x

cover buku Cerita Saya

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 28 Agustus 2023 21:39 WIB

Cerita Saya - Kisah Lim Goh Tong Diaspora Tiongkok yang menjadi Konglomerat di Malaysia

Lim Goh Tong adalah salah satu diaspora Tiongkok yang berhasil menjadi konglomerat di Malaysia. Lim adalah inisiator dan pengembang kawasan Genting sehingga menjadi tempat pelancongan lengkap dengan kasinonya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Cerita Saya

Penulis: Tan Sri Lim Goh Tong

Tahun Terbit: 2004

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Pelanduk Publication

Tebal: 205

ISBN: 967-978-893-8

 

Saat buku ini muncul di laman buku bekas di face book, saya segera memesannya. Sebagai seorang yang menyukai tokoh-tokoh tionghoa, saya merasa bahwa buku ini akan melengkapi koleksi saya yang semenjana. Namun setelah saya amati lebih jeli, ternyata Lim Goh Tong bukan orang Indonesia, tapi Malaysia.

Apa lacur.

Saya beruntung tetap membeli buku ini dan membacanya. Melalui buku ini saya jadi mendapatkan informasi bagaimana diaspora Tiongkok abad 20 bisa menjadi konglomerat di Malaysia. Dengan pengetahuan baru dari Lim Goh Tong saya bisa membandingkan bagaimana para diaspora ini berhasil di Indonesia dan di kawasan Asia Tenggara lainnya.

Lim Goh Tong adalah salah satu pengusaha terkenal Malaysia karena berhasil mengubah gunung yang gundul menjadi sebuah tempat pelancongan yang membawa devisa bagi Malaysia. Dialah yang membangun Genting dengan kasinonya.

Ternyata kisah perjalanan bisis diaspora Tiongkok di Indonesia dan di Malaysia memang banyak kesamaan. Seperti disampaikan oleh banyak pengamat diaspora Cina di Asia Tenggara, pada umunya para perintis ini tidak mempunyai keterampilan dagang sama sekali. Mereka datang dalam kondisi miskin tanpa keterampilan. Tetapi tak berapa lama mereka berubah menjadi orang sangat kaya. Wibowo (2000) dalam bukunya yang berjudul “Harga yang Harus Dibayar Cina” mengutup pendapat mainstream peneliti masalah Cina yang berpendapat bahwa mereka datang miskin dan kemudian mejadi konglomerat. Setidaknya ada dua buku yang dikutip oleh Wibowo. Buku pertama adalah Lords of The Rim yang ditulis oleh Seagrave. Buku kedua adalah New Asian Emperors. Kedua buku ini adalah buku-buku yang mempunyai tesis yang hanya melihat kerja keras sebagai faktor utama yang membuat para diaspora miskin tanpa keterampilan dagang ini bisa berubah menjadi konglomerat.

Apa yang ditulis dalam berbagai buku yang memelajari kisah diaspora Tiongkok di Asia Tenggara, setidaknya di Indonesia ada benarnya. Demikian pun dengan kisah hidup Lim Goh Tong

Pria yang lahir pada 1918 ini bermigrasi ke tanah Melayu pada tahun 1937. Ia terpaksa bermigrasi ke Melayu karena ancaman serang Jepang ke desanya (hal. 10). Sempat pulang pada tahun 1940, Lim Goh Tong kembali ke Malaysia pada tahun 1941. Mula-mula ia bekerja sebagai tukang kayu dengan bayaran harian. Seperti diaspora Tiongkok lainnya, sambil bekerja apa saja, Lim Goh Tong memelajari cara-cara berdagang.

Dengan dukungan sesama diaspora dari Anxi, Lim mulai berdagang besi tua. Dari sanalah ia mulai membangun bisnisnya. Memanfaatkan kekalahan Jepang yang mengakibatkan terbengkalainya Perusahaan-perusahaan perkebunan, Lim memulai membangun bisnis barang bekas berkembang menjadi berbisnis alat berat bekas dan kemudian masuk ke tambang besi (Malayan Mining) dan kemudian tambang timah (Seng Kee Dredging). Lim mengisahkan bagaimana ia mengembangkan bisnisnya yang penuh dengan perjuangan.

Ketika ia mempunyai ide untuk mengembangkan kawasan Genting Sempah di Pahang, Selangor, ia dianggap sebagai orang gila (hal. 78). Banyak pihak menyatakan bahwa Upaya untuk mengubah bukit Genting menjadi tempat wisata adalah sebuah kemustahilan. Selain dari topografinya yang sulit, untuk menjangkau kawasan Genting saat itu belum ada akses jalan. Namun Lim tak goyah. Ia terus maju dengan idenya.

Kawasan Genting yang mulai terlihat, membuat Tunku Abdurrahman mendukung pendirian kasino di kawasan Genting (hal. 94).

Sebagai seorang diaspora Tiongkok, Lim Goh Tong juga masih mengikuti berbagai tradisi dan kepercayaan otang Cina. Ia percaya nama itu bertuah. Secara khusus ia menjelaskan namanya. Ia juga menjelaskan mengapa mengubah nama perusahaannya dari Huat Kee menjadi Kien Huat (hal. 33). Nama Huat Kee dianggap terlalu kecil, sehingga harus diganti.

Sebagai seorang yang kuat memegang ajaran Konghucu, Lim sangat menghargai keluarga (hl. 37). Lim mengisahkan bagaimana ia mencintai ayah dan ibunya, ia mencintai istri dan anak-anaknya. Lim selalu meluangkan waktu untuk anak-anaknya, meski ia sibuk dengan bisnis yang sedang dirintisnya.

Saya belajar bahwa ada kesamaan antara diaspora Tiongkok yang di Indonesia dan di Malaysia. Pada umumnya mereka datang dalam kondisi miskin. Namun setelah bekerja keras dan tekun mempelajari bisnis di tempat barunya, mereka menjadi sukses. 776

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu