x

Foto ilustrasi capres 2024

Iklan

Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Oktober 2022

Kamis, 17 Agustus 2023 19:32 WIB

Yakobus dan Yohanes, Tertekan di Balik Ambisi Kekuasaan?

Sepantasnya orang tak miliki ambisi liar atau diambisikan untuk menjadi pemimpin atau penguasa. Kata orang selidikilah rekam jejaknya, karakter kepribadiannya, dan tentu saja kesaksian hidupnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Yakobus dan Yohanes: Tertekan di Balik Ambisi Kekuasaan?"

 

P. Kons Beo, SVD

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Dalam kisah Injil (Markus 10:35-45), ambisi itu tak bisa ditutup-tutup. Iya, ambisi untuk dapatkan posisi kunci pada saat Yesus datang nanti dalam kemuliaanNya. Yakobus dan Yohanes, kedua bersaudara itu, dengan percaya diri bersuara. Ini demi dapatkan tempat di sebelah kanan  dan sebelah kiri kelak.

Permintaan yang nampak haus posisi itu bangkitkan kemarahan sepuluh murid yang lain. Apakah sepuluh murid yang lain itu telah paham betul apa arti sesungguhnya mengikuti Yesus? Ataukah mereka merasa tersaingi demi posisi itu, namun masih 'rem-rem diri' untuk bersuara terus terang pada Yesus? Entahlah.

Bagaimanapun, kiranya ambisi demi posisi itu nyata ada di hati semua murid. Dan jadinya? Muncullah gontok-gontokan atau gesek-gesekan di antara para murid itu. Dan kata-kata Yesus, pada akhirnya, mesti ditangkap sebagai norma paling pasti: apa arti posisi kiri - kanan itu:

"Yang ingin menjadi besar di antara kamu hendaklah ia menjadi pelayananmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu hendaknya ia menjadi hamba untuk semuanya" (Markus 10:23-24).

Kata-kata Yesus itu jelas memangkas tegas arti tentang posisi utama seperti dikenal oleh dunia. Itulah Pemerintah Bangsa-Bangsa yang akrab dengan mainkan tangan besi. Dan jalankan kuasanya dengan keras atas rakyat. Sementara Yesus tegaskan apa artinya pemimpin dan kuasa dalam artian melayani (Markus 10:45).

 

Tempat, posisi, jabatan, pangkat, dan kekuasaan, siapakah yang tak mengimpikan? Terhitung sebagai pembesar, pejabat, petinggi atau bahkan penguasa bisa menjadi idaman atau cita-cita yang mesti dikejar menggebu-gebu dan sejadi-jadinya.

 

Namun, sepantasnya orang tak miliki ambisi liar atau diambisikan untuk menjadi pemimpin atau penguasa. Kata orang, selidikilah saja rekam jejaknya. Telitilah dengan saksama karakter kepribadiannya. Dan tentu saja, lihatlah dengan serius kesaksian hidupnya yang sepantasnya cemerlang dan unggul. Walau tak seputih malaekat.

 

Namun, syarat-syarat serius yang minimal ini, sayangnya, dalam daur ulang politis, bisa dikaroseri seolah-olah mempesona dan mengandung umpan manis bagi publik (rakyat).  

 

Yang minusnya tebal rekam jejak, bisa dibuat jadi bak pahlawan pro rakyat atau pun sebagai pejuang kemanusiaan. Namanya saja strategi politik. Segala cara dan kiat-kiat apa saja bisa 'diamini dan diwajarkan.' Sebab yang terpenting adalah bisa meraih posisi. Dan terlebih berhasil menggenggam kuasa. 

 

Di hari-hari ini Indonesia lagi membidik calon untuk jadi RI 01 dan 02. Satu momentum politik penuh intrik berdaya saing penuh sengit. Kata-kata dan gesture dari dan tentang Ganjar Pranowo - Anis Baswedan - Prabowo Subianto sudah diforma dan ditafsir dalam konteks politik. Baik dari yang Pro, maupun dari yang Kontra.

 

Entah apa yang tengah dan hendak diandalkan Ganjar Pranowo nanti? Apa-apa saja prestasinya saat 10 tahun jadi orang nomor 1 di Jawa Tengah sana? Atau kah Ganjar hanya berharap dan berlindung pada 'kejayaan PDIP dan nama besar serta berpengaruh dari Jokowi? Tampaknya masih sepih dan samar.

 

Beruntungkah Anis Baswedan. JIS yang berdaya pikat itu, setidaknya punya aura politis demi lambungkan namanya. Namun, apakah semudah itu? Jika JIS jadi venue Piala Dunia U-17, apakah itu sudah cukup untuk membongkar ingat aneka soal di DKI semisal segala kelebihan bayar, Rumah DP 0, naturalisasi sungai dan banjir, sumur resapan, dan Formula E itu? 

 

Dan walau digebuk terus sebagai Gubernur DKI hasil racikan politik identitas yang dinilai geli dan menjijikkan itu, Anis sudah melaju dengan suara sanjungan, "Gubernur rasa Presiden."

 

Yakinlah di hari-hari ini Surya Paloh serta kaum yang senafas dengannya tetap berpikir serius agar Anis Baswedan, apalagi Nasdem, bisa sungguh berjaya. Bukankah Paloh adalah type orator penuh gelegar optimisme? 

 

Tak gampang memang 'menjual Anis hanya atas dasar rasa Presiden tanpa litania nyata karya demi publik ibukota. Atau masih maukah, demi Anis, tetap dipertahankan kiat-kiat politik identitas seperti di 2017 saat hempaskan Ahok?

 

Atau masih mau bertahan kah pada strategi kata penuh klarifikasi? Masuk dalam  forma logika verbalis hedonis yang nyatanya banyak contra factum nya? Di situlah Anis Baswedan, seperti halnya Rocky Gerung, seringkali tertikam tombak kata-katanya sendiri.

 

Dan sungguhkah Anis masih dipertahankan? Tentu bukan karena strong and smart leadership yang dipunyainya. Ini katanya, hanya karena kehendak hati oknum ini dan itu, kelompok sana - sini, untuk 'ambil dan curi untung politik, bisnis dan kepentingan' sekiranya Anis jadi presiden dengan gaya dan kharakter kepemimpinannya seperti itu. 

 

Lain Anis, lain lagi si Prabowo. Juara bertahan Capres yang 'belum pernah menang,' di usianya ke 72 tahun di 17 Oktober 2023 ini, masih saja  energik dalam ambisi kekuasaan. Katakan saja ada strategi penuh  persona yang tampak 'lebih kalem tak meledak-ledak penuh emosi.' Namun tetap ada 'strategi operasional' demi menggalang koalisi. 

 

Prabowo sungguh beruntung. Gerindra yang sudah kuat, menjadi lebih kuat oleh oleh kehadiran PKB. Dan terakhir, Prabowo dan Gerindra-nya, semakin jadi gemuk dan tebal oleh kedatangan Golkar dan PAN. 

 

Kabarnya tak hanya itu, aksi penuh gerilya sudah dimainkan tim Prabowo untuk susup sana, susup sini. Jokowi didekati, Gibran ingin dirangkul. PSI divisitasi penuh simpatik. Hingga, katanya, "Logika Ade Armando kini jadi santun. Tak menukik tajam lagi ke Prabowo."

 

Tak ada yang salah dari akrobatisasi politik walau terkesan pula penuh overlapping dari ahli strategi militer ini. Jika di 2017 itu, Anis Baswedan bisa ditolong 'naik ke DKI 01', maka tidak bisa kah Prabowo menolong  ambisinya sendiri?'

 

Belakangan ini, nyatanya Prabowo lagi panik tentang dirinya sendiri. Kekuasaan adalah isi mimpi wajib di keseharian tidurnya. Koalisi gemuk sudah ia dapatkan. Lobi sana sini sudah diusahakan. Pencitraan penuh perhitungan sudah dikobarkan. Namun, apalagi yang masih kurang?

 

Yang masih kurang itu adalah kuasa. iya, kekuasaan. Dan Prabowo tahu persis, bahwa kuasa itu ada pada tangan (suara) rakyat. Untuk jadi penguasa (yang berkuasa) itu vox populi adalah conditio sine qua non, bahwa suara dan kepercayaan rakyat adalah syarat mutlak. Tak bisa tidak!

 

Di situlah Prabowo tak sanggup tutup-tutupi ambisi minta kuasa. Atau minta untuk  berkuasa. Prabowo minta ijin rakyat untuk berkuasa. Mungkin kah karena Prabowo sudah belajar dari pengalaman bahwa  demo-demo jalanan atau seruan dan aksi People Power bukanlah jalan cantik konstitusional untuk 'cepat berkuasa' demi simpatik publik yang kecewa dan marah pada regim Jokowi. 

 

Yang terbaik, iya mintalah ijin penuh jujur dan terus terang untuk mau berkuasa! Itulah ambisi yang tak sanggup ditutupi. Adakah yang salah dari Prabowo jika ia minta ijin rakyat untuk berkuasa? Tidakkah ini adalah sejenis minta restu? 

 

Prabowo memang tak sabaran untuk berkuasa.  Di Pilpres 2019 lalu, tidakkah ia sudah duluan proklamasikan kemenangannya yang sensasional, yang ternyata berujung berantakan? Dan di Pilpres 2024 ini segala galang kekuatan mesti dioptimalkan. Demi tak jadi lukisan sejarah bangsa selamanya sebagai capres tetap. Tapi, Prabowo pasti tahu bahwa Pilpres bukan soal gemuknya koalisi pun tebalnya pundi-pundi logistik. Tapi, apakah dia masih punya daya pikat penuh pesona di hati massa?

 

Akhirnya, hari-hari ini, atmosfere Tanah Air, katanya, adalah milik para buzzer.  Opini buzzer itu selalu tak berimbang. Glorifikasi pada calon tertentu, adalah titik suram sebaliknya bagi yang lain. Puja-puji akan yang satu pasti jadi mimpi buruk penuh umpat dan hina bagi calon yang lain. Cinta kasih, rasa kekeluargaan atau tolorensi umumnya degradatif kadarnya jelang pemilihan para kemimpin di rana kehidupan apa saja.

 

Bagaimanapun jutaan pasang mata batin di Tanah Air sepatutnya bertaruh untuk miliki kemampuan demi menyimak calon pemimpin: Siapakah di antara para calon RI 01 dan 02 2024 ini yang miliki potensi unggul untuk hadir demi bangsa dan negara sebagai pelayan dan hamba? 

 

Yang jelas, tak diinginkan calon pemimpin yang berkelap-kelip merasa diri besar dan terkemuka. Apalagi berpotensi dalam memerintah rakyat dengan tangan besi.

 

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro
Roma - Italia.

Ikuti tulisan menarik Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu