum dibuka, kami akan melihat satu per satu anak-anak kami berguguran tanpa harapan,” ucap Dyah.

Ikuti tulisan menarik Dony P. Herwanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB