x

Iklan

G. Yadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Desember 2022

Sabtu, 26 Agustus 2023 08:41 WIB

Nenek Indo Berusia 93 tahun dan kutilang Hindia Belanda

Tulisan ini bagian dari proyek menulis: Membaca Indonesia dalam Narasi De Telegraaf.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Artikel asli tulisan ini disusun oleh Bernice Breure, wartawan De Telegraaf, bersumber dari hasil wawancara dengan Hetty Schoorel. Dirilis De Telegraaf tanggal 5 Agustus 2023.

Sungguh langka tapi nyata. Seorang oma Belanda kelahiran Indonesia –saat itu masih Hindia Belanda– baru mulai menjadi penulis ketika menginjak usia 92 tahun. Nenek itu bernama Hetty Schoorel. Kini ia tinggal di sebuah panti jompo di Amstelveen, kota kecil dekat Bandara Internasional Schiphol. Bukunya berkisah tentang seekor kutilang jinak yang ia pelihara sejak burung itu baru menetas. Hetty menamainya Tjoesmai yang kemudian dijadikan judul buku perdananya tadi.

Kebersamaannya dengan unggas itu bermula ketika kakak lelakinya yang berusia 13 tahun, Jan, memberi anak burung itu kepadanya. Jan menemukan anak burung itu tengah tidak berdaya di pohon mangga dekat rumah mereka. Induknya mati disumpit orang. Usia Hetty terpaut 1,5 tahun lebih muda daripada Jan. Ia masih ingat dengan baik kejadian tersebut yaitu pada bulan Oktober 1942 di Surabaya, Jawa Timur. Nama panggilan Tjoesmai kepada kutilang atau geelbroekje dalam Bahasa Belanda itu dia karang sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ibunda dari Hetty dan Jan Belanda totok. Sedangkan ayahnya peranakan Belanda-Jawa. Orang tuanya mengajari bagaimana memberi makan pada burung kecil tersebut. Makanan kesukaan Tjoesmai ialah buah papaya yang dikunyah terlebih dahulu oleh Hetty agar halus dan lunak. Burung itu berkelamin jantan. Ia selalu hinggap di pundak Hetty, bahkan tatkala ia sedang bersepeda atau bermain sepatu roda.

Karena balatentara Jepang telah meduduki Jawa, orang-orang Belanda dan Eropa lainnya ditahan di tangsi-tangsi khusus. Banyak teman dan kenalan mereka dibawa ke tangsi lebih dahulu. Tidak lama kemudian Hetty dan ibunya diangkut dengan keretapi dari Surabaya ke tangsi Halmahera yang terletak di tenggara Semarang, Jawa Tengah. Jan dibawa ke tangsi tahanan khusus anak-anak lelaki. Sebelumnya, ayah mereka terlebih dahulu ditangkap sebagai tawanan perang. Hetty tidak ingin meninggalkan Tjoesmai. Burung itu harus ikut ke tangsi.  Di sana ada rumah boneka yang punya dakkapelletje atau jendela pada atap. Di ruang sempit itulah dia menyembunyikan burungnya dengan menaruh sejenis lidi agar Tjoesmai hinggap. Karena sempit, dia terpaksa memotong sebagian bulu ekornya sehingga bisa muat dalam ruang kecil tadi.

Dalam buku kecil dengan 130 halaman itu Hetty memenceritakan kehidupan sehari-hari dalam tangsi tahanan. Begitu pula bagaimana ia mampu memelihara Tjoesmai selama satu setengah tahun lamanya. Terkadang dia kisahkan dengan lucu bagaimana seorang anak gadis kecil mampu menghadapi kejutan hidup yang terkadang sangat berat. Dalam tangsi anak-anak ditugaskan memasang label nama pada jemari kaki jenazah orang yang baru meninggal di tangsi. Karena fisiknya lebih kuat, Hetty mendapat tugas sebagai penjaga api di dapur umum. Salah satu hiburannya adalah Tjoesmai. Burung itulah yang menjadi penyemangat baginya untuk bertahan hidup. Dia harus survive dengan misi menyelamatkan kutilang tadi.

Kutilang itu sangat suka bubur tepung. Hetty bisa mencurahkan seluruh perasaannya kepada burung penyanyi tadi. Tidak ada makhluk lain yang lebih mengenal Hetty selain Tjoesmai. Setiap selesai bekerja di dapur dan pulang ke kamarnya Hetty selalu disambut kicauan yang ramai oleh Tjoesmai.

Suatu ketika, burung itu tiba-tiba hinggap di pundak Hetty pada waktu upacara. Komandan tangsi membawa Tjoesmai. Pernah pula tangsi Halmahera sedang kekurangan makanan, seorang temannya menyarankan kenapa tidak dipotong saja burung itu lalu dimakan. Sugesti itu sempat terbawa dalam pikiran Hetty. Tapi tentu saja anjuran itu tidak dia turuti.

Menurut sahabat keluarganya, Dorothé Duijves, Tjoesmai memberi semangat – baik secara harfiah maupun kiasan – untuk bertahan hidup kepada Hetty. Dorothé ini berperan membantu Hetty dalam penulisan buku tentang kutilang tadi. Bahkan setelah Agustus 1945, Tjoesmai tetap menjadi sahabat setia Hetty. Periode pasca proklamasi tersebut merupakan masa bergolak yang menakutkan bagi orang Belanda dan Indo di Indonesia. Saat itu bangsa Indonesia berada dalam revolusi kemerdekaan. Karena kondisi gawat, keluarga Schoorel kembali ke Belanda. Penerbangan dari Bandung ke Jakarta adalah etape pertama dari perjalanan tersebut.

Dakota tersebut terbang tanpa pintu karena juga digunakan mengangkut paket-paket makanan yang didrop di lokasi tertentu sepanjang rute penerbangan. Dalam pesawat Hetty berkata kepada Tjoesmai bahwa kutilang itu belum pernah terbang setinggi itu. Selama penerbangan, burung tersebut bertengger di bahu Hetty.

Sesampainya di Jakarta mereka menuju pelabuhan di mana kapal penumpang Boissevain sudah menunggu di dermaga. Sesuai aturan, Tjoesmai tidak boleh dibawa naik kapal. Karena itu, Hetty yang saat itu sudah berusia 16 tahun menolak berangkat. Untungnya seorang pegawai senior kapal rela ‘tutup mata’ sehingga Hetty bisa membawa kutilang tadi naik kapal yang akan membawa mereka ke Belanda asal burung itu disembunyikan saat pemeriksaan.

Di Amsterdam, kehidupan Tjoesmai semakin berwarna. Hetty membawa kutilang itu saat liburan ke Bergen aan Zee dengan keretapi. Hetty juga membawa Tjoesmai membawanya jalan-jalan di hutan serta sehingga menjadi perhatian banyak orang. Kutilang itu juga sering menirukan nyanyian burung tropis lainnya, seperti suara jalak. Dengan cara ini Tjoesmai menghadirkan suasana Hindia Belanda dalam rumahnya.

Hetty menikah pada tahun 1955. Setahun kemudian Tjoesmai jatuh sakit. Dokter hewan dipanggil dan terkejut karena seekor burung tropis dapat bertahan begitu lama dalam iklim Belanda. Kutilang itu akhirnya mati. Hetty sedih luar biasa atas kematian Tjoesmai. Untuk menghilangkan kesedihannya Hetty bersepeda ngalor-ngidul tanpa tujuan. Dia mengawetkan jasad burung itu dalam sebuah kotak lalu menyimpannya. Dia berwasiat agar kotak berisi taxidermi kutilang tadi disemayamkan bersama kerandanya saat ia nanti meninggal. Ia ingin dimakamkan bersama jasad Tjoesmai. Hetty, ibu dari seorang anak perempuan serta nenek dari dua cucu perempuan itu sangat bahagia setelah bukunya terbit. Ada pula rencana untuk mengangkat kisah itu menjadi sebuah film dan podcast. Menurut Dorothé cerita Hetty ini sepatutnya dipublikasi ke seluruh dunia.

***

Terkadang keinginan menulis sifatnya momentum. Ada hal-hal kuat yang sifatnya pribadi memicu keinginan mencurahkan buah pikiran, refleksi, pengalaman atau kenangan, dsb., ke dalam tulisan. Contohnya Oma Hetty ini. Peristiwa masa lampau yang sudah berlalu lebih dari 80-an tahun itu berhasil dia tuangkan dan jadi buku. Sebuah prestasi yang patut mendapat ancungan jempol.

Dari sumber lain, kami coba memperkaya agar kisah tentang keluarga Schoorel ini lebih lengkap. Menurut Aanspraak edisi Desember 2018, Hetty lahir di Amsterdam, 24 Mei 1930. Ayahnya guru olahraga di sebuah sekolah di Bandung, kemudian mereka pindah ke Surabaya. Menjelang Jepang masuk, ayahnya ikut wajib militer. Juga menurut Aanspraak, Hetty menyelundupkan Tjoesmai menggunakan tas kotak terbuat dari anyaman rotan. Info ini bahkan dilengkapi dengan foto Hetty memperlihatkan tas tersebut dengan keterangan Hetty Schoorel met de mand waarmee ze haar vogel het kamp Halmaheira in smokkelde. Sedangkan dalam kisah di atas kutilang tadi diselundupkan ke dalam rumah boneka. Dari perbedaan info ini mungkin dapat ditafsirkan, pertama, bahwa burung tadi dimasukkan ke dalam rumah boneka, kemudian dimasukkan ke dalam tas kotak yang terbuat dari rotan. Kedua, mungkin karena sudah sepuh, daya ingat atau keinginan seseorang dapat berubah. Misalnya, dalam artikel yang ditulis Bernice Breure ini, Hetty ingin dimakamkan bersama taxidermi Tjoesmai, sedangkan dalam Aanspraak ia ingin dikremasi bareng.

Masa kecil Hetty sebelum pendudukan Jepang sepertinya cukup berada. Dari foto-foto koleksi keluarganya terlihat diabadikan oleh kemerawan profesional serta kamera berkualitas. Disamping itu, ia bisa bermain sepatu roda. Pada masa itu, remaja pribumi yang mampu memiliki atau bermain sepatu roda biasanya putra-putri raja-raja lokal atau kaum bangsawan yang kaya raya.

Dari sumber lain terdapat info tentang seseorang yang bernama Jan Schooler. Menurut artikel yang ditulis oleh Pieter Scheen dalam Lexicon Nederlandse beeldende kunstenaars 1750-1950 itu, Jan Schoorel lahir di Batavia, 28 Desember 1928. Pelukis Belanda ini pernah tinggal di Bandung, Surabaya, Semarang dan sejak 1951 di Amsterdam. Di Belanda, Jan menjadi murid Ger. Gerrits, selanjutnya menjadi siswa Kunstnijverheidsschool. Kemudian ia bekerja pada Rijkscollectie. Tahun lahir serta kisah perjalanan hidup Jan mirip dengan apa yang dikisahkan Hetty dalam Aanspraak. Tetapi apakah Jan Schoorel yang dijelaskan Pieter Scheen ini sungguh Jan abang dari Hetty, kami belum bisa menjawab dengan yakin.

Cerita tentang Hetty Schoorel ini dilengkapi dengan 4 foto. Gambar pertama diambil dari Marcel Antonisse yang mengabadikan Hetty sedang bertopang dagu dengan kedua tangan dengan jari saling berhimpitan. Dalam usia yang sudah – menurut ukuran Indonesia – sangat sepuh, oma Indo ini masih terlihat luamayan muda. Latar belakangnya dinding dengan lukisan bermotif tanaman bunga. Keterangannya berbunyi De 93-jarige Hetty Schoorel die een boek schreef over haar tijd in een Jappenkamp, waar ze haar tamme vogeltje (foto links) mee naar binnen smokkelde.

Dalam foto kedua tampak Hetty kecil bersama abangnya serta kedua orang tuanya. Mereka sedang berdiri di pinggir kali dengan air yang jernih serta beriak karena dangkal. Gambar itu diberi penjelasan Hetty en haar broer met hun ouders, een Nederlandse moeder en een vader met een Javaanse moeder en een Hollandse vader. Sebaliknya, pada Aanspraak  juga terdapat foto yang sama tapi dengan judul berbeda yakni V.l.n.r.: Broer Jan, vader Jan, Hetty en moeder Corry Schoorel, Kali Mas, Boemidjawa Java, 1938. Sedangkan foto ketiga yang diberi keterangan De vogel op de hand van Hetty, mengabadikan kutilang Hindia Belanda itu yang hinggap di tangan Hetty. Dalam foto keempat terlihat Tjoesmai bertengger di pundak Hetty saat remaja. Gambar ini diberi ulasan De jonge Hetty. Foto kedua hingga keempat ini adalah koleksi pribadi Hetty atau keluarga Schoorel. Dari Aanspraak juga diketahui usia Tjoesmai mencapai 16 tahun.

Sebenarnya keterikatan perasaan orang-orang Indo yang kembali ke Belanda – khususnya generasi pertama – dengan Hindia Belanda sangat kuat. Terlepas dari kenangan pahit rentetan peristiwa traumatis dekolonisasi yang memaksa mereka meninggalkan tanah kelahirannya, namun banyak dari mereka menganggap ‘Belanda is ons vaderland, Hindia Belanda (kini Indonesia) is ons moederland’. Kisah Hetty dan Tjoesmai ini salah satu wujud ikatan tersebut.

Artikel asli dapat dibaca di sini. Foto dari Pexels, karya Kirandeep Singh Walia.

Ikuti tulisan menarik G. Yadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu