x

Presiden pertama RI, Sukarno (kiri) didampingi Wakil Presiden Mohammad Hatta, memberikan hormat saat tiba di Jalan Asia Afrika yang menjadi Historical Walk dalam penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, 1955. Dok. Museum KAA

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 17 Agustus 2023 06:12 WIB

Malam-malam Panjang Menjelang Proklamasi 1945

Pergumulan penentuan Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sudah dimulai sekitar seminggu sebelum pembacaan naskah proklamasi. Perjuangan puluhan tahun itu dipenuhi persaingan antara kelompok pemuda yang ingin segera mengaklamasikan kemerdekaan dan ikon perjuangan seperti Sukarno Hatta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*) Naskah ini permah dimuat di Tempo.co

Pergumulan penentuan Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sudah dimulai sekitar seminggu sebelum pembacaan naskah proklamasi. Perjuangan puluhan tahun itu dipenuhi persaingan antara kelompok pemuda yang ingin segera mengaklamasikan kemerdekaan dan ikon perjuangan seperti Sukarno Hatta. Tempo mencoba mengangkat momen bersejarah detik-detik proklamasi tersebut.

12 Agustus 1945

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sukarno, Hatta dan Dr. Radjiman bertemu pimpinan Jepang di kota Saigon. Pada pertemuan itu, Terauchi, seorang pejabat Jepang mengutarakan pemberian hadiah dari pemerintah Jepang.

Ia berpidato singkat. "Tuan-tuan, saya mengabarkan bahwa pemerintah Jepang telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia." Bung Karno pun menyambut hangat pemberian itu. "Kami berjanji akan berusaha segiat-giatnya untuk melaksanakan kewajiban kami dengan segenap jiwa dan raga yang berkobar-kobar."

Hatta sendiri seusai pertemuan itu menyampaikan kepada Bung Karno perlunya mempercepat proses kemerdekaan. "Kita harus mempercepat persiapan kita untuk melaksanakan kemerdekaan kita. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia harus segera bersidang dan mengesahkan UUD Republik Indonesia." 
 
15 Agustus 1945
 
Sukarno dan Hatta menuju kantor Yamamoto di Gunseikanbu, Kantor Pusat Administrasi Militer Jepang, di dekat Gambir (sekarang kantor Pertamina) untuk menanyakan betul tidaknya Jepang sudah menyerah kepada sekutu.

Sayang kantor Yamamoto kosong, Ahmad Subardjo yang waktu itu menjabat Kepala Biro Riset Angkatan Laut Jepang mengusulkan untuk mencari informasi dari Laksamana Muda Tadashi Maeda, Kepala Kantor Kaigun Bukanhu (Penghubung antara Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang) di sebelah Utara lapangan Ikada di gedung "Volkscreditwezen" (sekarang gedung Markas Besar Angkatan Darat jalan Medan Merdeka, Jakarta).

Kemudian ditanyakan perihal sudah menyerahnya Jepang. "Laksamana Maeda, benarkah berita yang sekarang tersiar di masyarakat bahwa Jepang sudah minta damai kepada Sekutu?"

"Benar, berita itu memang disiarkan oleh Sekutu, tetapi kami di sini belum lagi memperoleh berita dari Tokyo, sebab itu berita itu belum kami pandang benar. Hanya instruksi dari Tokyo yang menjadi pegangan kami," ujar Maeda

Pukul 9.30, 15 Agustus 1945

Sekelompok pemuda yaitu Wikana, Soebadio, Chaerul Saleh, Sukarni, Adam Malik, Darwis, dan Soeroto Kunto mendatangi kediaman Bung Karno di Pegangsaan. Wikana yang bekerja di kantor Kaigun Bukanhu pimpinan Maeda mengutarakan niatnya agar Bung Karno dan Bung Hatta supaya segera menyatakan kemerdekaan, lepas dari janji Jepang dan PPKI. Pada saat yang sama pemuda lainnya juga mendatangi kediaman Bung Hatta. Waktu itu Hatta sedang menyiapkan pidato kemerdekaan yang akan dibagikan kepada anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan. Hatta diajak agar mau mendatangi kediaman Bung Karno menyiapkan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Wikana kemudian maju, matanya menyorot tajam, ia memandang Sukarno dan berkata setengah menggeram, "Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah."

Tidak mau kalah Bung Karno yang waktu itu sedang menderita malaria membalas dengan wajah merah padam, sambil menyorongkan lehernya. "Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu sampai besok."

Pukul 3 pagi, 16 Agustus 1945

Para pemuda mendatangi kediaman Bung Karno. Chaerul Saleh dan beberapa pemuda masuk dengan diam-diam, berpakaian seragam PETA. "Berpakaianlah Bung. Sudah tiba saatnya," kata seorang pemuda. Pemuda lain berkata, "Oleh karena itu kami akan melarikan Bung keluar kota. Sudah kami putuskan untuk membawa Bung ke tempat yang aman."

Pukul 4 pagi, 16 Agustus 1945

Di pekarangan rumah Bung Karno sudah ada dua mobil. Mobil yang satu sudah diisi Hatta, Sukarno, Fatmawati dan Guntur masuk ke mobil Fiat. Selama di Rangasdengklok rombongan Bung Karno dan Hatta disembunyikan di rumah Djiauw Kie Siong.

Pukul 18.00, 16 Agustus 1945

Sukarni, seorang aktivis Menteng 31 mendatangi persembunyian kedua tokoh tersebut. Ia membawa pesan bahwa Ahmad Subardjo telah datang dan ditugasi oleh Gunseikan untuk membawa rombongan kembali ke Jakarta. Alasanya Panitia Persiapan Kemerdekaan tidak bisa bekerja tanpa kehadiran dua tokoh yang diculik tersebut.

Rombongan kembali ke Jakarta menggunakan tiga mobil. Mobil pertama berisi Sukarni (aktivis Menteng 31), Ahmad Subardjo menemani Bung Karno, Fatmawati, Guntur dan Bung Hatta. Mobil kedua merek Skoda diisi Sudiro (Pemimpin Harian Barisan Pelopor) dan Kunto. Mobil ketiga diisi oleh tentara PETA.

Sekitar Pukul 20.00, 16 Agustus 1945

Sampailah di kediaman Bung Karno. Hanya Fatmawati dan Guntur yang turun. Bung Karno melanjutkan menemani Bung Hatta pulang.

Pukul 22.00, 16 Agustus 1945

Bung Karno bersama Subadjo menjemput Bung Hatta menuju rumah Laksamana Maeda. Dalam pertemuan itu Maeda meminta Bung Karno mencegah pemberontakan. "Tuan-tuan, kita harus mencegah pemberontakan para pemuda dan tentara PETA malam ini karena mereka pasti akan berhadapan dengan tentara Jepang."

Dinihari 17 Agustus 1945

Sukarno dan Hatta kembali ke rumah Maeda. Di dalam rumah Maeda sudah banyak orang hadir, Tampak Latuharhary SH, Otto Iskandardinata, Teuku Mohammad Hasan juga tokoh pemuda seperti Chairul Saleh, Sukarni, BM Diah dan Sayuti Melik.

Kemudian Sukarno dan Hatta merancang naskah proklamasi. Awalnya Bung Karno meminta Hatta yang merancang, namun ditolak Hatta. "Apabila aku mesti memikirkannya, lebih baik Bung menuliskan, aku mendiktekannya."

Bung Karno sempat menanyakan kepada Ahmad Subardjo. "Masih ingatkah Saudara teks dari Bab Pembukaan Undang-undang Dasar kita?" Teks itu ditanyakan karena Bung Karno memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut proklamasi.

Terjadi perdebatan setelah Bung Hatta menanyakan siapa saja yang harus ikut menandatangani naskah proklamasi itu. Akhirnya Sayuti Melik, setelah berunding dengan tokoh lain melontarkan idenya kemada Sukarni.

Langsung dilontarkan Sukarni, "Bukan kita semuanya yang hadir di sini harus menanda tangani naskah itu. Cukuplah dua orang saja menanda tangani atas nama rakyat Indonesia, yaitu Bung Karno dan Bung Hatta."

Ikada atau Pegangsaaan Timur

Sukarni menyatakan naskah proklamasi harus dibacakan di Lapangan Ikada karena sudah memberitahukan kepada rakyat agar mendatangi lapangan itu. Usul itu ditolak Sukarno. "Lebih baik dilakukan di tempat kediaman saya, Pegangsaan Timur. Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus memancing-mancing insiden."

Polemik pembacaan itu terjadi pukul 03.00 pagi. Akhirnya Bung Karno memutuskan, "Karena itu, saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56 pukul 10.00 pagi".

Selesai naskah proklamasi diketik Sayuti Melik, keluarlah Laksamana Maeda dengan beberapa orang Jepang dan mengucapkan selamat.

Pukul 9.50, 17 Agustus 1945

Beberapa orang nampak gelisah karena Bung Hatta tidak kunjung datang. Bung Karno pun bersikeras tidak akan membacakan bersama tanpa kehadiran rekanya itu. Akhirnya lima menit menjelang pukul 10.00 Hatta datang dan disambut meriah.

Dalam buku Sepekan Menjelang Kemerdekaan yang ditulis Buntje Harbunangin, selesai membacakan naskah proklamasi, Bung Karno memberikan pidato singkatnya. "Demikianlah saudara-saudara, kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita. Negara Merdeka, dengan Republik Indonesia merdeka, kekal dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kita, kemerdekaan kita ini"

Evan/PDAT Sumber Diolah Buku Buntje Harbunangin

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu